Untuk Kamu, Si Isi Kepala yang Selalu Sibuk Sampai Kehilangan Diri Sendiri

Tulisan ini bukan merupakan sebuah ungkapan cerita dari seorang perempuan yang akan menginjak usia 25 tahun ini. Banyak sekali tanggung jawab yang ia harus emban lagi. Artinya banyak hal yang harus disiapkan, banyak hal yang harus diperhitungkan, dan banyak hal di kepala yang harus dipikirkan. Katanya hidup memang sulit, iya memang. Tapi tidak selalu.

Advertisement

Mempelajari sebuah makna filsofi dari sebuah buku berjudul Filososfi Teras membuat dia mengartikan hidup tidak pernah menjadi mudah dan sebaliknya, hidup juga tidak selalu menjadi sulit. Ya hidup memang apa adanya. Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring ini membahas tentang stoicism, yang merupakan sebuah aliran filsafat Yunani kuno yang pertama kali  didirikan di Athena oleh Zeno.  Filsafat ini kemudian dianut oleh beberapa tokoh seperti Seneca dan Epictetus. Stoicism menekankan tentang bagaimana kehidupan seseorang harus selaras dengan alam.

Selaras dengan alam? Berarti kita menerima apa yang terjadi? Benar tapi bukan berarti bahwa kita, manusia yang katanya makhluk paling cerdas, pintar, cermat ini tidak memiliki kendali penuh atas keputusan-keputusan yang diambil. Otak yang bekerja dan berpikir, ditambah dengan pengalaman-pengalaman hidup, toh sebenarnya merupakan sebuah modal yang mampu membuat si manusia menjadi lebih arif, lebih bijak dalam bertindak.

Buku tersebut membantu saya, si perempuan ini, ketika ada di masa-masa yang cukup sulit. Saat itu saya sedang mengerjakan sebuah tugas, tapi yang namanya saya masih bawahan ada kalanya proposal-proposal tugas ini tidak disetujui. Rasa lelah, sedih atau mung frustrasi seperti menghentak datang dengan bertubi-tubi.  Seorang kawan memberitahu saya tentang buku ini, yang membantunya ketika mendapat revisi dari klien yang paling susah ia pahami.

Advertisement

Ada sebuah pembahasan menarik tentang yang ditulis Henry Manampiring dalam bukunya ini, tentang ketidakpastian atas kejadian yang datang. Mungkin, ada kalanya kita merasa was-was, dalam menghadapi hal-hal besar yang akan terjadi. Takut dimarahi, takut ditolak, takut tidak disetujui. Hahaha seperti kisah saya tadi.  Stoicism memberikan kita sebuah usulan bahwa ketika kita berurusan dengan banyak hal yang menyangkut manusia lainnya, cukup pikirkan dan kerjakan seoptimal mungkin apa yang menjadi porsi kewajiban kita, karena kata jangan-jangan, aduh nanti sudah tentu akan membuat kita malah semakain capek, berandai-andai, dan meragukan kualitas dari pekerjaan atau keputusan yang kita ambil.

 Hal ini disebut dengan dikotomi kendali, dalam hidup ada hal-hal yang memang berada di bawah kendali kita, dan ada yang tidak. Stoicism juga menyatakan bahwa hidup ini netral, yang terjadi biar terjadi, tidak ada hal positif atau negative, jadi tidak ada baik dan buruk karena semua tergantung dari interpretasi manusia terhadap kejadian itu. Interpretasi yang tidak tepat menghasilkan output yang tidak tepat pula, maka dengan belajar stoicism adalah cara berbahagia yang paling sederhana.

Seperti kata Epictetus, bahwa bukan sesuatu yang membuat kita merasa kesulitan tapi pendapat kita tentang sesuatu itu. Biarkan hal-hal diluar kendali kita berjlaan apa adanya, dan biarkan diri kita bekerja sesuai dengan kendali dan porsi yang seharusnya. Semoga setelah ini, tidur semakin tenang, hari semakin membahagiakan, dan kepala tidak akan lagi ramai dipenuhi dengan hal-hal yang tidak atau belum saatnya untuk dipikirkan. Jangan pernah kehilangan kendali atas diri sendiri, karena hal itu akan membuat kita kehilangan makna diri sejati.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Manusia, yang sedang menempuh pendidikan Profesi Psikologi di Universitas Muhamamdiyah Malang. Suka membaca, merenung, dan mie ayam. :D