Begini Rasanya Jadi Pendaki Pemula. Rempong dan Deg-degan Nggak Karuan Jelang Pendakian!

“Eh kurang dua minggu lagi ya naik Gunung Lawu, aduh deg-deg’an banget nih.”

“Kan masih lama Dil -_-”

“Bentar lagi tauk, dua minggu itu cepet. Aduh aku udah packing dari seminggu yang lalu nih, tapi kok ngerasa ada aja yang kurang. Di atas ada yang jual makanan nggak sih? Harus banget bawa-bawa air dan beras segala? Terus bawa jaket dua cukup nggak sih? Dinginnya kaya apa di atas sana? Nggak ada binatang buas kan di atas? Nggak pernah ada berita pendaki mati di makan babi hutan atau macan kan? Eh entar sore anterin ke tempat penyewaan alat outdoor lagi dong …”

Pernah punya temen model begini? Atau lagi ketawa geli mengingat saat kamu bersiap mendaki pertama kali? Hahaa. Hampir pasti setiap orang ingin merasakan serunya mendaki, entah puncak yang jadi tujuan atau bukan. Namun faktanya, nggak semua orang berani mengambil keputusan untuk pergi mendaki. Butuh waktu libur atau cuti kerja, beserta kemampuan dan tenaga ekstra, serta kemantapan niat untuk benar-benar pergi mendaki. Dan sebagai seorang pemula, pasti perasaan ini (pernah) kamu nikmati.

Pertanyaan awal saat pertama kali mendaki, “Waduh apa aja nih yang aku bawa? boleh bawa mantan nggak buat diterjunin dari puncak sana?”

bawa baju berapa? bawa jaket berapa? bawa celana apa aja?

bawa baju berapa? bawa jaket berapa? bawa celana apa aja? via herpackinglist.com

Pendaki pemula pasti pernah nanya begini. Pergi mendaki gunung tentu berbeda dengan pergi hangout ke mall atau ke pantai. Ke mall mah bawa tas kecil doang, ke pantai mah baju tipis-tipis aja biar nggak kepanasan. Kalau ke gunung? Silahkan bawa tas kecil biar kamu mati kelaparan, sok makai baju tipis biar kamu hipotermia karena kedinginan. Momen pertama kali ini bakal bikin kamu nanya terus-terusan ke mereka yang sudah pernah main ke gunung, kamu pun akan meluangkan waktu ekstra untuk riset di dunia maya terkait apa saja yang harus kamu bawa dari rumah ke gunung yang akan kamu jelajah. Ya, bukankah begini kerempong-an pertamamu kala itu?

Nggak cuman rajin nanya perkara barang bawaan aja, kamu juga bakal bolak-balik tempat penyewaan alat outdoor untuk memastikan kelengkapan bawaanmu

yang ini lebih mahal, berarti lebih bagus dong? Tuker ini aja ahh

yang ini lebih mahal, berarti lebih bagus dong? Tuker ini aja ahh via thesurvivalman.com

“Anterin ke tempat penyewaan kemarin dong”

“Mau cari apalagi sih?”

“Ini mau nukerin sleeping bag, kayanya yang merk X lebih tebel deh, harganya juga kan lebih mahal, berarti lebih bagus. Terus bawaanku kan banyak, aku mau tuker carrier yang 60 liter aja deh lebih gede.”

“*^%&%%E#%^&&*(%^$@#%^&”

Ya, maklum sih, kan baru pertama kali. Pasti pengennya segalanya dipersiapkan dengan baik, segala-galanya kudu dibawa. Takutnya pas trekking ngerepotin temennya. Trus pas naik gunung lagi nggak bakalan diajak. Hahaha. Bahkan, kalau kamu boleh jujur nih, pas pertama kali nggunung dulu, pengennya nyamperin toko outdoor kan? Bukan tempat penyewaan. Pengennya sih beli, punya sendiri, bukan pinjem. Terus kamu bakal mikir lagi, “Duit ada sih di tabungan, tapi ini berlaku jangka panjang nggak ya? Taunya beli mahal tapi nggak kepakai lagi. Kan sayang.” Akhirnya tempat penyewaan jadi jujugan.

Berani taruhan, kamu pasti butuh waktu ngumpulin nyali buat minta ijin ke orang tuamu. Butuh durasi cukup lama buat ngatur siasat dan strategi biar misimu ke gunung dilancarkan oleh Ayah Ibu

momen ini tanpa sengaja bikin kamu inget Tuhan, kamu bakal minta tolong dia supaya orang tuamu mengijinkan

momen ini tanpa sengaja bikin kamu inget Tuhan, kamu bakal minta tolong dia supaya orang tuamu mengijinkan via www.integratedcatholiclife.org

“Gimana bilangnya ya? Enaknya ke mama apa papa ya? Diijinin nggak ya? Kalau enggak, kan malu sama temen, udah prepare banget lagi. Mereka pernah naik gunung nggak ya? Ini harus ada strateginya nih, nggak mungkin tiba-tiba minta ijin naik gunung. Duh Gusti!”

Pasti tiap hari begini-begini aja obrolanmu dengan diri sendiri. Makan nggak laper, tidur nggak ngantuk, kepikiran mulu. H-1 bulan, H-2 minggu, H-1 minggu, H-2 hari, masih juga belum berani minta ijin. Sampai akhirnya, daripada jadi anak durhaka dan kenapa-napa disana, di suatu malam kamu nekat ngomong ke orang tua tentang niatanmu ini. Sembari menunjukkan peralatan dan perlengkapan untuk 4 hari mendaki. Baju hangat berlapis, bahan makanan, obat-obatan, dan segalanya sehingga orang tua percaya dan mengijinkan, lebih-lebih mendoakan. Sekarang masih suka kaya gini nggak?

Selain menyiapkan mental, kamu pun paham kalau fisik juga harus ditangguhkan. Karenanya, menuju awal pendakian kamu akan rajin olahraga

nggak cuman mental aja yang dikuatin, fisik pun

nggak cuman mental aja yang dikuatin, fisik pun via theagc.org.uk

Siapa yang berani membantah kalau naik gunung itu butuh banget fisik yang oke. Apalagi kalau keseharianmu selalu menggunakan kendaraan kemana-mana alias nggak pernah jalan kaki, boro-boro olahraga. Apalagi nih, kalau saat mendaki pertama kali kamu sudah barengan dengan temen-temenmu yang bisa dikatakan expert. Kamu pasti takut bakal ditinggalin di tengah jalan oleh mereka. Makanya itu, minimal dua minggu sebelum mendaki, kamu bakal rajin olahraga, minimal jogging tiap pagi atau sore di sekitaran komplek rumah. Iya kan? Pendakian kedua, ketiga, keempat mah udah mulai cuek, bodo amat. Hahaa.

Sekadar nostalgia nih, pas awal mendaki dulu (cewek khususnya), pernah bawa-bawa handuk dan segala perlengkapan mandi kan? HAHAHAA!

“Kalau mandi dimana?” *keluartendasambilbawahandukdannentengperlengkapanmandi

“Hah? yang nyuruh bawa bawa gituan siapa? Mau mandi beneran? Turun dulu sana, inget kan jalur trekking yang kemaren?”

Ada yang pernah begini? Walau nggak sampai keluar tenda sambil bawa handuk dan nanya toilet umum, pasti ada kan peralatan itu di carrier atau backpack mu? Klasik sih, tapi tenang kamu nggak sendirian. Niatnya baik lho, mandi. Harusnya diapresiasi. Awalnya kamu kira mendaki gunung sama layaknya traveling ke luar kota, bedanya cuma kamu bakal tidur di tenda dan bawa baju berlapis lantaran pendingin alami memang mengharuskan tubuhmu ber-aklimatisasi sebelum mendaki. Tapi ternyata? Kamar mandi pun tak ada. Lama kelamaan kamu jadi ngeh, oh jadi anak-anak gunung itu sejorok itu. Pendakian kedua, ketiga, keempat, dan selanjutnya kamu cuma modal tisu basah sama sikat gigi doang. Pasta gigi mah minta temen aja ~

Nggak peduli jomblo atau enggak, pas awal-awalnya mendaki pasti kamu mikir begini. “Ada yang cakep nggak ya di atas sana? Kali aja turun gunung sudah punya gandengan. hehehe”

naik sendiri, pulang berdua. mau?

naik sendiri, pulang berdua. mau? via travelfashiongirl.com

Mengakulah wahai anak manusia kalau setidaknya dalam sekali pendakian kamu pernah berorientasi seperti ini? Apalagi yang jomblo. Jadi, kamu nggak cuma bawa peralatan mandi aja, melainkan lengkap dengan alat make-upnya juga. Biar tetep cantik euy ~ Ada sih ada yang beruntung ketemu jodoh di pendakian, tapi banyak juga berujung temen sampai balik ke kota. Udah saking seringnya main ke gunung dan nggak kunjung menemukan jodoh, lama kelamaan pun kamu makin selow dan cuek soal gituan, carrier juga makin enteng karena nggak ada lagi make up yang dibawa kemana-mana. Kamu makin paham kalau jodoh itu harusnya menerimamu apa adanya, bukan hanya penampilan fisik semata #eaaa

Kalau pas masih jadi ‘anak baru’ di gunung, puncak adalah satu-satunya tujuanmu. Semakin kemari kamu pun sadar, tujuan utamamu bukan itu

inget, sekarang tujuanmu udah dua

inget, sekarang tujuanmu udah dua via hikinglady.com

Bullshit kalau kamu bilang naik gunung dan puncak bukan tujuan. Puncak memang tujuan pertama setiap pendaki, dan tujuan keduanya ialah rumah, pulang ke rumah dengan selamat. Awalnya, kamu kesana cuma buat seneng-seneng masa muda aja, sekadar pengen ngomong ‘aku udah berhasil menaklukkan puncak gunung ini lho.’ Bukan begitu? Kemudian turun dari sana, ada rasa bangga tersemat dalam dada. Tapi lama kelamaan, kamu jadi tahu, puncak bukan satu-satunya tujuanmu, apalagi sunrise. Tujuan utamamu justru rumah, kembali mendapati kenyamanan yang kamu tinggalkan. Dan perjalanan bukan lagi sekadar sombong-sombongan aja, kamu justru belajar mengenali dirimu sendiri jauh lebih dalam lewat pendakian itu.

Se-expert apapun kamu jadi pendaki sekarang, sebanyak apapun gunung yang pernah kamu singgahi, kamu tetep pernah melakukannya untuk pertama kali. Bagaimana rasanya jadi pendaki pemula? Antusias, deg-degan, ricuh dengan segala kerepotan, takut, dan haru saat mencapai puncak. Yang paling penting, rasa pertama kali mendaki kala itu nggak akan mungkin kamu lupakan. Selamat melanjutkan pendakian!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Rajin menggalau dan (seolah) terluka. Sebab galau dapat menelurkan karya.