Sebuah Kisah Tentang Tujuan Hidup. Ternyata Tak Perlu Dicari, tapi Diciptakan Sendiri

tujuan hidup diciptakan

Ada kalanya dalam hidup kita mengalami masa kosong. Maksud masa kosong di sini adalah masa di mana kita tidak tahu arah tujuan hidup kita akan ke mana. Belum lama ini aku bertemu dengan salah satu teman semasa kuliah. Dalam pertemuan tersebut dia curhat bahwa dia mengalami kondisi krisis, bukan finansial, tapi kehilangan tujuan hidup. Dia mengeluh bahwa hidupnya terasa monoton, dan gaji besar sebagai pengajar bahasa asing tidak membuatnya bahagia.

Advertisement

Aku tidak serta merta menghakimi bahwa dia kurang bersyukur, tapi di balik keresahannya tersebut ada beragam alasan yang aku tidak bisa jelaskan dalam tulisan ini. Apa yang diceritakannya ini sejalan dengan hidupku sendiri beberapa tahun ke belakang.

Saat berhasil mengenakan toga dan mempersembahkan kelulusan sebagai sarjana kepada kedua orangtua, aku merasa takut sekaligus senang. Rasa senang pasti muncul kepada siapapun yang berhasil lulus sebagai sarjana, tapi perasaan takut sekejap datang menghampiri tatkala prosesi wisuda berakhir.


Ada pertanyaan yang berkecamuk dalam hatiku “Setelah ini mau ke mana?”


Advertisement

Pertanyaan ini menyangkut kekhawatiran saat fase transisi dari lulus menjadi sarjana menuju fase mencari kerja. Bulan-bulan pertama setelah menyandang status sarjana, aku memiliki semangat menggebu untuk mencari pekerjaan.

Semangat yang awalnya penuh 100% semakin lama semakin menurun. Optimisme untuk mencari kerja yang selalu diawali bangun pagi, menyiapkan lebih dari 5 berkas lamaran, dan menelusuri latar belakang perusahaan yang dilamar, perlahan mulai luntur.

Advertisement

Aku mulai bangun saat matahari sudah condong ke barat. Berkas lamaran hanya satu berkas, itupun terkadang lupa melampirkan foto, dan penulis mulai malas untuk riset latar belakang perusahaan yang dilamar.

Rasa malas semakin menjadi tatkala pandemi mulai masuk ke Indonesia. Banyak sektor industri yang mulai terpukul dan mulai melakukan pengurangan karyawan. Dalam kondisi  tersebut rasa malasku menjadi berlipat ganda.

Nalar sederhanaku menyimpulkan, dalam kondisi semacam ini tidak akan ada perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Kalau misal ada pun pasti sangat sedikit dan peluang untuk mendapatkanya nol koma sekian persen.

Menjalani hari-hari penuh ketidak jelasan, aku seakan menyatu dengan tempat tidur. Aktivitas dalam sehari hanyalah mandi, membersihkan rumah sebentar, menyeduh dan minum kopi, tidur, dan terus berulang keesokan harinya. Hari-hari terasa begitu cepat berlalu. Aku sampai di titik di mana aku tidak bisa membedakan antara hari Minggu dan Senin, semuanya jadi hari libur. Libur yang tidak menyenangkan pastinya.

Aku mulai goyah dan kehilangan tujuan hidup. Sederet rencana yang ada di kepala semasa kuliah ambyar dan rontok, bak dedaunan di musim semi. Aku merasa sakit saat melihat capaian hidup kawan-kawan di usia yang sama denganku. Ada yang sudah menduduki jabatan mentereng di salah satu perusahaan ternama, ada yang membuka usaha, ada yang berencana melaksanakan pernikahan. Aku? Jangankan menikah, pekerjaan saja belum ada.

Rasa sakit akibat adu nasib dan sikap membandingkan diri sendiri dengan orang lain, selalu kupendam. Aku tidak pernah sedikitpun menunjukanya. Sewaktu nogkrong misalnya, aku berusaha mengikuti dan tertawa dengan obrolan kawan-kawan soal atasan tempat kerja yang otoriter, rewelnya mempelai perempuan saat menentukan tema foto pra pernikahan, atau soal gaji yang tidak sesuai ekspektasi.


Aku tersenyum dan tertawa di depan, tapi di belakang hancur berantakan. Titik balik terjadi saat aku pulang ke rumah setelah nongkrong. Aku biasa nogkrong di warung kopi dekat rumah dari jam 8  sampai jam 11 malam.


Saat pulang ke rumah kondisi lampu rumah sudah mati. Ibuku biasanya sudah terlelap pukul 9 malam. Saat pulang biasanya aku menitipkan dompet di kamar ibu, otomatis membangunkan ibu yang sedang tidur.

Saat membuka pintu kamar, aku melihat raut ibu yang semakin hari semakin termakan usia. Raut wajah mengantuk itu memperlihatkan kerutan di dahi dan pipi. Rambut beliau juga mulai ditumbuhi uban di beberapa bagian dan kantung matanya semakin membesar.

Entah percaya atau tidak, aku merasa tersengat saat menyadari bahwa ibu semakin menua dan aku masih belum bisa memberikan apapun. Meskipun demikian, perlakuan ibu kepadaku tidak pernah berubah, dalam hal ini kasih sayangnya.

Dalam kondisi terpuruk dan menganggur, ibu tetap menghidangkan sarapan di pagi hari, berbelanja kebutuhan ke pasar meskipun langkahnya sudah mulai berat, menyapu rumah, dan tetap memohon kepada Tuhan untuk kebaikan anaknya.


Dari amatanku mungkin hanya sosok ibu yang mampu menerima kondisi kita, seburuk dan sebusuk apapun itu.


Apakah ada tangisan setelah itu? Tidak. Renungan? Iya. Aku mulai menyusun kembali apa arti hidup bagiku dan itu jatuh pada sosok ibu. Membahagiakan ibu.

Selama kondisi kosong tanpa tujuan. Aku seperti berjalan di ruang kosong, gelap, dan tanpa arah. Tapi, setelah menemukan sosok ibu sebagai tujuan, aku menemukan jalan. Dari sosok ibu, aku bukan menemukan cahaya tapi menciptakan cahaya.

Sosok ibu bak cahaya yang terletak di depan yang membimbing untuk berjalan. Dalam hati aku berujar “Ya, inilah tujuanku untuk membahagiakan beliau di usia senjanya.” Cahaya itu membimbingku berjalan di ruang gelap. Meskipun dalam perjalanan di ruang gelap itu aku sempat terjatuh, terpeleset, dan menginjak paku, setidaknya aku tau arah dan tujuannya.

Semangat untuk menjalani hidup dan fokus tujuan hidup ibarat sepasang sandal jepit, jika salah satunya hilang maka tidak berguna sisi satunya.

Entah tulisan ini berhubungan atau tidak dengan kehidupanmu. Tapi aku harap ada manfaat dari sini. Bagiku tujuan hidup itu bukan untuk dicari, tapi diciptakan. Tujuan hidup bisa datang dari mana saja, jangan terlalu muluk melihat tujuan hidup yang terlalu besar tapi terlihat jauh. Terkadang tujuan hidup bisa diciptakan dari apa yang sangat dekat dengan kita, tapi kita lupa memperhatikannya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Alumnus Universitas Negeri Surabaya | Akun Facebook: Achmad Soefandi

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE