Suara Dari 2 Cewek Tionghoa: “Kami Bukan Rampok atau Imigran. Kami Indonesia Fusion!”

Sipit, putih, hemat, dan terkenal ulet dalam bisnis — beginilah stereotype yang kerap disematkan pada mereka yang memiliki darah Tionghoa. Keberadaan kawan-kawan etnis Tionghoa di sekitar kita memang sudah bukan jadi hal yang asing.

Advertisement

Mereka yang bermata sipit dan berkulit putih itu bisa jadi adalah salah satu teman sekolahmu, rekan satu rumah kost, atau bahkan ada dari kamu yang kini sedang pacaran dengan dia yang berdarah Tionghoa.

Dari hari ke hari, penerimaan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia memang makin meningkat. Kita mulai menyadari bahwa mereka sebenarnya tak berbeda dari kita yang berkulit gelap atau cokelat. Namun, tetap saja menjadi anak muda dengan etnis Tionghoa punya tantangannya sendiri. Di artikel ini Hipwee akan mengungkapkan bagaimana rasanya jadi anak muda Indonesia yang beretnis Tionghoa, berdasarkan penuturan beberapa narasumber yang telah Hipwee wawancarai.

Raju dan JenJus, 2 Wanita Tionghoa yang Dibesarkan Dalam Periode Berbeda

Raju, saat di Groningen (Foto diambil dari lama Facebook Raju)

Raju, saat di Groningen (Foto diambil dari lama Facebook Raju)

Jumat beberapa pekan lalu, saya menemui Ratna Juwita atau lebih biasa disapa Raju di sebuah universitas di Jogja. Raju adalah seorang mahasiswa yang sedang berusaha menyelesaikan pendidikan tingkat Master di bidang Hukum. Walau namanya terkesan Jawa dan agak ada sedikit sentuhan India, namun Raju adalah seorang gadis yang penampilannya 100% Tionghoa. Dia bahkan menyebut dirinya “Tionghoa Totok.” (Tionghoa murni -red)

Advertisement

“Iya, kakek-nenekku datang dari Fujien. Suatu tempat di dataran Cina. Makanya mukaku kayak gini, ‘kan? Cina totok banget hahahahhaha.”

Anak muda Tionghoa lain yang kami ajak bicara adalah Jenny Jusuf. JenJus, begitu ia biasa disapa adalah seorang penulis yang juga aktif berkicau di sosial media dan blog pribadinya. Beberapa waktu lalu, Jenny sempat menuliskan pengalamannya sebagai orang Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 di Twitter dan blog -nya. Sama seperti Raju, darah Tionghoa Jenny juga datang dari kakek-neneknya yang berasal dari dataran Cina.

Meski sama-sama berdarah Tionghoa, Raju dan Jenny dibesarkan di 2 periode yang berbeda. Jenny sudah duduk di bangku SMP saat peristiwa kerusuhan 1998 yang banyak memakan korban Tionghoa terjadi. Sementara Raju masih duduk di bangku SD. Mereka berdua memiliki pengalaman yang berbeda tentang tumbuh besar jadi anak muda Tionghoa di Indonesia.

Advertisement

“Pacsa kerusuhan Mei 1998 adalah masa terburuk buat Etnis Tionghoa di Indonesia. Saking kasarnya perlakuan yang kami terima, sampai nggak layak ditulis disini.”

Jenny Jusuf, masa tersulit bagi warga keturunan adalah pasca kerusuhan Mei 1998 (Kredit Foto: Jenny Jusuf)

Jenny Jusuf, masa tersulit bagi warga keturunan adalah pasca kerusuhan Mei 1998 (Kredit Foto: Jenny Jusuf)

Kerusuhan Mei 1998, menurut Jenny, adalah episode terburuk dalam perjalanan toleransi antar etnis di Indonesia. Jenny yang saat itu masih duduk di bangku SMP ingat betul bagaimana kondisi ekonomi keluarganya hancur pasca kerusuhan ’98. Dalam salah satu kicauannya di Twitter, Jenny mengaku takut jika tragedi yang sama kembali terulang di Indonesia.

Saat itu, toko pakaian paman Jenny di daerah Glodok habis terbakar dan keluarga mereka terpaksa banting setir berjualan mi rebus untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ia masih ingat dengan jelas bahwa banyak sekali warga keturunan yang jadi korban pembunuhan, penjarahan, bahkan kekerasan seksual. Jenny yang saat diwawancara sedang traveling di Eropa menuliskan di badan surat elektroniknya:

“Kerusuhan Mei 1998 menyadarkan saya betapa kami dibenci. Betapa ada orang-orang yang sampai kapan pun tidak akan bisa menerima keberadaan kami.”

Ketika ditanya apa kesulitan yang pernah Jenny alami yang disebabkan oleh identitasnya sebagai Tionghoa, Jenny menceritakan pengalamannya pertama kali mengurus paspor. Aturan mengganti nama dari nama Tionghoa ke nama Indonesia sempat harus membuatnya repot.

Satu-satunya kesulitan yang saya ingat sampai sekarang dan sempat bikin misuh-misuh, adalah saat membuat paspor pertama, kira-kira hampir 10 tahun yang lalu. Waktu itu sebagai warga keturunan kami diharuskan menyertakan surat bukti ganti nama (dari nama Tionghoa ke nama Indonesia). Saya tidak punya surat itu karena saya lahir dengan nama Indonesia, dan akte kelahiran pun ditulis dengan nama Indonesia. Untungnya, ibu saya masih menyimpan surat miliknya, juga surat milik nenek saya. Jadilah kami berdua membongkar dokumen-dokumen tua supaya saya bisa punya paspor. Ribet! Syukurlah, sekarang surat tersebut sudah tidak diperlukan.”

Waktu Mulai Mengubah Keadaan. Kini, Raju Bahkan Merasa Ke-Tionghoa-annya Perlu Dirayakan

Biasa berbaur dengan teman-teman non Tionghoa (Gambar diambil dari Facebook Raju)

Biasa berbaur dengan teman-teman non Tionghoa (Gambar diambil dari Facebook Raju)

Cerita yang cukup berbeda datang dari Raju. Dia adalah bukti nyata bahwa tingkat toleransi kita makin membaik dari hari ke hari. Sedari kecil, Raju disekolahkan di sekolah swasta yang sedikit murid keturunan Tionghoa-nya. Raju juga terbiasa melebur dengan teman-temannya yang notabene non-Tionghoa tanpa pernah merasa mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Ketika menceritakan masa kecilnya yang sering bermain dengan anak-anak kampung yang bukan berasal dari etnis Tionghoa, Raju merasa kesulitan menemukan sebutan yang tepat. Ia sudah enggan mengotak-ngotakkan etnis dengan pribumi dan non pribumi.

“Iya, aku sering main sama anak-anak hmmm apa ya nyebutnya? Masak pribumi? Jawa aja deh ya, Jawa!”

Jika generasi sebelum Raju merasa terbatasi karena ke-Tionghoa-an mereka, Raju justru merasa penampilannya yang sipit dan putih perlu dirayakan:

“Kenapa harus takut? Toh masyarakat berubah, waktu juga terus berjalan. Aku gak pernah merasa identitasku sebagai Cina membatasi. I can’t change it. It lies within me. Justru ini berkah! Lagipula sekarang kita punya kekuatan lebih, kok. Aku tetap warga negara Indonesia. Nggak ada yang berbeda dariku hanya karena aku Tionghoa.”

Saat Orang Menganggap Tionghoa Pasti Ingin Jadi Pengusaha, Raju Malah Ingin Jadi PNS

Ahok, tokoh panutan Raju untuk jadi PNS

Ahok, tokoh panutan Raju untuk jadi PNS via agnesbemoe.blogspot.com

Rasa tidak lagi terbatasi oleh identitasnya yang Tionghoa “dirayakan” Raju dengan menjajal semua hal yang selama ini masih jarang dilakukan oleh mereka yang beretnis Tionghoa. Dia mendaftar Beasiswa Unggulan DIKTI untuk kuliah hukum di Universitas Groningen, Belanda. Dari seluruh kandidat penerima beasiswa, Raju-lah satu-satunya kandidat yang beretnis Tionghoa.

“Iya, waktu seleksi beasiswa aku sempat ngerasa aneh. Kok aku Cina sendiri ya? Hahahahhaa!”, gelak Raju.

Tidak hanya berhenti di menjajal ikut beasiswa program pemerintah, Raju juga menyatakan ingin jadi PNS setelah ia lulus nanti. Pilihan profesi yang sangat tidak lazim bagi etnis Tionghoa yang lebih banyak dikenal sebagai pedagang dan pengusaha.

“Aku pengen jadi diplomat. Kalau bisa sih jadi diplomat di mainland China, hahahahaha. Aku ingin membuktikan ke orang tua kalau gak ada yang berbeda dari menjadi Cina. Dari dulu aku selalu diingatkan biar lebih berhati-hati dalam bicara karena aku Cina. Padahal ‘kan kalau cuma jaga omongan ya bukannya semua orang harus menjaga omongannya? Gak peduli dia Cina atau bukan…”

Sedang Jenny yang kini menetap di Bali terus berkarya sebagai penulis. Ia baru saja mengeluarkan buku terbarunya yang berjudul “Eat, Play, Leave.” Bali adalah tempat yang paling membuat Jenny merasa paling bisa diterima. Menurut Jenny, di Bali garis perbedaan antara warga keturunan dan yang bukan sama sekali tidak terasa. Semua orang bisa hidup dengan damai.

Jenny dan Raju sama-sama sepakat bahwa munculnya tokoh-tokoh Tionghoa macam Ahok dan Marie Elka Pangestu bisa jadi jembatan yang baik bagi pemahaman antara orang Tionghoa dan non-Tionghoa. Bahkan, Raju mengaku menjadikan Ahok sebagai panutannya.

“Kita Ini Chinese-Indonesian. Jangan Pernah Mau Melebur dan Meninggalkan Ke-Tionghoaan Kita. Biar Orang Melihat, Agar Nantinya Terbiasa.”

Menjadi Indonesia bukan berarti harus membaur dan melupakan tradisi

Menjadi Indonesia bukan berarti harus melupakan tradisi via www.globalindonesianvoices.com

Baik Raju dan Jenny sepakat bahwa toleransi antar etnis di Indonesia makin membaik dari hari ke hari. Tapi, ini bukan berarti mereka merasa harus meninggalkan ke-Tionghoaan mereka untuk dapat menjadi Indonesia. Bahkan saat ditanya tentang pesannya pada anak muda Tionghoa lain di luar sana, Raju yakin berpesan agar anak muda Tionghoa jangan pernah meninggalkan adat-istiadatnya:

It is okay now to be Chinese. Jangan pernah mau melebur dan meninggalkan adat-istiadat kita sebagai Tionghoa. Biarkan orang melihat, agar nanti mereka terbiasa. Jangan takut jadi PNS, jangan takut mencoba apapun. We are a fusion Indonesian!”

Pembicaraan siang itu kami akhiri dengan gurauan tentang stereotype “pelit” dan “kaya” yang sering diberikan pada anak muda etnis Tionghoa.

Jenny dengan tegas menolak hal tersebut. Dia mengatakan harus menabung lama untuk bisa traveling, perlu mengatur belanja dan makan agar punya dana lebih. Sedang Raju justru menjawab dengan tergelak,

“Hahahahahahha….iya aku pelit sih. Gimana dong? Hahahhaha. But I am poor. Orang tuaku buka bengkel motor, kami tetap harus bekerja keras. Tapi ini udah biasa jadi bahan bercandaan kok. Ya kalau emang pelit ya aku nggak mau bohong, hahahahaha.”

Dari balik mata sipitnya yang kian terlihat kecil saat tertawa, saya bisa melihat sebuah harapan baru.

Saat anak muda seperti kita sudah bisa mentertawakan stereotype yang selama ini dianggap tabu untuk diperbincangkan, ini berarti ada jalan untuk melupakan semua perbedaan yang sering dipermasalahkan.

Semoga, harapan ini memang benar-benar akan terwujud.

Baca sepuasnya konten-konten eksklusif dari Hipwee dan para konten kreator favoritmu, baca lebih nyaman bebas dari iklan, dengan berlangganan Hipwee Premium.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat puisi dan penggemar bakwan kawi yang rasanya cuma kanji.

CLOSE