Percakapan dengan 3 Cewek Indonesia yang Memilih Melepas Keperawanannya

Soal “perawan” dan “tidak lagi perawan” adalah hal yang masih kerap dianggap tabu untuk dibicarakan dalam masyarakat Indonesia. Kultur yang kuat menancap bahwa gadis “wajib” menjaga keperawanannya membuat subjek ini sering disingkirkan dari topik pembicaraan.

Padahal mau diakui atau tidak, dewasa ini banyak gadis Indonesia yang memilih untuk melepas keperawanan mereka. Tidak usah jauh-jauh, bahkan teman sebangku dan tetangga sebelah kamar kostmu bisa jadi salah satu di antaranya.

Artikel ini sama sekali tidak bertujuan mengajak siapapun untuk melepas keperawanan mereka, ya. Hipwee hanya ingin jadi temanmu untuk bisa lebih sensitif terhadap lingkungan sekeliling. Sebelum membaca artikel ini, bisakah kita sepakat dulu untuk tidak cepat menghakimi?

Mereka Tidak Terlihat Berbeda

Beberapa gelas kopi yang menemani kami malam itu

Beberapa gelas kopi yang menemani kami malam itu (ilustrasi: red) via mayanhandballcourt.com

Jam menunjukkan pukul 20.05, sementara saya masih terjebak kemacetan karena sebuah festival lokal tahunan yang membuat jalanan dipenuhi lautan manusia. Khawatir 2 narasumber harus menunggu lama, saya segera mengambil ponsel dan mengabarkan keterlambatan ini.

Sesungguhnya saya berangkat wawancara dengan perasaan sedikit bingung. Ada rasa tidak enak saat harus menanyakan hal yang sangat privat. Terbesit kekhawatiran jangan-jangan mereka nanti sakit hati dan menganggap pertanyaan saya sangat bodoh? Tapi saya rasa topik ini penting untuk diangkat dan diketahui oleh anak muda Indonesia, maka tidak sepantasnya nyali saya ciut sekarang.

Sebut saja Tiva dan Indi, 2 orang kawan lama yang bersedia berbagi cerita soal seksualitas mereka. Dua orang ini secara gamblang menyatakan bahwa mereka aktif secara seksual di media sosial, pun tidak ragu menceritakan preferensi seksual yang mereka miliki. Sebuah aksi yang termasuk berani untuk dilakukan di Indonesia.

Percakapan tiga kepala

Percakapan tiga kepala via i-hatemornings.blogspot.com

Tepat setelah saya menarik hand rem kendaraan, sebuah sepeda motor berhenti. Ah, Indi! Dia menyambut saya dengan pelukan dan cium hangat di pipi kanan-kiri. Di dalam cafe tempat kami janjian sudah menunggu Tiva, ia melambai ceria dengan senyum lebar di muka. Tangan kanannya memegang rokok sementara di hadapannya terhidang teh yang sudah tinggal separuh isinya.

Kami berkelakar sembari menunggu pesanan Indi dan saya datang. Terlepas dari gaya bicara dan penampilan yang sedikit berubah, mereka tetap sama menyenangkannya seperti Indi dan Tiva yang saya kenal 5 tahun lalu. Ditemani beberapa cangkir kopi dan nasi goreng dengan lauk telur mata sapi, kami memulai percakapan malam itu.

Teman Menerima, Keluarga Bertanya, “Apa Kamu Dibayar untuk Melakukannya?”

Harapan orang tua atas anak baik-baik

Orang tua terus berharap agar anaknya tumbuh dengan “baik” via thesocietypages.org

Ketika ditanya bagaimana tanggapan orang-orang terdekat atas pilihan hidup yang mereka ambil, Indi dan Tiva mengatakan mereka beruntung hidup di lingkungan pertemanan yang menerima mereka apa adanya. Namun penerimaan yang sama tidak mereka dapatkan dari keluarga. Kebetulan Indi dan Tiva sama-sama datang dari keluarga yang cukup konservatif.

“Keluargaku awalnya tidak tahu, but they have an idea. Terutama Ibu ya, biasanya wanita yang sudah menikah dan punya anak bisa tahu. Tentu mereka tidak accepting, tapi mereka tidak meledak saja sudah merupakan kejutan.

Setelah orang tuaku tahu,aku merasa agak berat. I love them. Tapi aku juga agak lega. At least now not everything is under the table. Mereka hanya akan protes, tapi tidak lagi bertanya.” ungkap Tiva.

