Benarkah Ada Penyanderaan di Papua? Ini Alasan Kenapa Kita Tidak Boleh Menelan Mentah Kabar Itu

Beberapa waktu lalu hampir semua media Tanah Air, termasuk Hipwee, memberitakan ketegangan situasi di Distrik Tembagapura, Mimika, Papua. Situasi yang dilaporkan media-media negeri ini dengan klaim sebagai peristiwa penyanderaan atau operasi pembebasan sandera, seperti yang kita ketahui bersama, memiliki akhir yang bisa dibilang bahagia. Dari laporan bahwa tim gabungan TNI dan Polri berhasil membebaskan 344 warga Kampung Kimbeli dan Banti tanpa korban jiwa, sampai kisah yang juga sempat diangkat Hipwee tentang kerendahan hati beberapa perwira TNI yang menolak kenaikan pangkat sebagai reward dari keberhasilan misi ini.

Advertisement

Tapi ternyata ada sisi lain dari kisah pergelutan di Papua ini yang luput dari perhatian kebanyakan orang, termasuk Hipwee pada awalnya. Bukan laporan resmi dari pemerintah atau media yang mungkin sarat kepentingan. Apalagi mengingat akses langsung ke wilayah-wilayah rawan konflik seperti Papua, terutama untuk jurnalis, memang sangat terbatas. Menyusul narasi keberhasilan TNI/Polri ‘menyelamatkan’ warga yang terisolasi dan disekap kelompok yang disebut pemerintah sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), ternyata bermunculan berbagai sanggahan bahwa sebenarnya itu semua hanya rekayasa belaka. Tidak ada warga yang disandera maupun situasi yang menegangkan. Kok bisa ya ceritanya bisa beda banget?! Yuk bareng-bareng Hipwee News & Feature coba dengar dari semua sisi, biar pemahaman kita lebih jauh lebih kaya…

Narasi pertama yang ramai di media: Kisah dramatis pembebasan sandera dari kelompok kriminal bersenjata

Pemberitaan di media-media besar mungkin juga tidak berimbang via radarpekalongan.co.id

Mengutip dari banyakmediapemberitaan soal operasi militer yang disebut “penyelamatan” warga non-Papua di Distrik Tembagapura beberapa waktu lalu ini disajikan dengan begitu dramatisnya. Tim gabungan aparat Indonesia dilaporkan melewati hari-hari menegangkan, operasi senyap, ‘hujan’ peluru, belum lagi pihak aparat mengklaim bahwasannya Kapolda Papua Boy Rafli Amar dan Pangdam Cenderawasih Mayjen TNI George Elnadus Supit nyaris tertembak dalam operasi militer tersebut.

Dilansir dari Kompas , Kepala Penerangan Daerah Militer XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi juga mengklaim kalau sehari sebelum proses evakuasi, tim aparat Indonesia diceritakan sampai tidak makan. Serdadu dari Kopassus dan Batalyon 751/Raider, bahkan diterjunkan untuk tugas spesifik, yakni “merebut kembali Kampung Kimbeli”.

Advertisement

“Saat kegiatan evakuasi warga oleh tim gabungan TNI dan Polri, anggota kami masih diserang dengan tembakan oleh KKB dari jarak jauh dan ketinggian”, klaim Aidi, dilansir Liputan6 .

“Mereka bergerak dengan sangat senyap, sangat rahasia pada malam hari. Lalu pada siang hari mereka mengendap, membeku. Sambil mempelajari situasi secara perlahan sekali mereka sampai di titik sasaran”, klaim Aidi, dilansir Kompas .

Narasi kedua datang dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang justru berkata sebaliknya: Tidak ada adegan pembebasan sandera seperti yang banyak digembar-gemborkan

Banyak sanggahan dan klaim sebaliknya kalau sebenarnya tidak terjadi penyanderaan via www.viva.co.id

Dilansir dari Tirto , Victor Yeimo, Ketua KNPB (organisasi politik yang visinya untuk memerdekakan Papua) mengatakan bahwasanya cerita soal “pembebasan sandera” hanyalah rekayasa belaka guna menutupi bisnis ilegal militer. Para sandera yang diklaim mencapai ribuan orang itu diyakini KNPB hanya objek rekayasa aparat untuk melindungi kepentingan perusahaan tambang internasional Freeport yang beroperasi di daerah tersebut. Yeimo mengungkap status “344 sandera” ini yang sebenarnya adalah “penambang ilegal” dan diizinkan berbisnis oleh TNI dan Polri karena sebagian hasil penambangan diserahkan kepada aparat militer sebagai upeti. ‘Hujan’ peluru yang katanya dilayangkan “kelompok pemberontak”, berdasarkan keterangan Yeimo itu berasal dari TNI/Polri sendiri.

