Memiliki banyak teman tentu menjadi hal yang menyenangkan bagi kebanyakan orang. Namun, makin kesini makin merasa bahwa memiliki sedikit teman yang bisa memberikan dukungan emosional, instrumental dan dukungan pendampingan akan lebih baik ketimbang terlalu banyak teman.
Apa itu pertemanan? Atau apa itu persahabatan? Bagi tiap orang, hal ini tentunya sudah tidak asing lagi. Pertemanan atau persahabatan sering diartikan dengan hubungan yang saling mendukung satu sama lain dan tidak memandang perbedaan. Hubungan seperti ini sudah banyak kita jumpai dimanapun dan kapanpun.
Tapi pernahkah kamu mendengar pertemanan toxic? Pertemanan toxic atau biasa disebut dengan toxic friendship  ini berbanding terbalik dengan pengertian pertemanan yang sesungguhnya. Hubungan ini merupakan hubungan yang tidak sehat atau dikatakan beracun. Racun? Iya racun, tetapi racun dengan makna yang berbeda dipenuhi dengan aura negatif yang menimbulkan rasa tidak nyaman dan tertekan dalam menjalaninya.
Pertemanan seperti ini sudah bukan hal yang tabuh untuk dibicarakan, semakin berkembangnya teknologi saat ini banyak yang mulai mengakui adanya toxic friendship dalam pertemanan yang sedang dijalani. Saya meyakini bahwa sebagian besar orang  pernah merasakan hubungan toxic dalam berteman tetapi tidak menyadarinya atau mungkin tidak tahu apa itu pertemanan toxic. Merasa bahwa semua hal yang terjadi dalam pertemanan merupakan hal yang biasa dan wajar.
Kalian sedang bercanda, tapi kamu diam-diam tersinggung atas candaannya dan tidak ingin marah karena merasa hal itu sudah biasa dalam pertemanan lalu kamu menceritakan rasa tersinggungmu kepada orang lain dibelakang temanmu.
Kamu dan temanmu pergi ke kantin lalu temanmu ingin ditraktir, karena merasa tidak enakkan kamu akhirnya mentraktirnya namun dalam hati kamu sedih karena sebenarnya kamu ingin menabung sisa uang jajanmu. Pernahkah kamu mengalami hal ini?
Saat ini saya sedang duduk dibangku kuliah, contoh terdekat yang tidak kita sadari seperti pada saat pulang kuliah kamu merasa sangat capek dan ingin segera pulang agar bisa mengerjakan tugasmu nantinya, tapi tiba-tiba temanmu ingin mengajak jalan ke sebuah tempat atau belanja. Lagi dan lagi karena merasa tidak enak dan takut kehilangan teman akhirnya kamu terpaksa ikut dengan memasang raut wajah palsu yang bahagia.Â
Kamu hangout bersama temanmu tetapi kemudian kamu merasa minder karena outfit yang mereka kenakan sangat bagus sehingga akhirnya kamu membeli outfit yang bagus juga agar sebanding dengan temanmu meskipun sebenarnya kamu membutuhkan uang tersebut untuk membeli buku kuliah. Apakah itu wajar? Dan atau apakah itu hubungan yang sehat? Tidak ! itu bukan lagi disebut sebagai hubungan yang saling mendukung dan memberikan dampak positif.
Menurut saya, hal ini muncul sebagai akibat rasa takut kehilangan teman, takut dijauhi, tidak merasa enakkan sehingga enggan untuk berkata secara terus terang dan jujur. Awalnya saya mengira bahwa perasaan seperti itu muncul hanya pada hubungan pertemanan yang sudah cukup lama karena perasaan takut kehilangan teman. Namun ternyata, ini lumrah terjadi dalam hubungan pertemanan baik yang lama maupun yang baru saja berteman.
Saya baru saja menyadari hal itu nyata ketika menjadi mahasiswa baru yang baru saja merantau jauh dari orang tua  dan beragamnya tweet toxic relationship dari twitter. Ketika sudah berkenalan dan sudah cukup akrab dengan teman baru, tanpa sadar saya mengiyakan dan mengikuti segala keinginan mereka tanpa memikirkan apakah hal itu juga baik dan memiliki manfaat bagi diri saya. Hingga akhirnya saya sampai pada titik dimana rasa tidak nyaman itu mulai timbul, tapi tetap saja tidak ingin mengakhiri hubungan tersebut karena takut tidak memiliki teman dan takut merasa sendirian kembali.
Terkadang hal ini dianggap sepele oleh banyak orang yang tanpa sadar telah membentuk lingkaran penjara toxic dalam hubungan pertemanan. Ingat bahwa tidak semua hal yang ada dalam pertemanan itu wajar dan sehat.
Ketika mulai menyadari keberadaan toxic friendship sering kali orang salah mengartikan bahwa perasaan tidak mau ikut teman sebagai sebuah keegoisan yang hanya peduli pada diri sendiri. Namun,  egois yang sesungguhnya itu adalah ketika kamu hanya memikirkan dirimu sendiri tanpa peduli dampak yang didapatkan orang lain karena kamu.
Sedangkan,  ketika kamu menyadari dan menjauhi toxic friendship itu karena kamu mengetahui bahwa tujuan sebenarnya dari pertemanan adalah untuk mendapatkan kenyamanan, dukungan, tidak merasa sendirian, merasa lebih terbuka dan apa adanya. Hati pun tidak bisa berbohong, itulah yang kita butuhkan ketika menjalani hubungan pertemanan. Jika kamu tidak merasakan hal itu atau yang muncul justru sebaliknya maka itu bukan lagi hubungan pertemanan yang sehat.
Bagi kamu yang baru saja membentuk sebuah ikatan pertemanan atau bahkan sedang menjalaninya, jaga dengan baik hubungan tersebut. Mulailah terbuka satu sama lain, berani menyatakan secara terus terang apa yang kalian rasakan dan perlahan bisa menerima dan memperbaikinya. Tetapi bagi kamu yang sudah mulai menyadari keberadaa toxic relationship ini  dalam hubungan pertemanan, maka cobalah untuk memperbaikinya dengan memberi ruang dan jika memang sudah tidak bisa, menjauhlah dan akhirilah hubungan itu.
Menjauhi hubungan toxic bukanlah hal yang salah. Terkadang harus menjadi egois untuk kebaikan diri sendiri, karena secara tidak langsung hubungan yang toxic seperti itu hanya akan memberikan dampak negatif dalam hidup kita. Pertemanan toxic bukan hanya merampas kebahagiaan tapi juga memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental dan fisik.
Saya pernah mendengar bahwa pertemanan memang mahal dan tidak ada yang bisa menggantikannya. Namun, sangat perlu untuk mengetahui seperti apa hubungan pertemanan yang sedang kamu jalani apakah memberi dampak baik atau buruk terhadapmu maupun terhadapat temanmu. Lingkungan pertemanan akan mengubah dirimu secara perlahan, maka hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan jangan ragu untuk mengambil tindakan yang memang sebaiknya kamu perlukan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”