Surat Terbuka Untuk Lelaki yang Mencintai Danau Ranau Di Latar Gunung Seminung

Sayang,
masih perlukah aku bertanya tentang kabarmu? Sedang harapan melulu yang terbaik buatmu. Aku mencintaimu.

Kemarin, 11 Juni 2016, Aku merayakan senyummu yang selalu sedikit. Terlalu banyak tawamu yang bukan buatku, tapi untuk orang-orang di sekitarmu yang baik hati. Maka itu, aku mau mencintaimu.

Kamu di mataku, laki-laki yang tak pernah murung di hadapan teman-temanmu. Jikapun sedang rumit keadaanmu, kamu memilih hilang dari peredaran dan entah bersembunyi di mana. Kamu cuma menikmati sedihmu sendirian. Tapi selalu berbagi bahagiamu dengan siapapun. Itu sebabnya, aku masih mencintaimu.

Dan hari ini, aku tulis surat terbuka untukmu. Bukan, bukan untuk membiarkan perasaanku liar di mata orang-orang yang juga membaca suratku. Tapi ini semacam edaran klasikal dari seorang perempuan yang mencintaimu tanpa ragu. Meski untuk ukuran otak perempuan normal, mestinya aku sudah memilih pergi dan tidak lagi mencarimu. Bagaimana tidak? Ah, rasanya untuk itu aku tidak perlu menceritakannya di sini. Karena bagaimanapun sikapmu padaku nyatanya perasaanku tidak pernah berubah. Tentu kamu akan sangatpaham dalam tentang itu. Tentang pertanyaan pernyataan yang sering kali aku lontarkan.

Sayang,
Aku membayangkan hidup bersamamu dengan dua anak yang kita namai mereka Bumi dan Saga Senja. Membayangkan mereka berlari kecil di tengah tanah lapang, sambil mendengarkan teriakan emak dan abah memanggil-manggil mereka dengan riang. Membiarkan mereka terjatuh dan berlari lagi dan lagi di pelataran Ranau yang juga menyimpan seribu tawa di masa kecilmu dulu.

Sambil juga membayangkan alat-alat tani di sekitarmu. Membayangkan kamu memetak-susun tanaman-tanaman di halaman. Dan sesekali memintaku menyuapimu buah pisang yang sudah aku goreng. Ah sayang, rasanya pijakanmu di tanah Ranau sudah menggetarkan seluruhku. Aku sangat mencintaimu!

Tapi sayang, semua yang kubayangkan tiba-tiba menjadi mendung. Seolah angin dari seluruh penjuru menuju ke otakku. Berdiam lama di sana. Sangat lama, dan aku menghitung tanda tanya yang menjejali pikiranku. Aku berusaha sekuatku untuk terus adil terhadap perasaan dan logikaku. Tapi sayangnya, ketakutanku lebih besar. Dan aku memilih tidak lagi membiarkan pertanyaan pernyataan itu keluar dari mulutku.

Lelakiku,
Jika kepulangan ke tanah kelahiranmu bisa aku sebut sebagai kepergian, masih adakah harapan-harapan kecil yang aku ceritakan untuk menahanmu di sini? Paling tidak itu bisa membuatmu urung melakukan kepulanganmu. Tapi rasanya, kerinduanmu pulang ke Ranau akan mengalahkan segalanya, bahkan perasaanku yang mungkin tak sedikitpun ada di hatimu. Barangkali, keinginanmu mukim di Ranau adalah satu-satunya rindu yang kamu simpan untuk masa kecilmu, untuk kedua orang tuamu.

Sayang, membayangkannya aku takut. Takut, andai kepulanganmu itu tak membawamu kembali ke sini—ke kota yang telah menenggelamkan tawa kita di tengah-tengah hujan dan bahagia yang mendera. Atau mungkin tak juga membawaku ke Ranau. Membawa “Bumi” dan “Saga Senja” ke pelataran yang sama denganmu. Aku mencintaimu.

Bertahanlah sejenak di sini. Sampai kita berbicara banyak tentang hal yang ringan saja itu; tentang perjumpaan pertama di Kedai Kopi, tentang makan malam pertama kita di tengah riuh MTQ, tentang air sungai yang membawa debu halus di kaki-kaki kita, tentang tawa yang tertahan di meja makan, tentang hujan dan redup lampu kota yang membawa kita tenggelam di suara gemuruh, tentang riang kita di sepanjang perjalanan menuju Menes dengan gerimis manis yang masih jelas di ingatan, tentang pundakmu yang tidak berhenti menjadi sandaranku tiap kita tatap mata, tentang tangisan yang jatuh perlahan dan banyak seusai pesta Seba, tentang tanganmu yang menggampit hidungku, selalu, dan tentang cinta yang tak ingin aku selesaikan.

Bertahanlah di sini, lelakiku. Jikapun harus pulang, tak inginkah kamu memboyongku serta “Bumi” dan “Saga Senja” ke luas Ranau yang sudah mendengar tangisan pertamamu? Ah dunia, rupanya aku mimpi terlalu jauh. Barangkali suratku ini akan sampai pada cinta-cinta yang juga tidak pernah ingin selesai.

Salam,
Perempuan bulan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Aku lebih suka dipanggil Lai, Laida. Sebab itu adalah kesunyian yang mengajariku kekuatan.