Ketika Penantikanku Akan Dirimu Makin Terasa Semu, Aku Memilih untuk Melepaskanmu

penantianku akan dirimu


"Setelah kepergianya, bagaimana mungkin hatiku menyebutnya kehilangan? Sedang untuk digenggam hatinya saja aku tidak pernah merasakan."


Advertisement

Tertulis kembali dengan pena hitam di atas lembar kertas putih miliknya. Ia tidak akan menyangka rasanya sudah sejauh ini dititik tanpa kepastian setelah berjuang sendirian. Kisahnya tidak untuk didengar banyak orang. Ia hanya gemar menulis lalu menumpahkan perihal perihal yang bersangkutan dengan perasaan hatinya.

Beberapa orang bahkan menganggapnya berlebihan. Tidak sedikit pula yang menyebutnya bodoh. Tapi selalu saja dijawabnya kuat pendirian. Iya, kuat pendirian dengan menanti orang yang sama dari tahun yang berbeda. Bodoh memang.

Tertawa saja, memang begitu adanya.

Advertisement

Adzkiya Ayyuminara, gadis yang masih tenggelam didasar yang juram. Hatinya beku seperti tidak berdetak kencang saat ribuan senyum menyapanya. Matanya seperti tidak pernah melihat ribuan warna dihadapanya. Karena setiap kali yang dilihatnya hanya ada satu warna yakni warna hitam pekat.


"Menunggumu itu membosankan. Seperti mendung yang tak berarti hujan, aku menunggu namun tiada kunjung datang"


Advertisement

Kembali tertulis dikertas putih miliknya. Entah sudah berapa banyak tulisan yang sengaja ia tulis semata hanya ingin membuatnya mengerti disana. Tapi untuk mengerti kabarnya saja, sudah tidak pernah ia dengar sejak lama.

Awalnya semua baik baik saja, Tahun ketiga setelah dua ribu tujuh belas silam masih jelas terpapang nyata dalam memorinya. Sosok yang tidak pernah ia genggam hatinya begitu leluasa menguasai hatinya.

Prasangka buruk berkecambuk rasa gelisah terus menyelimuti dihati. Benaknya ingin menyerah, hatinya menyeru lanjutkan. Hatinya terlalu egois memang, tapi dirinya merasa baik-baik saja walau kadang terasa sedikit nyeri. Anggapannya semua akan sejalur dengan ekspektasi. Namun, siapa yang menjamin.

Sejak awal rasa ini tidak pernah ia harapkan, berulang-kali ia mencoba menghindar, tapi tetap saja sang rasa berhasil menemukannya. Lalu kemudian sang rasa singgah lama dalam hatinya.


"Kau itu seperti angin, tuan. Aku bisa merasakan keberadaanmu tanpa bisa menyentuhmu,

 Aku bisa merasakan langkah kakimu tanpa harus menemuimu

 Aku bisa dengan hafal mendengar suaramu tanpa harus berbicara langsung denganmu

Terus saja singgah lama, sampai sampai semesta cemburu padaku"


Sesekali ekspektasinya melayang tinggi, dibayangnya indah menawan bagai dua insan yang saling jatuh hati. Lalu kemudian kembali jatuh dengan realita nyata. Berkali-kali dirinya mencoba untuk melupa, tapi tetap saja hasilnya nihil semata. Bagaimana tidak, ingatannya hanya padanya.

Begitu terpaku pada satu nama, membuat sang gadis menutup hatinya. Selalu saja menghindar setiap ada yang mendekati dirinya. Bahkan sang teman beberapa kali mencoba membantunya keluar, tetap saja ia merasa tenang di zona nyamannya.

Perkenalan demi perkenalan dengan beberapa sosok pria tidak pernah berlangsung lama. Beberapa dari mereka memilih mundur sebelum memerangi hati sang gadis.


"Berkenalan dengan orang baru lalu basa basi menanyakan yang tidak penting. Ah seperti tidak penting. Begini apa terlalu menutup hati ?"


Iya, untuk memulai kembali dianggapnya tidak penting. Apalagi masa yang bukan lagi untuk sekedar basa basi. Ia tetap teguh dengan pendiriannya, meskipun banyak diantara mereka menyuruhnya untuk berhenti dan membuka hati untuk orang lain. Tetap saja ia tidak goyah.


"Biarkan rasaku hanya aku yang memahami, memaksa kalian tidak akan mengerti"


Tahun yang terus berganti, membuatnya berfikir berkali kali. Kisahnya akan menjadi semu atau nyata. Terus terlintas bertanya tanya.

Semu atau nyata?

Kalimat yang membuatnya terus berfikir, sampai kapan? Apalagi setelah didapatnya teguran untuk berhenti.


"Dalam karyaku selalu ada dirimu, semesta pun tahu aku tidak pernah menyebut selain namamu dalam doaku"


Usia yang tidak lagi mewajibkanya untuk menanti, sang gadis memilih berhenti. Ia sadar cinta akan datang ketika dirinya benar mencintai. Tapi menunggunya selama ini membuat hatinya mati. Ia lalu memilih yang mencintai bukan yang dicintai. Karena sang waktu mengajarkan dirinya untuk menghargai yang menghargainya.


"Ibarat namamu yang ku biarkan berterbangan tertiup angin hingga akhirnya aku benar benar ikhlas melepaskan"


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

une femme libre

CLOSE