Dilema Generasi Sandwich, Ketika Harus Jadi Tulang Punggung Orangtua Sekaligus Keluarga Sendiri

Dilema generasi sandwich

Tahun 2020 merupakan dekade yang berat bagi manusia lintas usia. Baby boomer jadi generasi paling rentan tertular Covid-19, gen Z harus merelakan pengalaman indah di penghujung sekolah, dan milenial banyak yang harus terancam pekerjaannya.

Advertisement

Tanpa mengesampingkan peran dan kesulitan baby boomer dan gen Z, generasi milenial agaknya yang paling diuji oleh situasi hari ini. Di samping mengalami krisis kesehatan seperti yang lain, milenial secara langsung menyandang status generasi sandwich karena sebagian besar sudah mulai berumah tangga. Apa itu generasi sandwich? Dan kenapa rasanya dilematis banget ketika jadi bagian dari generasi ini?

Generasi sandwich adalah mereka yang menopang kehidupan orang tua selain diri sendiri dan keluarga

Generasi sandwich jadi penopang utama orang tua dan anak via www.pexels.com

Generasi sandwich merupakan sebuah istilah untuk orang dewasa atau paruh baya yang harus memenuhi kebutuhan generasi sebelumnya yakni orang tua dan generasi setelahnya yaitu anak. Seperti sandwich, milenial hari ini adalah isian, sementara orang tua dan anak merupakan roti yang mengapit. Melansir dari Tirto , istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky AS, Dorothy A. Miller dalam jurnal berjudul “The Sandwich Generation: Adult Children of the Aging“.

Nah, generasi sandwich ini punya kecenderungan mengeluarkan duit lebih banyak, karena jadi sumber utama penyokong hidup orang tua selain diri sendiri dan keluarganya. Di situasi normal sebelum pandemi, menjadi generasi sandwich pun juga seringkali problematik. Hal itu terjadi salah satunya karena orang tua atau generasi tua nggak menyiapkan masa tuanya dengan baik.

Advertisement

Sementara di situasi hari ini di mana perusahaan banyak yang memotong gaji bahkan merumahkan karyawan, persoalan jadi makin pelik. Generasi sandwich sekarang harus pula memenuhi kebutuhan ekstra seperti jaminan kesehatan, kebutuhan pendidikan anak yang memerlukan paket internet, serta tetap harus punya dana darurat untuk situasi yang nggak pasti. Intinya jadi generasi yang “terjepit” ini nyaris nggak mengenakkan.

Generasi sandwich rentan mengalami tekanan psikologis yang bisa mengganggu kehidupan sosial

Generasi sandwich rentan kena tekanan psikologis via www.pexels.com

Menurut data yang diungkap peneliti LIPI Lengga Pradipta di laman The Conversation , hampir 68% kalangan muda yang terjebak dalam lingkaran sandwich ini mengaku mengalami penurunan pendapatan sejak pandemi merebak. Bahkan 25% di antaranya harus menjual aset mereka untuk menopang hidup keluarga dan orang tua. Bisa dibayangkan beratnya menopang hidup dua keluarga di tengah kondisi hari ini.

Advertisement

Di satu sisi merawat orang tua itu memang kewajiban seorang anak. Namun di sisi lain, generasi sandwich harus bisa mengkomunikasikan dengan jelas seberapa jauh bantuan dari segi keuangan dan waktu yang bisa diberikan setiap bulan, apalagi di kondisi saat ini. Karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai batas, dan kamu nggak bisa memaksakan diri kalau hal tersebut berada di luar kemampuanmu. Ingat, kamu juga punya kebutuhan sendiri yang sama pentingnya.

Psikolog Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI, Anna Surti Ariani bilang kalau generasi sandwich rentan mengalami tekanan psikologis yang bisa mengganggu pekerjaan serta kehidupan rumah tangga dan pergaulan. Jadi persoalan generasi sandwich ini bukan semata kondisi finansial, tapi juga bisa berbahaya bagi mental. Kalau kamu salah satu di antara generasi ini, Anna menyarankan untuk punya teman yang mengalami hal serupa agar bisa saling berbagi.

Menata ulang keuangan dan mengembangkan kecerdasan finansial jadi solusi memutus rantai generasi sandwich

Harus menata keuangan biar bisa keluar dari jerat generasi sandwich via www.pexels.com

Untuk bertahan lalu keluar dari periode ini menata ulang keuangan adalah langkah penting yang perlu dilakukan. Kamu bisa mulai dengan mencatat pengeluaran keluarga sendiri dan kebutuhan untuk orang tua, untuk nanti dibandingkan dengan sumber pendapatan dan penghasilan. Jika pada kesimpulan mengatakan besar pasak daripada tiang, maka langkah yang bisa dilakukan selanjutnya adalah mencari penghasilan tambahan, atau mengambil keputusan untuk tinggal bersama orang tua agar biaya hidup bisa ditekan, dan rumah yang nggak ditempati bisa disewakan untuk sumber pemasukan.

Sementara untuk memutus rantai generasi sandwich, perencana keuangan dari Oneshildt Financial, Budi Raharjo menyarankan untuk mengembangkan kecerdasan finansial dengan belajar investasi. Ia mengatakan belajar menempatkan uang dan melakukan manajemen resiko penting dilakukan sebagai upaya memenuhi tujuan keuangan. Kamu bisa membagi penghasilan menjadi 50% untuk kebutuhan, 30% untuk keinginan, dan 20% untuk tabungan sebagai cita-cita agar keturunanmu nggak jadi generasi sandwich.

Jika milenial hari ini gagal keluar dari jerat generasi sandwich dengan berbagai perencanaan keuangan, bukan nggak mungkin mereka akan jadi generasi yang sibuk berutang dan mewarisi kondisi tersebut ke generasi selanjutnya. Hidup sebagai generasi sandwich memang bukan pilihan baik, tapi bukan berarti hal tersebut selalu buruk dan nggak bisa disiasati.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Editor

An amateur writer.

CLOSE