Untuk Diriku di Masa Lalu, Tularkanlah Senyummu Padaku

Aku merindukan senyuman masa kecil itu...

Wahai diriku di masa lalu, aku masih mengingatmu saat itu. Tertawa penuh kebahagiaan, tersenyum dan terkekeh riang, menari di bawah sinar mentari. Begitu bahagia.

Aku masih ingat yang kau pikirkan saat itu hanya bermain. Tak ada beban pikiran apa pun selain PR dari sekolah yang menanti dikerjakan, atau khawatir Ayah dan Ibu akan marah bila kau bermain hingga terlalu sore.

Tak pernah sedikit pun kau terpikir apa yang akan terjadi di masa depan. Saat orang dewasa bertanya apa cita-citamu, dengan lantang kau menjawab. Dokter, guru, insinyur, pilot, banyak hal yang kau inginkan. Saat itu, orang dewasa hanya tertawa, seakan tahu aku tak bisa menggapainya.

Tapi aku tak peduli. Aku hanya memikirkan cita-citaku saat kecil, belajar giat untuk meraihnya dan kembali bermain dengan teman.

Hidup di masa kecil itu memang menyenangkan sekali. Begitu tenang dan damai. Bila berbuat salah dan dimarahi, hanya dengan menangis saja sudah dimaafkan. Hidup di masa kecil benar-benar membahagiakan. Bila ingin ini-itu, langsung dibelikan. Luar biasa sekali indahnya masa kecil.

Kini aku telah dewasa. Aku jelas bukan diriku yang dulu. Aku tak pernah lagi bermain dengan teman-teman. Pertemanan di masa sekolah membuatku trauma. Memang tak semua teman seperti itu, tetapi rasa takut itu tetap ada.

Aku tak seperti aku saat kecil dulu. Entah sudah berapa lama aku tak tertawa. Entah sudah berapa lama aku tak tersenyum. Hidup mengajarkanku begitu keras sehingga aku nyaris lupa caranya bahagia.

Saat dimarahi pun, menangis malah semakin menambah masalah. Lebih baik diam saja daripada menangis.

Entah mengapa saat kecil, hanya Ayah dan Ibu yang kemarahannya benar-benar kutakuti. Saat sudah besar, saat keduanya marah, malah biasa saja. Kamu juga merasa begitu?

Kenapa? Apa karena sudah terbiasa? Lalu mengapa kita sakit hati saat dimarahi atasan? Padahal tujuan dimarahi terkadang positif. Bisa jadi untuk perkembangan kita nantinya.

Aku yang dulu giat belajar tak lagi belajar banyak. Hanya sekadarnya. Toh aku tak menjadi guru, dokter atau yang lain. Untuk apa cita-cita itu?

Cita-cita saat kecil itu adalah harapan. Dan masa kecil mengajarkan kita berharap setinggi-tingginya. Lantas, mengapa saat sudah dewasa kita berhenti berharap? Padahal bisa jadi harapan itu terwujud dengan usaha keras.

Bila saat kecil dulu ingin ini-itu langsung dibelikan, sekarang harus kerja keras dulu. Karena memang seperti itulah hidup.

Sifat teman-teman dari kecil hingga dewasa berubah. Reaksi saat dimarahi berubah. Pandangan kita pada harapan berubah negatif. Ingin sesuatu harus bekerja keras. Karena memang seperti itulah hidup.

Untuk diriku di masa lalu, saat ini aku sedang mencoba untuk menerima kenyataan bahwa masa kecil dan kedewasaan jelas berbeda. Aku mencoba untuk menyadari bahwa banyak hal yang berubah, tetapi aku, kamu, juga kalian, bisa mengendalikannya.

Untuk diriku di masa lalu, dukunglah aku. Aku membutuhkan keceriaanmu. Aku membutuhkan senyumanmu. Tularkan senyumanmu padaku.

Untuk diriku di masa lalu, aku merindukanmu. Kuharap aku bisa memandang hidup seperti saat kecil dulu, saat semuanya terasa begitu menyenangkan sesedih apa pun itu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

mental health and psychology enthusiast. suka nonton anime, tidur, classical head.