Advertisement

Hendrik Wanmang, pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) seperti dilansir Tempo , menyatakan jika tidak benar kabar mengenai adanya penyanderaan dan intimidasi seperti yang diberitakan. Setidaknya ada 4 bantahan Hendrik soal klaim pihak aparat.

1. Aparat: kaum lelaki di kedua kampung dilarang keluar oleh TPN. Kepolisian mengklaim TPN khawatir aparat dari TNI Polri akan menyusup.

Hendrik: masyarakat di kedua kampung dalam kondisi yang aman. Mereka bebas keluar masuk, tidak ada yang menghalangi.

2. Aparat: mengklaim TPN menghalang-halangi dan mengintimidasi warga sipil untuk melintas ke Tembagapura guna mendapatkan barang kebutuhan pokok sehari-hari.

Hendrik: Fakta yang sebenarnya terjadi warga justru ketakutan saat akan berbelanja kebutuhan pokok. Sebab warga yang keluar untuk berbelanja, akan diperiksa oleh kepolisian. Banyak masyarakat kecil pribumi itu yang mengatakan kalau mereka takut pada TNI Polri.

3. Aparat: masih ada anggota TPN yang berada di kedua kampung tersebut dan berbaur dengan warga setempat.

Hendrik: tidak ada anggota TPN yang berada di kampung. Seuruh anggota tengah berada di gunung dan pada hari itu juga terlibat kontak senjata dengan aparat kepolisian. Mereka memantau masyarakat dibawah dari atas.

4. Aparat: kepolisian tidak bisa menyalurkan bantuan makanan dari Pemerintah Provinsi Papua karena kedua kampung dijaga oleh anggota TPN, yang menahan bantuan makanan, meski sebagian akhirnya disalurkan lewat pemuka masyarakat setempat.

Hendrik: tidak ada anggotanya yang berjaga di kedua kampung tersebut. TPN tidak melarang adanya bantuan pangan dari Pemerintah Provinsi kepada warga. TPN hanya tidak menghendaki jika penyaluran bantuan tersebut melibatkan TNI Polri. Biarkan masyarakat bebas, tanpa diganggu TPN maupun TNI Polri.

Mungkin kita tidak akan pernah tahu apa yang benar-benar terjadi di Papua, tapi paling tidak yuk coba dengarkan cerita dari berbagai sisi. Tentu saja karena ini konflik yang sudah mengakar puluhan tahun dan memakan banyak sekali korban

Konflik senjata dan kepentingan yang berkepanjangan terkadang mengaburkan realita di lapangan via daerah.sindonews.com

Bukan cuma hoax internet saja yang harus kita waspadai, tapi juga pemberitaan media yang mungkin memang tidak valid. Jika hoax murahan mungkin bisa diselidiki dengan pencarian Google sederhana – meski tetap harus hati-hati memperhatikan kredibilitas sumber, ketimpangan media dan sinerginya dengan pemangku kekuasaan lebih sulit lagi dipahami. Apalagi buat orang awam kayak kita ya guys. Tapi ada baiknya untuk benar-benar mencoba memahami konteks keseluruhan sebuah berita, sebelum akhirnya menarik kesimpulan. Apalagi jika pemberitaannya memang sarat kepentingan banyak pihak.

Biasakan untuk berpikiran luas dan mencoba mendengarkan semua pihak. Ya mungkin saja cerita B sebenarnya jauh lebih masuk akal dari cerita A yang lebih populer.

“Judul artikel ini sebelumnya adalah ‘Berhasil Bebaskan Ratusan Sandera di Papua, 5 Perwira Ini Justru Tolak Kenaikan Pangkat, Salut!’

Hipwee memutuskan untuk mengoreksi dan meralat judul serta isi artikel itu karena menyadari bahwa ada banyak informasi di dalamnya–baik yang dilansir dari media lain maupun asumsi dari penulis sendiri–yang meragukan dan tidak teruji kebenarannya.

Dengan demikian kesalahan telah coba kami perbaiki. Hipwee memohon maaf atas kekeliruan tersebut, termasuk mungkin dampaknya sebagai dukungan terhadap pelanggaran kemanusiaan. Terima kasih.”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

An amateur writer.

CLOSE