Cerita berbeda datang dari Indi. Kultur keluarganya membuat mereka tidak pernah membicarakan tentang seks sama sekali. Meski Indi merasa keluarganya sudah tahu, namun mereka memilih untuk tak hirau pada fakta bahwa Indi telah sexually active dan biseksual.

The topic of sex is not spoken. They are just trying to disregard the thought.”

Dalam keluarga Tiva, ibu dan adik lelakinyalah yang paling vokal menyuarakan pendapat mereka.

“Bahkan adik lelakiku pernah bertanya apa aku dibayar untuk berhubungan seks. Sementara ibuku, well aku tahu dia orang seperti apa, kadang mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin ia utarakan. Kadang-kadang topiknya itu kayak slut-shaming. Terlepas dari reaksinya, tapi saudara-saudaraku memang lebih “nyambung” diajak bicara soal ini.”

Perlakuan yang hampir sama diterima Indi dari saudara perempuannya. Dibanding kedua orang tua yang sama sekali tak bisa diajak bicara, adik perempuan Indi lebih santai saat Indi terbuka padanya.

“Aku terbuka ke adik perempuanku setahun lalu. After I said that I like girls, she was just like “HAHAHHAHAHA” and went to the salon or something. Kemudian barulah dia bertanya: kenapa bisa?”

It Comes Very Naturally Buat Aku, Bukan Mau Show Off.…”

Sometimes, sex is about the power

Sometimes, sex is about the power via floatingidentity.tumblr.com

Baik Tiva maupun Indi kerap menyampaikan kicauan “nakal” yang menyerempet kehidupan seksual mereka di akun Twitter. Membaca tweets mereka, jujur secara pribadi saya merasa terhibur. Topik yang kerap dianggap saru (memalukan untuk dibahas, -red) dan tabu bisa mereka sampaikan dengan lucu. Hipwee menyitir beberapa kicauan mereka di bawah ini:

“I wish someone would send me a sext so that i could reply with “i want pizza” because pizza is what i want.”

“Someone said that Marilyn Manson music is masturbation music and everything felt uncomfortable for a second.”

Ketika ditanya kenapa mereka memilih untuk membagikan potongan tentang kehidupan seksual mereka ke publik, Tiva menjawab dengan lugas dalam kata-kata campuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris:

“Mungkin buat society it’s a big thing, tapi buat aku dengan nature-ku yang kayak gitu it’s not a big thing.”

Namun terbuka bukan berarti mengumbar bagi mereka. Baik Tiva maupun Indi sama-sama memiliki “sensor pribadi” kepada siapa cerita tentang kehidupan seksual bisa dibagi. Indi mengatakan tidak pernah membagikan kehidupan seks-nya secara sangat detil di Twitter. Dia membaginya dengan tersirat dan lewat cara yang lucu.

Sementara Tiva lebih memilih untuk membuat akun Twitter-nya private sehingga ia bisa memilih-milih followers.

“Menjaga Diri Tidak Sama Artinya dengan Tidak Berhubungan Seks Sama Sekali.”

Dikotominya sepatutnya bukan begini

Dikotominya sepatutnya bukan begini via theblackglitter22.blogspot.com

Cerita berbeda datang dari Lily, seorang gadis yang sudah tidak lagi perawan namun memilih untuk menyimpan ceritanya bagi diri sendiri. Saya sudah mengenalnya selama hampir 6 tahun, dan dalam satu kali lihat sama sekali tak ada pikiran untuk membuka topik soal keperawanan. Baru beberapa hari lalu ia membuka diri dan bersedia diwawancarai untuk kepentingan artikel ini.

Kesibukan yang tak memungkinkan kami berbincang membuat percakapan terjadi via surat elektronik. Lily baru membalas pertanyaan yang saya ajukan 10 jam setelah e-mail terkirim.

For the record, aku sangat menghargai orang yang menunggu sampai menikah untuk berhubungan seks. Tidak ada orang yang layak menentukan kapan seorang individu bisa aktif secara seksual, Orang tersebutlah yang bisa tahu kapan dia merasa siap.

Keputusanku untuk melepas keperawanan sebenarnya didasari alasan yang cukup sederhana. We loved each other, dan aku percaya bahwa keperawanan bukanlah sesuatu yang harus diagungkan sebagaimana “tuntunan” masyarakat.”

Berseberangan dengan Tiva dan Indi yang membagikan kehidupan seksual mereka di media sosial, Lily merasa tidak ada signifikansi baginya untuk membagikan sisi hidupnya yang paling privat ke khalayak.

“Kenapa aku memilih untuk nggak cerita? Karena nggak ada faedah yang bisa diambil orang setelah tahu aku nggak perawan lagi. Setelah kejadian itu hubungan berakhir, rasa cinta menghilang, hidup terus berjalan.

