Lika-Liku Kredit Pendidikan di Indonesia

Dalam rangka meningkatkan taraf intelektualitas Bangsa Indonesia, pada 15 Maret lalu Presiden Jokowi bersama para pemimpin bank umum mengadakan rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta. Rapat tersebut membahas berbagai upaya peningkatan kualitas SDM salah satunya adalah kredit pendidikan yang diperuntukan bagi masyarakat yang ingin melanjutkan studi perguruan tinggi namun terkendala masalah finansial.

Advertisement

Kredit pendidikan (student loan) tersebut berupa pinjaman lunak berbunga rendah yang nantinya diangsur setelah si penerima kredit lulus dan mendapatkan pekerjaan. Kredit tersebut diharapkan dapat menggeser pola kredit konsumtif menjadi kredit produktif guna memenuhi target peningkatan ekonomi Indonesia sebesar 5,4 % di tahun ini.

Undang-undang yang menjadi acuan pengadaan kredit tersebut adalah UU no. 12/2012 pasal 76. Akan tetapi didalam pasal 76 ayat (2) butir c tertera bahwa kredit tidak boleh dikenakan bunga. Selain berdampak pada meningkatnya NPL (kredit macet), pinjaman berjangka waktu lama tanpa bunga juga memberatkan pihak perbankan. Untuk itulah penerapan kredit pendidikan masih perlu dikaji lebih lanjut oleh pihak bank dan pihak pemerintah.

Kredit Mahasiswa Indonesia

Advertisement

Pada tahun 1980an Pemerintah menggandeng Bank BNI pernah merilis kredit serupa bernama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) yang hanya ditujukan untuk mahasiswa PTN. Salah satu penerima kredit tersebut ialah Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir. Menteri Nasir mengungkapkan dalam implementasinya banyak mahasiswa penerima kredit tidak melakukan pelunasan, baik karena enggan maupun memang karena masih terkendala masalah finansial.

Selain itu penahanan ijazah sebagai jaminan juga tidak begitu efektif karena masih memungkinkan melamar pekerjaan bermodalkan legalisir fotokopi ijazah tanpa perlu ijazah asli. Insiden tersebut akhirnya menimbulkan kredit macet yang berujung pada dihentikannya KMI pada tahun 1981-1982.

Advertisement

Kredit pendidikan berujung default

Amerika Serikat dengan program federal student loan-nya yang menjadi rujukan Jokowi, telah menyalurkan kredit pendidikan sebesar US$ 1,48 triliun. Jumlah utang tersebut lebih besar dibanding pinjaman kartu kredit yang hanya sebesar US$ 620 juta. Ironisnya, jumlah utang tersebut juga berbanding lurus dengan meningkatnya rata-rata tingkat default (gagal bayar) dari mahasiswa seluruh kampus di Amerika Serikat angkatan 1995 – 2015 dari 14% menjadi 25%.

Malaysia pun dengan program PTPTN-nya sejak tahun 1997 telah menyalurkan kredit lebih dari RM 4,36 triliun kepada lebih dari 1,95 juta mahasiswa. Serupa dengan federal student plan, program PTPTN juga menimbulkan default terhadap penerima dana tersebut. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan oleh Mentri Pendidikan Tinggi Malaysia Dr. Mary Yap yang menyatakan bahwa tingkat default PTPTN sudah mencapai 97% dari mahasiswa seluruh kampus di Malaysia angkatan 2014 sampai 2016.

Menurut laporan Statistik Pendapatan Hasil Sakernas 2016 yang dirilis oleh BPS, rata-rata penghasilan yang diterima oleh lulusan S1 berkisar Rp 3,6 juta. Pada tahun yang sama, tingkat inflasi sebesar 3.02% membuat biaya hidup ikut meningkat tak terkecuali dengan biaya perkuliahan. Hal tersebut akan berdampak signifkan terutama terhadap fresh graduate lulusan S1 dalam mengangsur kreditnya nanti. Dengan kisaran gaji sebesar Rp 3,6 Juta tidak menutup kemungkinan insiden default KMI akan kembali terulang.

Belajar dari manajemen biaya pendidikan Jerman

Pada tahun 2005, tujuh negara bagian Jerman masih memberlakukan biaya pendidikan sebesar maksimal 500 Euro per semester. Kemudian pada tahun 2015 aturan tersebut dicabut sehingga penghapusan biaya pendidikan berlaku di seluruh negara bagian Jerman. Penghapusan biaya pendidikan tersebut bukan berarti mahasiswa tidak dikenakan biaya sama sekali. Mahasiswa masih tetap dikenakan biaya penunjang pendidikan seperti biaya pelayanan sosial dan kontribusi dengan kisaran € 100 sampai € 300 per semesternya.

Pemerintah Jerman merealisasikan program tersebut dengan penerapan pajak yang tinggi dari masyarakat. Dari pajak tersebut sebesar 25% dialokasikan untuk pendidikan guna menyokong program lainnya, seperti pendanaan berbagai riset ilmiah dan penerapan dual-education di berbagai sekolah vokasi.

Pemerintah bekerja sama dengan serikat buruh dan kamar dagang menetapkan standarisasi dual-education yang dirancang agar sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Program tersebut bertujuan agar kuota lapangan kerja terserap maksimal yang berujung pada meningkatnya GDP negara tersebut.

Kedua program tersebut terlihat bak dua sisi mata uang. Di satu sisi kredit pendidikan bertujuan untuk memindahkan beban finansial kepada mahasiswa setelah lulus nanti berupa angsuran. Di sisi lain, penghapusan biaya pendidikan dapat menjadi solusi alternatif bagi pemerintah walau masih dikenakan biaya penunjang per semesternya.

Beban tersebut bertansformasi dari angsuran kredit pendidikan menjadi kewajiban membayar pajak tinggi. Oleh karena itu, mari kita tunggu bagaimana lika-liku kredit pendidikan di Indonesia dapat terwujud dalam waktu dekat demi meningkatnya taraf intelektualitas Bangsa Indonesia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

I'm an Android Developer who stay in Bekasi and work in Jakarta

CLOSE