![]()
Meta berusaha menghubungi seseorang tetapi gagal | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Kita tidak bisa menelepon siapa pun!” ujar si pria pendek berwajah keras. Dia lalu menyorotkan cahaya pada sekeliling, persis seperti yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Matanya awas, mempelajari keadaan. Pria itu mengembuskan napas panjang dan berat. “Mungkin tertutup lapisan timbal,” katanya pada diri sendiri. “Ruang ini kedap sinyal.” Dia lalu melayangkan tatapan pada semua orang. “Satelit, LiDAR, atau teknologi apa pun saat ini tidak bisa menembus sampai ke ruangan ini. Keberadaan kita tak terdeteksi. Kabar buruknya, harapan kita mendapat pertolongan sangat tipis. Apalagi gempa susulan masih terjadi.”
Penjelasan si pria pendek membuat Meta bergidik. Ini mimpi buruk! Terperangkap di tempat misterius, dihantui gempa susulan yang bisa sewaktu-waktu terjadi, dan bersama orang-orang yang tak dapat dipercaya.
“Bedebah! Kita tidak bisa menunggu mati di sini! Wiratma, lakukan sesuatu!” perintah si koboi sok berkuasa pada si pria pendek.
Dalam keremangan cahaya pun semua orang dapat melihat rahang Wiratma mengeras. “Gambar kerjaku hilang. Tapi, sekali pun ada, ruang ini tak ada dalam blueprint.”
“Sebaiknya kita berkeliling. Kita bahkan belum bergerak sama sekali,” usul si perempuan yang berpenampilan rapi dan terlihat cerdas.
Wiratma mengangguk, menyetujui. “Aku sudah memeriksa sekitar. Tampaknya ada dua cabang jalan. Kita harus membagi jadi dua kelompok.”
“Anu… apa sebaiknya kita mengetahui nama masing-masing dulu?” tanya perempuan yang satu lagi, yang terlihat penakut ragu-ragu.
Meta mendengkus. Orang-orang ini tidak penting baginya, untuk apa mengenal mereka. Dia hanya ingin secepatnya keluar, melupakan segala yang terjadi, dan tak ingin bertemu siapa pun di antara mereka lagi.
Ketika tak mendapat respons, si penakut menambahkan, “Anu … untuk mempermudah memanggil atau minta tolong. Enggak mungkin kan memanggil ‘Bapak yang memegang ponsel, atau Mbak tinggi dan pintar’. Apalagi, kita enggak tahu ada apa di ruangan sana.”
Si perempuan cerdas tersenyum samar, lalu berucap, “Kenapa, sih, kamu selalu ngomong ragu-ragu begitu? Kalau punya usul, ngomong yang jelas.” Dia kemudian mengulurkan tangan pada si penakut. “Aku Kartika. Kartika Cassiopeia.”
Meta tak dapat mengelak saat semuanya menyebutkan nama. Si koboi bernama Tungga Dewa. Perempuan penakut menyebut nama Manik Maya. Lalu si pria dekil beransel mengenalkan diri sebagai Suacheng. Dalam benaknya, seharusnya dia tak usah membuka suara. Bukankah dia terkenal? Dia menghibur diri dengan merasa mesti memaklumi, dasar orang-orang kurang pergaulan.
“Kelompok pertama aku yang memimpin. Aku mengambil jalur kanan,” tukas Wiratma tegas.
“Aku ikut rombongannya,” ujar Kartika. Disusul Manik dan Tungga.
“Aku juga,” ucap Meta. Dia ingin bersama orang yang tampak dapat diandalkan. Jangan sampai salah memilih tim.
Mbah Rakai memekik pelan. “Waduh, sikilku kepelintir. Ra iso digerakake—Kakiku keseleo. Tidak bisa digerakkan.”
Anggara mengecek kaki Mbah Rakai, membuat wajah pria tua itu sepucat kapas karena menahan sakit. “Kalian berangkatlah. Biar aku yang menjaga Mbah. Kalau keadaan Mbah sudah membaik, kami menyusul.”
