Tentang Cinta yang Sudah Kehabisan Nyawa, Berpisah adalah Cara Terbaik Terbebas dari Petaka

Jika cinta hanya menggores luka, lantas mengapa kita harus berdua?


"Dulu aku berpikir jika kehadiranmu adalah obat untuk cinta masa laluku yang pernah tersakiti. Namun kehadiranmu ternyata menjadi bumerang ke dua yang menghantam ulu hati ku yang terdalam. Kita harus segera berakhir, sebelum babak belur karena ego."


Advertisement

Engkau hadir kala itu di saat hatiku telah lebam karena cinta pertama. Kau selamatkan hatiku yang kala itu hampir tak bernyawa. Malaikat maut seolah-olah bermain tarik ulur dengan rohku yang tengah tersisa sepotong. Kau datang, hidupku menjadi seindah senja ditaburi pelangi. Namun itu hanyalah dulu.

Engkau pernah berjanji dibawah remang rembulan, untuk mengobati hatiku yang tengah memar karena putus asa cinta. Kau iming-iming hatiku dengan rentetan janji yang membuat bibirku menggores bulan sabit karena terlalu bahagia. Namun setelah semua film kehidupan kita bergemuruh, aku mulai sadar bahwa cinta itu telah menjelma menjadi parang, yang menggores perasaanku dengan banyak luka tanpa darah.

Saat sayang di balas malang. Saat rindu dibalas batu. Saat hati diinjak mati. Aku baru sadar bahwa mencintai manusia melebihi cinta terhadap tuhan tidak akan pernah berakhir bahagia. Aku akhirnya sadar, jika meletakkan hati ke pundakmu, sama halnya dengan melepas hatiku di tengah jalan yang justru akan membuatnya tertabrak dan tergilas.

Advertisement

Setiap malam adalah malam romantis bersamamu. Namun setiap pagi adalah petaka untuk cinta kita berdua. Perasaan kita memang belum benar-benar dewasa, sehingga pembagian waktu akan perhatian benar-benar menjadi keteteran.

Aku terseok-seok mengatur waktu untuk dirimu, namun engkau sendiri malah mengabaikan dengan cara yang anggun. Ingin kubalas dengan cara yang sama, namun manusia bodoh seperti diriku benar-benar tak bisa melakukannya. Karena dulu aku benar-benar sayang kepadamu. Ketika mata hati yang tak bermata malah dibutakan, di sanalah letak iman sedang diuji yang kuasa.

Advertisement

Aku percaya, jika orang yang telah kau sakiti itu berdoa untuk dirimu sendiri, maka engkau sedang tengah berada pada masalah besar. Aku tak ingin memperpanjang masalah, karena sedang tak ingin disakiti. Aku takut berdoa untukmu di kala hatiku sedang tergores palu arit perlakuanmu. Cara terbaik untuk tidak terluka terlalu parah karena sifatmu adalah dengan cara menjauh.

Jika kisah kita memang harus berakhir luka, aku bersedia.  Ini setidaknya merupakan jalan tengah terbaik sebelum kau membunuh hatiku hingga lumpuh, dan aku sendiri menyiksa batinmu dengan cara diamku. Engkau yang sudah beku untukku rangkul, sepertinya sudah tak menjadi takdir hidupku lagi. Kau sudah bukan pelabuhan persinggahan lagi. Setidaknya engku pernah hadir dan membuat hidupku bermakna, sebelum istirahat panjangku tiba.

Dulu engkau begitu semangat untuk mengejarku. Peluh keringatmu menetes di atas wajahku yang redup. Namun waktu mengubahmu menjadi manusia yang berbeda, seperti tak pernah sama sekali aku kenal. Kau menjelma menjadi ciptaan Tuhan yang berbeda. Senyummu sudah tak memberikan kehangatan lagi.

