Presiden yang Berlaku Seperti Preman dan Keberhasilannya Menurunkan Angka Kriminalitas Filipina

Rodrigo Duterte, sosok yang sedang hangat diberitakan berbagai media dunia ini memang spesial. Presiden ke-16 Filipina ini berhasil menurunkan tingkat kriminalitas sebesar 31%, hanya setelah 5 bulan menjabat sejak pertengahan tahun 2016. Banyaknya kartel obat dan geng preman memang membuat Filipina tersohor sebagai negara dengan kriminalitas tinggi yang tidak aman untuk dikunjungi. Maka dari itu, dalam aspek tertentu kehadiran tokoh seperti Duterte ini bisa dipandang sebagai berkah.

Akan tetapi yang ramai jadi bahan perdebatan adalah cara yang diambil Duterte untuk mencapai tujuannya memerangi narkoba dan kriminal. Majalah Time menjulukinya sebagai ‘The Punisher‘. Ya seperti karakter utama dalam film ‘The Punisher‘, Duterte terkenal menghalalkan segala cara untuk menangkap kriminal termasuk pembunuhan. Berbagai organisasi pengamat HAM dan media melaporkan bahwa di bulan ke-6 pemerintahan Duterte, tercatat lebih dari 6000 kematian kriminal di Filipina. Berarti di bawah kepemimpinan Duterte, 1000 kriminal menemui kematian per bulannya.

Tahun 2016 Duterte resmi menjadi Presiden ke-16 Filipina. Kampanyenya tak kalah kontroversial dari Donald Trump di Amerika

Rodrigo Duterte

Rodrigo Duterte via edition.cnn.com

Sebelum terpilih menjadi Presiden Filipina, Rodrigo Duterte merupakan walikota Davao, salah satu kota urban di pulau Mindanao. Duterte menjadi walikota sejak tahun 1988 dan sempat menjadi anggota kongres di tahun 1998 sebelum kembali menjabat sebagai walikota di tahun 2004. Jadi bila ditotal, Duterte memerintah Davao kira-kira 22 tahun lamanya. Yang lebih menarik lagi, ketika dia naik menjadi Presiden Filipina, putri bungsunya Sara Duterte naik menggantikannya sebagai walikota Davao. Sementara putra sulungnya, Paolo Duterte menjabat sebagai wakil walikota Davao.

Di masa kampanye, janji Duterte sudah mencengangkan. Pertama, dia akan memperkenalkan bentuk baru pemerintahan yaitu parlemen federal. Kedua, Duterte juga berjanji untuk membunuh ribuan kriminal dan para pecandu narkoba dalam waktu 6 bulan. Hal yang sama sudah dia lakukan selama 22 tahun di Davao yang menyebabkan lebih dari 1400 orang kriminal terbunuh.

Soal ketegasan, Duterte tak perlu dipertanyakan. Tapi kebijakannya terkesan mendukung pembantaian dan mengabaikan hak asasi manusia

pembunuhan atas tertuduh narkoba

Pembunuhan atas tertuduh narkoba via www.dailymail.co.uk

Rodrigo Duterte resmi terpilih menjadi presiden ke-16 Filipina di bulan Mei 2016. Saat ini, kebijakan domestiknya berfokus pada aksi pemberantasan kriminalitas dan narkoba, melalui program Oplan Tokhang atau Perang Melawan Narkoba. Dalam pelantikannya di bulan Juni, Duterte menekankan kepada warga untuk memberantas narkoba dan pelaku kriminal. Duterte juga memberikan izin kepada petugas berwajib untuk membunuh tersangka bila melawan.

Atas kebijakannya, dalam waktu 6 bulan menjabat, kira-kira 6000 orang yang dituduh terkait narkoba dan kriminal tewas. Polisi mengakui mengeksekusi sekitar 2300 jiwa. Sementara sisanya merupakan perbuatan orang-orang di luar kepolisian yang diyakini oleh banyak orang sebagai ‘Skuad Kematian Filipina’ yang tidak pernah diusut sampai tuntas. Untuk yang satu ini, Duterte memang nggak mau dikait-kaitkan, tapi secara tidak langsung beberapa kali sang Presiden menunjukkan dukungannya atas pembunuhan di luar hukum.

Seperti yang dikatakan Duterte di tahun 2008 saat masih menjabat sebagai mayor di Danvao: “Jika kamu melakukan aktivitas ilegal di kotaku, jika kamu adalah seorang kriminal atau bagian dari sindikat yang mengganggu orang tak bersalah di kota, selama saya menjadi mayor, kamu adalah target pembunuhan yang legal.”

Menurut Orly Fernandez, manajer operasional Eusobio Funeral Serviece di Navota City seperti yang dilansir dari Reuters , sebelumnya mereka hanya menjemput satu jenazah setiap harinya, namun kini mereka biasa menjemput dua hingga tiga jenazah setiap harinya.

Baru-baru ini Presiden Duterte lagi-lagi membuat sensasi. Dia mengancam akan melemparkan pelaku korupsi dari atas helikopter

Hukuman bagi korupsi

Hukuman bagi korupsi via www.youtube.com

Dalam pidatonya di Camarines Sur hari selasa lalu (27/12/2016), Duterte mengancam bahwa hukuman bagi seorang koruptor adalah dijatuhkan dari helikopter yang sedang terbang. Seperti yang dikutip dari majalah Time :

“Jika kamu korupsi, aku akan menjemputmu dengan helikopter dan membuangmu di tengah jalan menuju Manila.”

Duterte berkata bahwa itu bukan pertama kalinya. Saat menjabat menjadi mayor di Davao, melempar tersangka dari helikopter yang sedang tinggi-tingginya sudah pernah dilakukan. Selain itu, Duterte juga mengisahkan bahwa di Davao, dia pernah membunuh kriminal di hadapan polisi untuk menunjukkan bahwa dia bisa membunuh dan petugas kepolisian seharusnya juga bisa. Menurut sekretaris kabinetnya, Duterte hanya hiperbola dan sengaja melebih-lebihkan cerita untuk memberi ancaman kepada kriminal.

Tapi menurut kamu, apa Indonesia perlu menerapkan hukuman yang sama kepada koruptor?

Dari awal, Duterte sudah menyatakan batas tegas intervensi dari asing. Jadi meski AS dan PBB mengritik tegas kebijakannya, Duterte tetap pede melangkah

Respon Duterte terhadap UN dan US

Respon Duterte terhadap AS dan PBB via edition.cnn.com

Bagi pendukung Duterte, rumus hidupnya sungguh sederhana. Asalkan kamu bukan kriminal dan tidak melanggar hukum apapun, maka nggak perlu ada yang ditakutkan. Namun jejak pemerintahannya selama 22 tahun di Davao menimbulkan beberapa reaksi keras juga, karena tidak bisa dipastikan bahwa semua yang dieksekusi benar-benar bersinggungan dengan kejahatan. Bahkan banyak korban yang masih anak-anak. Inilah yang kemudian membawa kritik tajam dari Amerika Serikat dan PBB.

Atas pengakuan Duterte sendiri bahwa dia membunuh 3 orang, Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengirimkan tim investigasi untuk Duterte. Tapi selain tegas, Duterte juga terkenal ‘galak’. Kepada perwakilan PBB , Duterte menyebutnya ‘stupid‘, ‘idiot‘, dan ‘son of bitch‘. Duh.

Sejak awal, Duterte sudah menerapkan batas yang tegas pada intervensi asing. Ketika dikritik mengenai pemerintahannya oleh PBB, Duterte mengancam akan menarik Filipina dari PBB dan membentuk koalisi baru dengan Cina dan Afrika Selatan. Karena bagi Duterte: “Only the Filipinos can call me a son of a bitch if I’m remiss in my job. (Hanya orang filipina yang boleh memanggilku son of bitch bila aku lalai terhadap tugasku.)”

Enam bulan dipimpin Presiden yang lebih mirip preman, pro dan kontra mengenai kebijakan Duterte mulai bermunculan

Pro dan kontra mulai bermunculan

Pro dan kontra mulai bermunculan via www.theatlantic.com

Banyak dampak yang terjadi setelah masa 6 bulan pemerintahan Duterte. Kepada Reuters, beberapa orang Filipina dari berbagai latar belakang mengungkapkan pendapatnya.

Cristine Angelie Garcia, seorang call center agent, mengatakan kini dirinya merasa lebih aman saat berjalan di malam hari. Namun dia juga menambahkan bahwa mungkin saja ada cara lain sehingga orang-orang tidak perlu mati. Hal yang sama juga dirasakan oleh Zainab Omar, seorang guru di Taguig City: “Siswa-siswa lebih aman sekarang. Orang tua biasanya menemani mereka ke sekolah sebelum Duterte menjadi presiden. Sekarang mereka membiarkan anak-anak pergi sekolah sendiri.”

Sementara itu Marianito Navarra, seorang penjaga desa di Kota Pasay, meragukan kebijakan Duterte: “Aku kasihan kepada keluarga mereka yang terbunuh, terutama mereka yang benar-benar tidak terlibat kejahatan. Banyak sekali orang yang terbunuh padahal tidak benar-benar terlibat narkoba. Mereka seharusnya hanya ditahan saja.”

Di kalangan politisi, ada senator Leila de Lima yang secara terbuka menekankan posisinya melawan Duterte. Sejak tahun 2009, De Lima sudah melakukan serangkaian investigasi atas pemerintahan Duterte di Davao untuk menemukan indikasi keberadaan Skuad Kematian, tapi misi ini tidak membuahkan bukti apa-apa. De Lima sendiri juga dikenal sebagai aktivis anti hukuman mati, yang menolak keras metode kampanye anti-kriminal Duterte.

Mungkin Duterte percaya bahwa beberapa orang perlu dikorbankan untuk kebaikan yang lebih besar. Memiliki pemimpin yang sangat tegas dan ‘galak’ terhadap intervensi asing mungkin sebuah keberuntungan. Dengan begitu hukum dalam negara bisa berjalan dan negara bisa berdiri sendiri bebas intervensi. Namun, tentu saja persoalan hak asasi manusia bukan isapan jempol belaka.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi