Surat Terbuka untuk Dunia, dari Aku yang Mulai Takut Menjadi Dewasa

Takut menjadi dewasa

Hai, dunia! Apa kabar?

Advertisement

Aku tak menyangka. Ternyata waktu merangkak lebih cepat dari yang kukira.

Dulu, aku benci sekali diperlakukan sebagai anak bawang yang dilarang melakukan ini-itu. Rasanya menyebalkan. Dan aku selalu tidak sabar menyambut hari mendatang. Tidak sabar melepas seragam SD yang kedodoran. Tidak sabar diperbolehkan keluar malam. Tidak sabar dipercaya mengambil keputusan sendirian. Tidak sabar menjadi besar, punya pacar, lalu menjadi manusia dewasa yang kelihatannya, keren dan menyenangkan.


Bagaimana tidak, saat itu kupikir tak ada yang lebih menakjubkan dari pak polisi ganteng di ujung jalan, ibu guru manis penyabar, dokter necis yang suka nyuntik, presiden yang pintar pidato, apalagi? Rasa-rasanya ketika kecil, semua orang dewasa keren gila ya?


Advertisement

Mereka gemar memperbincangkan perihal rumit sembari menonton berita membosankan ketika kupikir SpongeBob lebih mengasyikkan. Aku penasaran tentang isi kepala mereka. Aku sering bertanya-tanya tentang bagaimana rasanya punya jerawat, KKN, dan bekerja, bagaimana rasanya patah hati dan jatuh cinta, apakah kelak ketika besar aku tetap malas menggosok gigi, ataukah aku bisa jadi secantik Barbie?


Dulu, begitulah aku. Selalu mengagumi makhluk sibuk bernama orang dewasa dan sangat tidak sabar menjadi mereka.


Advertisement

Tahun demi tahun pun berganti. Aku terus tumbuh tanpa kusadari. Tapi ternyata, menjadi dewasa tidak senaif itu. Aku salah kaprah mengartikannya.


Apakah menurutmu aku terlalu manja jika kurasa menjadi tua dan dewasa sedikit membingungkan, merepotkan, dan mengerikan?


Sebab ternyata, orang-orang dewasa berkali-kali lipat lebih rumit dari soal kimia paling rumit sekalipun. Ekspektasi. Prasangka. Ambisi. Asumsi. Citra. Cita-cita. Cinta. Patah hati. Gengsi. Putus asa. Etika. Cicilan. Keraguan. Tuntutan. Perdebatan. Penyesalan. Tanggung jawab. Standar sosial. Penghakiman. Ketidakpastian. 


Aku tiba-tiba sedikit takut, ketika pelan-pelan mulai merasakan perihal yang dulu pernah tidak sabar kunantikan. 


Sekarang, aku sudah besar. Tidak ada yang menganggapku layak makan es krim dengan belepotan. Aku juga sudah tidak boleh menyalahkan meja ketika tidak sengaja tersandung. Aku tidak lagi bisa berlindung di bawah ketiak ibu ketika merasa terancam.


Hal ini kadang menbuatku merindukan aku yang tertawa lebar hanya karena cilup ba dan komedi putar, tanpa perlu mengkhawatirkan banyak hal.


Dan di saat yang sama, baru kusadari bahwa aku tidak pernah betul-betul mempunyai Doraemon untuk kuminta memutar keadaan dalam satu kedipan.

 Melelahkan ya?

Tapi barangkali memang harus begini. Aku yang muda dan teburu-buru, memang harus melewati proses gemblengan yang panjang. Sebab bumi manusia tidak akan pernah sebercanda yang kukira. Sebab semenyeramkan apapun menjadi dewasa, waktu tetap berputar, hidup terus berjalan, dan ada banyak hal yang masih layak diperjuangkan.

Pun sepertinya, mendewasa bukan sekadar menjadi tua dan keriput. Lebih jauh dari itu, ada makna lain yang mungkin hanya dapat kumengerti jika merelakan diri untuk dihajar proses naik-turunnya manusia.

Menurutmu gimana, dunia? 

Siapapun kamu, please banget jangan nyerah ya,

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

hi, glad to see u!

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE