Dear Cinta dalam Diamku, Kini Aku Ikhlas Meski Kamu Lebih Memilih Sahabatku~

Aku masih mengingat dengan jelas senyum yang membingkai wajahmu saat pertama kali berjumpa.

Hari-hari berlalu. Kicauan burung, suara kendaraan, lampu kota, jalanan yang kulalui menjadi saksi waktu yang terlewati hanya dengan memandangmu bisu. Kau dengan duniamu. Aku dengan mimpiku.

Advertisement


Saat pertama kali berjumpa denganmu. Menatapmu. Mendengar suaramu. 

Aku mulai belajar berharap “Ah..Ini dia lelaki yang ku cari',” Batinku.


Anganku begitu besar terhadapmu, membawaku melambung tinggi walau hanya menatapmu di balik celah buku yang ku baca. Kau masih sama. Sedangkan aku? Menjadi kurang percaya diri (to good to be true). Aku masih mengingat dengan jelas senyum yang membingkai wajahmu saat pertama kali berjumpa. Jujur saja, senyum itu tidak cukup manis untuk membuat banyak gadis terpesona tetapi aku menyadari satu hal, senyum itu membawa perasaan hangat bagi siapapun yang melihatnya.


Ohh..mungkin aku mulai berlebihan menggambarkan senyuman itu.


Advertisement

Rasa yang diam-diam tumbuh subur tanpa aku sempat menyadarinya kuberi  pupuk setiap kali aku sengaja mendatangi tempat favoritmu. Terkadang aku terbayang untuk sekadar menyapamu atau mengumbar senyum padamu tetapi lagi-lagi keberanianku hanya sebatas duduk diam mengamati apa yang kau lakukan sembari mencoret-coret buku catatanku dan mencuri pandang terhadapmu.

Hatiku yang masih rapuh. Belum pernah mengenal cinta dipenuhi bunga bermekaran saat melihatmu berjalan menghampiriku. Tetapi aku salah, itu bukan aku tetapi sahabatku. Bukankah harapanku terlalu besar padamu?

Advertisement

Aku cemburu. Tapi aku bisa apa? Dibandingkan sahabatku aku terlalu kecil untuk kau lirik bukan? Aku yang lebih dulu menyimpan rasa padamu dicuri garis start oleh sahabatku sendiri. Dia yang ceria, luwes, lebih pandai bersolek membuatmu mudah jatuh hati padanya. Aku harus mulai belajar menempatkan harapan bukan pada manusia. Aku memiliki-nya yang tak pernah meninggalkanku, selalu bersamaku. Ini teguran untukku.

Bahkan jika aku adalah seseorang yang cerdas dalam menyusun setiap rencana masa depanku. Allah lebih tahu yang terbaik. Hati-hati memilih pijakan langkahku akan menentukan seperti apa aku dimasa depan. Jadi meskipun tanpa pernah kau ketahui perasaanku, aku ingin berhenti. Cukup berhenti dan memulai menuliskan lembaran baru. Terdengar naif, tapi izinkan aku mengucapkan selamat pada kalian.


"Aku turut berbahagia melihat kalian bersama~"


Kini, merelakanmu berbahagia tanpaku menjadi lebih mudah. Sedangkan aku mulai merangkai kembali anganku mencari bahagiaku sendiri dan bersabar kemana takdir akan membawaku, mepertemukan aku dengan seseorang yang tepat.

Aku melanjutkan mimpiku yang hanya akan menjadi bualan jika aku tak berani mencoba. Cukup sudah, aku juga perlu menata kembali hidupku hingga seseorang yang terbaik untukku datang melengkapi. Waktu yang terus berjalan yang mengubahku. Kau bukan lagi pusat duniaku. Segala yang ku lakukan dulu seperti sebuah perbuatan yang sia-sia saja. Tapi tenanglah, aku bukan seorang pendendam yang baik.

Tidak lagi tentangmu. Aku memilih berhenti dan membuat tulisan ini menjadi sebuah narasi yang tak akan pernah kau baca.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Trying my best?

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE