Surat Terbuka untuk Kakakku, dari Seorang Adik yang Begitu Menyayangimu

Surat terbuka dari adik untuk kakak

Halo kakak! Apa kabar?

Senang rasanya bertumbuh bersamamu, menjadi saksi kesuksesanmu dan menjadikanmu seorang panutan yang aku kagumi bagaimana kehidupannya. Usia kita terpaut tujuh tahun, hingga aku pantas menghormatimu dan sudah sepantasnya kamu layak dihormati. Di tujuh tahun yang lalu, kamu menikah dan pindah ke kota berbeda bersama suamimu. Kamu menjalani biduk rumah tangga yang tak hanya bahagia, tapi bercampur aduk dengan segala romansa dunia yang tak manis ini.

Papa, Mama, aku dan saudara-saudari kita yang lain, cukup banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusanmu ketika sedang berdebat dengan suamimu. Aku pikir itu wajar, sebab kamu butuh dukungan dalam hal apapun, agar jangan kamu terantuk masalah baru yang membuatku terpeleset lalu terluka bersamanya. Tapi, bagaimana harimu hari ini?

Tanpa alur percakapan yang menata percakapan kita, tiba-tiba kamu mengirim pesan singkat yang isinya sungguh diluar dugaan. Kamu tak memakiku tapi sebaliknya, kamu malah menghakimiku. Aku pun dibuat bingung, ketika tengah menjalani aktifitasku. Kamu minta diperhatikan, hanya karna aku tak sempat menjawab dering teleponmu. Kamu bilang aku sudah tak menghormatimu, kamu bilang aku malah tak ingat jasa-jasamu ketika aku menamatkan sarjana di tiga tahun yang lalu. Mengapa harus ada kata-kata menyakitkan seperti itu, kak? Apa rasa hormatku hanya terbatas pada rutin menjawab dering teleponmu? Apa aku harus membalas jasa-jasamu yang turut berjuang bersamaku hingga aku bisa menyandang gelar sarjana di belakang namaku sekarang? Apakah harus seperti itu?

Kak, tolong; jangan penjarakan rasa hormat dengan pemikiranmu yang sempit. Jangan lagi membahas jasa-jasa dalam persaudaraan kita. Bukankah hal semacam itu yang selama ini kita hindari? Bukankah hal semacam itu yang selalu kita refleksikan di malam Paskah, Natal dan Tahun Baru? Bukankah hal itu yang selalu menjadi nasihat Papa dan Mama yang tak ingin melihat kita berdebat hebat, hanya karna membahas jasa-jasa tak penting itu? Lalu mengapa pada akhirnya, kamu menjadikannya sebagai senjata untuk menembakku?

Kak, kita lahir dan dibesarkan pada pohon yang sama. Tapi ingatlah, kita adalah tunas yang berbeda. Kita memang saling mempengaruhi, tapi tolong jangan bunuh salah satu hanya dengan kata-kata yang kamu anggap sepele atau terlontar ketika kamu sedang marah besar dan berujung kamu pastikan akan menghilang ketika kamu bilang “maaf”. Maafmu tak semudah itu menghapus ingatan patah hati yang terlanjur kamu berikan sebagai pengalaman terburuk selama dua puluh lima tahun, aku menjadi adikmu. Selama ini aku benar-benar menjaga perkataanku karna aku takut menyakitimu, aku takut berdosa dan aku takut orang tua kita akan kecewa pada sikapku.

Selama ini aku bahkan menganggap setiap kata penghakimanmu adalah lelucon yang selalu mampu aku tepis dengan tawa. Tapi kali ini, rasanya aku sudah tak mampu lagi. Air mataku tak bisa lagi dibendung, sudah terlanjur membanjiri pipi, kacamataku adalah saksinya, bahwa aku terlalu lemah membaca isi pesanmu. Aku merasa seperti ditusuk tepat dijantungku, rasanya seketika aku tak bernafas. Ada apa denganku? Sepertinya kali ini aku tak punya pertahanan akan kata-katamu yang jahat. Aku kalah, kak.

Kak, apa karna usiaku yang lebih muda darimu hingga aku pun juga tak layak kamu hargai? Aku tak butuh dihormati olehmu, tapi setidaknya mengertilah bahwa aku pun punya duniaku sendiri yang isinya hanya tentangku, bukan tentangmu. Bila aku sedang sibuk dan tak sempat memperhatikanmu, tolong tanamkan pikiran positif supaya hatimu jangan menodai isi kepalamu lalu dengan mudah menyakiti orang lain. Aku yakin, kamu sudah sangat dewasa dalam menyikapi masalah yang terlalu sepele ini. ah bukan, ini bukan masalah. Ini adalah masalah versimu, bukan versiku.

Kak, masing-masing kita punya kehidupannya masing-masing. Bila kamu sibuk dengan keluargamu, aku pun sibuk dengan kehidupanku. Aku pun punya tanggung jawab yang membebani pikiranku, aku punya beberapa hal yang harus aku tengok. Aku tahu, aku bersalah karna tak menjawab dering teleponmu kali ini. Tapi apakah harus kamu hujani aku dengan kata-kata kejam yang sukses membunuhku itu?

Selama ini aku sudah berusaha menjadi adik yang baik, dengan terus meminta doa restumu ketika aku hendak menginginkan sesuatu, memintamu juga menyebut namaku dalam doamu. Aku pun sudah berusaha semaksimal mungkin ada, ketika kamu butuh bantuan. Aku pun harus rela membatalkan beberapa pertemuan yang sudah aku janjikan, karna urusanmu bagiku lebih penting dari apapun. Aku tak bermaksud mengumbar bagaimana aku berusaha menjadi adik yang baik, tapi tolong pahamilah. Aku pun ingin menikmati hidupku, aku tak ingin dibayangi atau disetani oleh hal-hal semacam “jasa” dalam persaudaraan.

Kak, rasa sayangku padamu tak sedikit pun berkurang. Aku minta maaf bila aku bersalah. Tapi bolehkah aku mengajukan satu permintaan? Tolong beri aku ruang untuk bertumbuh dan jangan lagi menuntut banyak hal bagiku. Aku doakan yang terbaik untukmu, Tuhan memberkati.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pengkhayal tentang uniknya cinta. Temui aku disana, kamu. ellasermatang.wordpress.com

Editor

Not that millennial in digital era.