Mungkin dulu pernah hangat, namun sekarang hangatnya telah terlalu besar sehingga jiwa dan rasaku mulai terbakar, dan aku pun terluka. Jika cinta membuat luka, lantas mengapa kita harus berdua? Adakalanya raga yang kita dekap bukanlah benar-benar raga yang kita harapkan. Jika sakit, menghadaplah ke arah langit. Hanya Tuhan yang memiliki jawabannya.

Ada puluhan kali aku tersakiti karena egomu. Dan puluhan kali itu pula aku semakin belajar untuk menjadi semakin dewasa. Namun sayangnya, ketika diriku telah terpaksa dewasa karena luka, justru dendamku terhadap cinta semakin membara. Semakin kita dewasa, semakin tajam pula pisau dendam di dada. Jika tak mampu menahan ego dan nafsu, maka binasalah semua asa dan harapan. Cinta hanya akan berakhir putus asa semata.

Aku ingin bergandengan tangan bersamamu untuk tumbuh, bukan malah saling membunuh. Namun ego dalam rongga hati sudah tak mampu menjadi jinak karena luka. Kau menggores luka, sedangkan aku membanting rasa. Kapal kita sudah goyah, layarnya telah sobek, dan engkau memilih pergi tanpa membantuku memperbaikinya. Di sanalah rasa cintaku menjelma menjadi dendam yang terpendam.

Kita cukupkan saja lembaran cinta yang penuh dengan luka ini. Mulut masing-masing sudah tak mampu mengucap kata romantis menghibur hati, karena bibir ini sudah berubah menjadi mulut berbisa yang bisa sewaktu-waktu membunuh rasa hingga mati asa.


Inginku gugat takdir kepada Tuhan. Namun takdir memang tak boleh dilawan. Setiap luka pasti membuat dewasa. Ada proses naik gunung sebelum menemukan puncak. Tak ada kenikmatan murni tanpa dilalui keringat payah. Keringat itu memang asin, namun hasilnya selalu manis. Tuhan selalu adil mengatur skenario hidup.


Sudah saatnya kita berbenah diri. Menyongsong hidup masing-masing dengan versi diri sendiri. Langit dan senja yang kita nikmati memang akan tetap sama, namun rasa cinta yang kita alami sudah tak lagi sama. Bulan yang kita lihat memang sama, namun dunia kita telah berbeda. Berpisah sebagai kekasih dan menyatu sebagai sahabat adalah cara terbaik untuk mendamaikan perasaan kita masing-masing.

Aku tidak patah hati, hanya saja memang jatuh cinta pada orang yang salah. Luka karena mencintai akhirnya harus merembet ke seluruh aliran darah. Aku takut itu semua menjadi benci dan dendam yang menuntut balas dendam. Jadi melepaskanmu dengan ikhlas adalah cara terbaik untuk berdamai dengan luka. Engku tak akan kulupakan, karena engkau memang bagian dari cerita hidupku pada masa lalu.

Senja dan rindu merasuk kalbu. Menyisakan bayang semu yang tak berujung. Engkau adalah destinasi yang salah yang pernah kuhampiri. Walau sakit pernah menghantam ulu hati, semoga lain kali aku bisa berhati-hati. Mencintaimu seperti bermain hujan, awalnya senang namun akhirnya berujung sakit.

Hati jangan di lawan. Kala itu, bibirku pernah menyombongkan diri dengan berbisik untuk terus mempertahankan dan menyelamatkanmu, namun sayangnya hatiku malah menjerit dengan berkata, “sudah cukup”. Lantas saat itulah tekadku sudah bulat untuk menjadikan cinta kita berdua sebagai abu. Kita akan lebih bahagia berpisah.

Seharusnya dulu aku percaya. Bahwa tidak ada manusia yang dapat menjamin cinta dan bahagia. Bahwa pada hakikatnya, semua yang berjanji dengan setulus hati pun akan tetap pergi dan hanya meninggalkan luka dan cerita.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Financial Analyst and Novelist

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE