Duduk Sebelahan di TransJakarta Harus Seagama. Pengalaman Pengguna Twitter Ini Tuai Pro Kontra

Pro Kontra Duduk di TransJakarta

Adanya media sosial zaman sekarang telah memudahkan kita melakukan segala aktivitas. Dari berjualan, promosi, cari jodoh, sampai mencurahkan pengalaman pribadi. Kalau dipikir-pikir sih memang jauh lebih memudahkan. Kita nggak perlu lagi repot-repot cari telepon umum buat menghubungi saudara buat sekedar tahu kabar mereka. Kepoin aja medsosnya.

Advertisement

Tapi di sisi lain keterbukaan informasi ini juga bisa jadi sasaran perdebatan yang nggak berujung. Ya bayangin aja, sekalinya kamu mengunggah sesuatu, akan ada banyak orang yang bisa berkomentar. Salah satu kontroversi yang bermula dari cuitan di Twitter ini baru saja terjadi Sabtu (3/2) kemarin. Bahkan sampai sekarang pun masih terus dibahas dimana-mana. Apalagi pengalaman pribadi seseorang ini sedikit menyentil isu agama, yang mana memang sedang sering diperdebatkan. Simak ulasannya bareng Hipwee News & Feature berikut ini.

Pengguna Twitter dengan akun @cho_ro menceritakan pengalaman kurang mengenakkan saat naik bus Trans Jakarta


Jagat Twitter diriuhkan dengan sebuah cerita dari salah satu penggunanya ketika sedang naik bus TransJakarta. Akun dengan nama @cho_ro ini menceritakan saat dirinya menawarkan tempat duduk di sebelahnya yang kosong, kepada seorang ibu-ibu yang kebetulan berjilbab. Si ibu yang merasa diajak bicara, menjawab dengan melontarkan pernyataan, “Saya muslim“. Dalam keterangan si Choro itu, si ibu merasa keberatan jika ia duduk bersebelahan dengan selain muslim. Padahal Choro ini mengaku kalau ia beragama Islam. Saat ia menjelaskan kalau dia juga Islam, si ibu tertawa dan menjawab, “Oh, saya kira Kristen“.

Advertisement

Cuitan yang sudah dibagikan lebih dari 1000 kali ini menuai kontroversi. Sebagian ada yang bilang supaya pengalamannya nggak disebarluaskan karena bisa memicu perdebatan antar agama

Advertisement


Kontroversi yang muncul terkait cuitan tersebut bukan soal boleh tidaknya seorang muslim duduk bersebelahan dengan non-muslim, tapi lebih kepada keputusan menyebarkan pengalaman tersebut ke ranah publik. Beberapa orang berpendapat kalau cerita ‘sensitif’ tersebut nggak seharusnya dibagikan ke media sosial, demi menghindari perdebatan lebih lanjut dari masing-masing agama yang bisa berujung ke perpecahan. Tapi di satu sisi nggak sedikit juga orang yang mendukung si Choro ini. Menurut mereka, nggak masalah juga kalau cerita ini dibagikan, tujuannya agar publik tahu kalau diskriminasi itu nyata. Dengan disebarkan, justru bisa memunculkan diskusi baru untuk bersama dicari solusinya.

Terlepas dari pro kontra itu, ternyata banyak juga yang membalasnya dengan menceritakan kejadian serupa

Sebagian lagi membalas cuitan itu dengan menceritakan kejadian serupa. Kayak akun dengan nama @christalynda yang pernah punya pengalaman ditolak driver angkutan online setelah tahu tujuannya ke gereja. Ada juga akun @macangadungan yang punya pengalaman ditolak pemilik rumah saat akan mengontrak di sana, setelah tahu ia dan keluarganya non-muslim. Akun @RikardoFM tak ketinggalan membagi ceritanya juga. Ia juga pernah ditanya seorang anak kecil tentang agamanya. Saat tahu ia non-muslim, si anak menjauh. Ya, sebenarnya nggak cuma agama tertentu aja sih yang sering mengalami kejadian kayak di atas. Semua orang juga sedang menghadapi masalah yang sama.

Menurut Budhy Munawar Rahman, Pengamat Islam dan pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, eksklusivisme semacam itu memang sudah ada sebelumnya di Indonesia

Waspada juga sama hoax ya! via pojoksatu.id

“Sekarang ini ada kecenderungan yang tidak terbayangkan sebelumnya bahwa intoleransi itu ada di hal-hal yang kecil-kecil, sehari-hari, yang dulu tidak terpikirkan,” – Budhy Munawar, dilansir BBC.

Sebenarnya kalau kamu merasa baru akhir-akhir ini aja isu agama banyak diperdebatkan, kamu salah. Dalam BBC , Budhy sebagai Pengamat Islam sekaligus dosen di Universitas Paramadina Jakarta, mengatakan bahwa masalah eksklusivisme macam itu sudah ada sejak dulu. Masih menurut Budhy, elemen itu seolah makin diperkuat dengan adanya Pilkada DKI yang sarat dengan isu SARA. Ditambah pengaruh media sosial dalam menyebarkannya ke ranah yang lebih luas. Istilah ‘toleransi’ juga lebih sering diwacanakan di kalangan elit aja, tanpa sampai atau masuk ke kehidupan masyarakat sehari-hari.

Seharusnya udah jadi kesadaran bersama kalau kita ini memang dari dulu hidup dalam keberagaman. Nggak perlulah mencari-cari alat buat memantik perpecahan

Harus cerdas! via indonesia.ucanews.com

Sepertinya nggak perlu lagi digembar-gemborkan lagi lah kalau Indonesia ini negara bhinneka tunggal ika. Ideologi itu sudah sering kita pelajari sejak sekolah. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan. Malah justru perbedaan itu bisa membuat kita kuat di mata dunia. Asal ada rasa saling percaya, menghargai, menerima, toleransi, dan tenggang rasa di dalamnya.

Susah sih memang untuk langsung mengontrol supaya permasalahan ini nggak sampai makin liar ke depannya. Tapi bukan berarti ini semua nggak bisa diselesaikan. Asalkan ada kesadaran untuk saling menghargai satu sama lain, demi Indonesia yang lebih baik.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

An amateur writer.

CLOSE