Kamu Boleh Berubah, Jogjaku. Tapi Sampai Kapanpun Aku Akan Selalu Rindu

Artikel ini terinspirasi oleh @chef_kimmy , pemenang #30HariTerimaKasih challenge dari Hipwee. Hayo, sudahkah kamu bersyukur hari ini?

Jika ditanya apa yang begitu istimewa darinya, barangkali kamu hanya akan tersenyum sembari sedikit memiringkan kepala. Dia tak berbeda dari banyak kota lain di luar sana. Jalanannya kini kian padat di mana-mana, genangan air juga mulai rutin muncul setiap hujan tiba.

Kota ini kian menua. Baliho bisa ditemukan di tiap sudut pandang mata. Pembangunan banyak mall megah juga membuat orang bertanya, “Masihkah ia layak disebut kota pelajar dan budaya?”

Jogja bukan lagi cuma soal magisnya lampu malam di Malioboro, deretan pedagang Gudeg di Wijilan, dan belanja dengan harga miring di Beringharjo. Jogja berubah. Tradisionalitas dan kesederhanaannya bergeser ke sumbu baru.

Tapi anehnya, di balik semua perubahan itu Jogja tetap punya sisi sama yang tetap tertinggal di dadamu. Sekali menginjakkan kaki ke Jogja kota ini seakan punya kuasa untuk selalu menguarkan hawa rindu.

Sesederhana itu, Jogja bisa mendapatkan hatimu.

Kemewahan di Jogja bisa muncul dalam fragmen-fragmen sederhana. Semangkuk soto bening dan Merapi-Merbabu yang tampak gagah di utara — sudah bisa membuat senyum hadir di muka

Merapi Merbabu yang gagah di utara sudah bisa menimbulkan damai di muka

Merapi Merbabu yang gagah di utara sudah bisa menimbulkan damai di muka via weirdoelf.blogspot.com

Pagi “mewah” ala Jogja adalah hari cerah yang memperlihatkan gagahnya Merapi-Merbabu di utara. Tidak ada awan mendung menutupi badannya. Cerahnya matahari membuatmu bisa mengamati pejalnya kaki kedua gunung itu, bagaimana kini vegetasi hijau mulai kembali muncul setelah erupsi hebat tahun 2011 lalu.

Saat hari sedang cerah-cerahnya tak jarang kamu akan mengeluarkan ponsel untuk berbagi perasaan di media sosial. Pemandangan cantik kerap menghasilkan kicauan macam ini di linimasamu,

“Merapi cantik sekali hari ini.”

“Pagi cerah. Merapi-Merbabu terlihat. Nikmat Tuhan mana lagi yang bisa kamu dustakan?”

Melewati jalan lingkar utara atau jalan lingkar selatan Jogja yang tak begitu padat di pagi hari jadi kemewahan selanjutnya. Walaupun motor-motor kadang seenaknya menyerobot antrian, tentu ini masih belum seberapa jika dibandingkan dengan kemacetan Jakarta yang membuat migrain seketika.

Di Jogja bahkan semangkuk soto daging sapi berkuah bening bisa menjelma jadi potongan surga. Datang ke warung soto untuk sarapan, mengunyah perkedel dan sate ati, ditemani segelas teh manis panas memberimu sensasi damai yang tak ada duanya. Dalam kesempatan macam ini pemikiran tentang hidup dan kesederhanaan kadang berkelebat di kepala,

“Bukankah akhirnya hal-hal sederhana dan murah macam ini sudah bisa membuat kita bahagia? Berlebihankah ambisiku selama ini sebagai manusia?” 

Di kota ini jarak mendadak nisbi.  Perjalanan dari Kotabaru ke Bantul demi mencari sate enak pun dengan ikhlas kamu lakoni

Demi ini, perjalanan jauh pun rela dilakoni

Demi ini, perjalanan jauh pun rela dilakoni via www.diahdidi.com

Kini jalanan Jogja memang tidak sudah selengang dulu. Jalan Gejayan yang berubah nama ke Jalan Affandi jadi langganan macet di pagi dan sore hari. Melintasi Jalan Kaliurang juga berarti harus menabahkan hati. Interval waktu tunggu yang cukup panjang membuatmu harus bersabar menanti.

Tapi kepadatan jalan yang sekarang kian terasa tetap tidak membuat jarak jadi masalah di Jogja. Tinggal di Jogja seakan datang sepaket dengan keahlian untuk tidak memandang jarak sebagai biang kerok semua masalah yang ada.

Perjalanan berburu Sate Klathak Pak Bari di Bantul dari daerah Kotabaru akan dengan ikhlas kamu lakoni. Berangkat pagi-pagi sekali dari rumah di daerah Sleman ke Jalan Godean demi sarapan gudeg basah pun akan kamu lakukan dengan senang hati.

Rasa-rasanya di Jogja tak ada tempat yang terlalu jauh untuk didatangi. Asal punya niat dan tahu patokan jalannya, semua bisa dan mungkin dicari.

Jogja yang sekarang memang sudah tidak sesederhana dulu lagi. Tapi di balik kafe dan mall baru yang bermunculan di sana-sini, sisi bersahaja itu tidak sepenuhnya pergi

Sisi bersahaja itu tidak sepenuhnya pergi

Sisi bersahaja itu tidak sepenuhnya pergi via belindch.deviantart.com

Jogja kini memang sudah berkembang seperti kota-kota besar selayaknya. Mall-mall tinggi tumbuh di seluruh sisi jalan lingkar utara. Menyisakan kemacetan di mana-mana. Kafe di sepanjang Prawirotaman, Tirtodipuran, Sosrowijayan dan Seturan juga mengubah pemandangan. Mahasiswa bermobil kini mudah ditemukan di sepanjang jalan. Mereka lebih senang mampir ke kafe atau mall dibanding ngemper di angkringan.

Namun ada sisi Jogja yang tetap setia. Dalam anggukan ramah tukang parkir di Jalan Solo, pada senyum yang ringan diberikan oleh Mbok-mbok Gudeg Batas Kota saat kita minta tambahan krecek, sampai dalam sapaan Bapak Bakmi Jawa yang sedang sibuk dengan tungkunya — kehangatan yang sama tetap ada.

Dalam beberapa sisinya, Jogja akan selalu sehangat biasanya.

Alasanmu habis jika ditanya kenapa Jogja selalu membuat jatuh cinta. Kamu hanya merasa pulang setiap mendatanginya. Sudah. Itu saja

Kamu bisa dengan fasih mengungkap alasan kenapa tak ingin tinggal di Jakarta — kemacetannya membuatmu hampir gila. Kamu pun bisa panjang bercerita soal Semeru, Lawu dan Rinjani dan gunung-gunung lain yang pernah didaki sebelumnya.

Tapi tidak dengan dia. Kota yang satu ini membuatmu jatuh cinta, dengan caranya yang sangat sederhana.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini