Tentang Satu Nama yang Pernah Saya Sebut dalam Sujud, Meski Akhirnya Kamu Memilihnya

Setidaknya aku pernah mendambamu dengan tulus

Hidup di dunia bagaikan roda yang terus berputar. Setiap gulir perkenalan selalu berakhir perpisahan entah itu berpisah sementara atau untuk selamanya. Setiap insan pernah memiliki standar pendamping hidup namun tidak jarang di antara mereka yang sama sekali tidak menemukan pendamping sesuai yang diinginkannya tapi sebaliknya ada juga yang tidak memberikan patokan standar dalam memilih pendamping malah Tuhan beri dia pendamping yang mendekati sempurna. Mungkin begitulah gambaran diriku, jauh dalam lubuk hati yang paling dalam inginku dibersamakan dengan dia seseorang yang pernah kujumpai, lebih tepatnya ku lirik saat pertama kali mendatangi sebuah gedung seni di kotaku.

Advertisement


Pertemuan singkat itu entah mengapa membuatku terus ingin mengenalnya dan melihat ukiran senyum tipis di bibirnya.


Hm, dalam hati aku berucap lirih, telah aku temukan dia seseorang yang mampu membuat hatiku berdegup kencang dan tersipu malu. Ingin menyapa lalu berkenalan namun malu. Seolah-olah isyarat itu tersampaikan padanya sambil tersenyum ramah dia menghampiriku menyodorkan tanganya dan berkata lirih memperkenalkan diri, dengan ragu-ragu aku menjabat tangannya  sembari menyebutkan namaku. Percakapan di antara kita pun mengalir begitu saja sampai akhirnya dia berpamitan untuk pulang duluan. Ada sedikit rasa kecewa dalam benakku, sangking asyiknya ngobrol ngalur-ngidul sampai lupa bertanya berapa nomor teleponnya dan di mana rumahnya. Ah, sudahlah sampai jamuran nunggu di sini juga dia engga bakal balik lagi wong tadi udah pamitan kok pikirku di tengah kerumunan orang yang berlalulalang.

Selang beberapa hari dari pertemuan itu aku tidak pernah lagi tahu tentang dia tapi hati kecilku meyakinkan seolah-olah aku bisa bertemu lagi dengannya. Entah dari mana munculnya keyakinan itu diriku semakin percaya dan gencar menyebut namanya dalam setiap sujudku. Bahkan sebelum tidur pun sempatku selipkan namanya di dalam barisan doaku. Kala itu aku merasa menjadi seseorang yang paling mengharapkannya lewat sebutan sebuah nama.

Advertisement

Semua itu berlanjut kurang lebih satu bulan, aku tidak pernah tahu bagaimana kisahku dengannya jika nanti bertemu kembali. Sampai akhirnya aku mendapatkan satu undangan pernikahan dari salah satu sahabat lama. Disitu jelas tertulis nama mempelai prianya persis dengan nama yang sering aku sebut dalam sujudku. Hatiku seolah-olah berusaha menenangkan diri, itu bukan si D yang ku temui di gedung seni kok, bukankah nama seperti itu bukan hanya satu? Bisa saja namanya sama namun orangnya berbeda. Begitulah gemuruh hatiku yang terus mendoktrin diri dan pikiran ini untuk tetap percaya bahwa D yang ku maksud bukan yang tertera dalam undangan tersebut.

Hari demi hari berlalu sampai di hari H acara pernikahan sahabat lamaku. Aku datang bersama salah seorang teman, sebelumnya aku begitu semangat menghadiri acara ini. Namun ketika sampai di pelaminan aku tertegun melihat potret yang sangat sempurna di depan mata, wanita muslimah dengan gaun yang menjuntai bak permaisuri dan di sampingnya ada sosok pangeran yang begitu tampan dengan kemeja putih dan jas hitamnya, dengan mata berkaca-kaca aku berusaha menahan air mata agar tak jatuh membasahi pipi. Ternyata D yang selama ini kusebut dalam sujudku adalah D yang  mempersunting sahabat lamaku. Sekecil ini kah dunia? Atau beginikah proses mendamba pendamping hidup yang ternyata mendamba orang lain?

Advertisement


Melihat senyum merekah mereka berdua dalam hati aku merasa malu, telah mengharapkan jodoh orang lain dan selama itu telah salah menyebut nama dalam sujud, tapi tidak mengapa kamu harus tahu D setidaknya aku pernah mendambamu dengan tulus.


Ingin marah? Tapi sadar atas hal apa aku bisa marah, toh bertemu dengannya saja hanya sekali. Cemburu? Kenapa harus cemburu, toh pendamping hidupnya sekarang wanita yang lebih baik dari aku dan sahabat lama ku pula, nanti kalo ingin bertemu D kan aku bisa bertamu kerumah mereka. 

Sakit hati? Tentu tidak, karena dari awal mengenalnya aku hanya mengagumi saja lalu mengutarakan perasaan pada Tuhan, aku minta dibertemukan dengan dia. Tuhan mempertemukan meski keadaanya berbeda. Begitulah hidup seringkali keadaan tak pernah memihak pada apa yang kita inginkan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Berawal dari rasa merangkai kata berakhir cerita.

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE