Saksi Bisu Persahabatan

Pulau Pari, 28 Desember 2015

Pernah kebayang gak sih? Betapa indahnya liburan di akhir tahun bersama teman satu geng. Liburan di pantai yang damai. Ini liburan yang terindah buat kami. Tahun depan kita akan lulus dari perguruan tinggi tercinta dan kita akan benar-benar menjalani hidup masing-masing di kota yang terpisah. Duh saya jadi sedih, nih. Kita liburan dua hari satu malam di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Butuh berhari-hari untuk menentukan pulau mana yang akan jadi tempat liburan kita sebelum ditetapkan kita akan ke Pulau Pari. Kami berharap jalan-jalan ini akan manjadi memori paling indah dan semakin mempererat persahabatan kita.

Pagi-pagi sudah harus berangkat menuju kapal yang akan membawa kita di Pelabuhan Muara Angke yang ternyata jalan menuju Muara Angke tergenang oleh banjir. Dan karena menuju Muara Angke harus melewati pasar ikan yang bau anyirnya masuk hingga ke dalam taksi, belum naik kapal pun saya sudah mual-mual. Namun karena pikiran saya sudah excited akan pemandangan pantai yang indah dan senda gurau bersama teman-teman, perasaan seperti rasa takut, mual, dan ngantuk terobati. Sedikit cheesy, tapi memang itulah yang saya rasakan.

Selama perjalanan, waktu kita habiskan untuk berfoto dan bercanda, sekali-kali berkata saling berkata bijak tentang hidup dan cinta, menyesuaikan dengan pemandangan sekitar yang membuat puitis. Karena banyak hal yang kita lakukan, perjalanan terasa sangat sebentar. Ketika sampai di Pulau Pari, kita loncat-loncat dan bercanda dengan riang melihat betapa indahnya laut di Pulau Pari yang berwarna biru muda atau biru telor asin. Kita tidak berhenti melontarkan candaan sampai tiba di penginapan. Bukan hotel, bukan juga vila. Hanya rumah warga yang kecil namun memiliki AC, dua kamar mandi, beberapa kasur, dan tv LCD. Saya tidak menyangka penginapannya akan seperti ini, saya pikir rumahnya akan seperti rumah KKN karena lingkungannya sangat desa walaupun begitu indah. Ternyata, yang saya lihat di luar dugaan saya.

Beristirahat sebentar, ganti baju untuk bermain di pantai, memakai sun block, kemudian menuju Pantai Pasir Perawan untuk bermain air. Mengapa di sebut Pantai Pasir Perawan? Karena pasirnya berwarna putih bersih, lautnya pun berwarna biru muda. Pemandangan yang sangat jarang bagi kami. Tanpa membuang waktu, kita segera berlari dan bermain air layaknya anak kecil. Aslinya kita sudah berumur lebih dari 20 lho. Lupakan sejenak tentang masalah kuliah dan percintaan, di pantai yang indah dan sepi ini hanya ada laut, langkah kaki kita yang tampak di permukaan pasir putih itu, dan suara canda tawa kita yang kekanak-kanakan.

Hal yang tidak bisa dilepaskan dari pantai adalah melihat matahari terbenam. Setelah makan siang menuju sore dan berganti baju, kami kembali menelusuri Pantai Pasir Perawan dan menunggu matahari terbenam. Pemandangannya sangat indah, matahari terbenam dan langit berwarna kuning kemerahan terekam di bola mata dan ingatan kami.

Laut yang begitu tenang hanya diiringi dengan suara arus dan desir ombak yang malu-malu mengeluarkan suaranya, langkah kaki kami yang tertanam di pasir putih di bawah langit senja, menjadi saksi bisu persahabatan lima anak kota yang haus akan sunyi. Apa yang kita cari sebagai manusia kerdil di hadapan kekuasaan Tuhan? Tundukkanlah kepalamu kawan, tataplah keagungan Tuhanmu. Tutup matamu kawan, dengarlah suara laut yang sunyi.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang mahasiswi tingkat akhir di Sastra Jepang, Unpad. Seseorang yang sangat menyukai novel detective dan sastra dan hobi menulis.