Keputusan itu juga tidak begitu mengubah hidupku. Hanya saja aku agak khawatir karena belum pernah cek Pap Smear. I’m still too embarrassed to go to clinic and ask for a screening.

Menjaga diri lebih luas artinya dari sekedar tidak berhubungan seks

Menjaga diri lebih luas artinya dari sekedar tidak berhubungan seks via sahardehkordi.tumblr.com

Lily hanya membuka diri tentang tidak perawannya ia pada pria yang tertarik padanya, dan juga menarik perhatiannya. Ia mengaku beruntung selama ini bertemu pria yang memegang nilai yang hampir serupa tentang isu ini.

Ada poin menarik yang Lily sampaikan dalam surel-nya. Kata-kata ini bahkan terasa sangat emosional tanpa harus ia ungkapkan lewat kata-kata secara langsung. Respon emosional terjadi saat saya menanyakan apa tanggapan Lily tentang cap “bekas pakai” atau “bisa tidur dengan siapapun” yang disematkan pada gadis yang sudah tak lagi perawan.

That is absolutely rubbish! Menjaga diri bukan cuma berarti tidak berhubungan seks sama sekali. Menjaga diri berarti memelihara jati diri. Mau berpikir tentang apa-apa yang kita inginkan serta harapkan, dan berani mengambil tindakan berdasarkan pemikiran itu.

Stop mempermasalahkan kami yang sudah tidak perawan lagi. We are not filthy animals and we’re not less of a human being just because we decided to have it.”

“Sejelek Apapun Seseorang Menurut Nilai yang Kamu Anut, Mereka Layak Mendapatkan Ruangnya Sendiri.”

Everyone you meet is fighting a battle you know nothing about

Everyone you meet is fighting a battle you know nothing about via eisakouo.com

Itulah jawaban Tiva ketika ditanya mengenai tanggapannya tentang stigma yang sering ditujukan padanya karena terbuka soal kehidupan seksual yang ia lakoni. Menurutnya kebiasaan orang Indonesia membicarakan orang di belakang tidaklah sesuai dengan nilai religius yang dipegang erat selama ini.

Sometimes their attitude is not in line with their religiousity, not in-line with what they believe in, not in-line with what they’ve been doing. And I think that’s the thing you should work on first.

Tanggapan Indi terhadap respon orang pada pilihannya untuk terbuka soal seksualitas bahkan lebih hilarious. Dengan mimik dan nada suara lucu ia berkelakar,

“Ini kayak Marshanda buka jilbab gak sih? Kayak udah pada masuk surga aja semuanya. Kembalilah ke jalan yang benar. What is the right way? Come on, take me to it!

Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 23.00. Tidak terasa sudah 3 jam kami berbincang. Sebelum pulang, saya menanyakan pertanyaan terakhir pada Tiva dan Indi. Pertanyaan yang klise namun penting untuk didengar jawabannya: “Apa yang ingin kamu katakan pada anak muda Indonesia yang ingin terbuka soal seksualitas mereka, tapi masih belum menemukan keberanian?”

“Call me, we’ll have a date. HAHAHAHAHAHA”, kelakar Indi.

“Ambil langkah-langkah kecil. Bicaralah pada orang yang bisa kamu percayai lebih dulu. Kalau sudah siap, barulah kamu bisa membawa pengakuan itu ke arena yang lebih besar.”

Telepon genggam di atas meja sudah bergetar. Ini memang sudah lewat waktu jam malam yang diperbolehkan oleh orang tua saya, maka wajar jika ibu saya mencari keberadaan anak perempuannya yang belum kunjung pulang.

Kami mengakhiri pertemuan malam itu dengan peluk dan cium pipi ringan.

Bagi saya, mereka tetap dua gadis yang sama menyenangkannya seperti Indi dan Tiva yang pernah saya kenal 5 tahun lalu. Hingga perbincangan berakhir, saya merasa tidak ada yang berubah dari mereka.

Semoga kamu pun mampu merasakan hal serupa pada kawan-kawan perempuanmu yang memilih melepas keperawanan mereka. Pada akhirnya, mereka tetap manusia yang sama, kok!

(Seluruh foto adalah ilustrasi, semua nama dalam artikel ini disamarkan demi menjaga kerahasiaan identitas narasumber)

Baca sepuasnya konten-konten eksklusif dari Hipwee dan para konten kreator favoritmu, baca lebih nyaman bebas dari iklan, dengan berlangganan Hipwee Premium.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat puisi dan penggemar bakwan kawi yang rasanya cuma kanji.