Tidak ada yang keberatan. Siapa pun tak mau mengorbankan kemungkinan selamat hanya untuk si kuncen tua. Lagi pula, Meta yakin, jika berhasil menemukan pintu keluar, pasti di antara mereka tak akan ada yang kembali ke ruangan ini untuk menolong kedua orang itu.
“Kalau begitu, aku jalur kiri,” kata Suacheng. “Tapi, aku butuh penerangan.”
Anggara meraba-raba bebatuan sambil menyorotkan lampu, mencari-cari sesuatu. “Pasti ada,” bisiknya. Dia terus menyusuri bebatuan. “Ada!” jeritnya. Lalu menunjukan pelita pada semua orang. Dia kemudian menyalakan benda itu dengan korek yang diambilnya dari saku celana.
Meta memutar bola mata ketika Suacheng mengeluarkan dua kantong berisi balok-balok kecil beraneka warna dari tas ranselnya. Pikirnya, apa gunanya permainan anak-anak itu? Sungguh konyol!
Setelah mengambil ponsel Anggara, Suacheng menyerahkan satu kantong pada Wiratma. “Kita harus meninggalkan remah-remah agar tidak tersesat. Kita sudah melihat sendiri kemunculan dinding-dinding itu, ada banyak cabang jalan di dalam sana. Kalau terjadi sesuatu, kita bisa kembali ke sini dengan mengikuti balok-balok kayu,” jelasnya.
“Kita berangkat!” Wiratma memberi komando. “Kalian, dengarkan baik-baik. Tangkap setiap pergerakan sekecil apa pun!”
Meta mengambil posisi di tengah tim. Dengan posisi seperti ini, dia merasa sedang dikawal dari depan dan belakang. Bila ada sesuatu membahayakan dari depan, Wiratma dan Manik akan kena duluan. Tetapi, kalau ancaman itu muncul dari belakang, Kartika dan Tungga lah yang akan menjadi tumbal.
Setiap langkah memacu kecepatan laju jantungnya. Telinganya sibuk mendeteksi bunyi. Apakah ada kaki lain, kaki si pengintai? Ataukah makhluk lainnya yang terbangun oleh kedatangan mereka. Lorong melengkung itu terasa sangat panjang sehingga dia merasa sedang melakukan perjalanan selama bertahun-tahun, apalagi mereka berjalan dengan lambat. Di mana ujungnya? Kenapa belum juga tampak secercah cahaya?
Saat Meta bersikap waspada, perempuan di depannya terlihat lengah. Diam-diam dia kesal melihat Manik terus menerus menengok ke belakang dengan raut bersalah. Dia dapat menebak ke mana perasaan bersalah itu diarahkan. Harusnya perempuan itu tinggal saja, kalau menyesal meninggalkan Anggara.
Meta berusaha kembali berkonsentrasi. Ada banyak percabangan. Mereka terus melewati celah-celah tak kentara. Dia merasa sedang mengitari bukit, kadang menanjak, adakalanya melandai. Lorong panjang gelap dengan tembok-tembok dipenuhi relief itu membuatnya kembali bergidik. Dalam hati dia berharap ini hanya mimpi, dan sebentar lagi dia akan terbangun. Menemukan ayah dan ibunya sedang sarapan pagi. Namun, bau entah apa yang menyengat ini, udara lembap, dan kegelapan, semuanya begitu nyata.
Mendadak jantungnya mencelat. Ada cahaya remang di ujung sana. Meta mengerjapkan mata bekali-kali, meyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya bukan fatamorgana. Harapan membuat dadanya serasa meledak.
Namun, ketika rombongannya kompak berhenti di ujung ruang temaram, dia merasa seperti dilesakkan lebih dalam ke perut bumi.
Dia kembali ke ruang semula!
Meta menunduk, menatap balok-balok kayu yang dijatuhkan Kartika dan keping-keping balok lainnya. Dia berjongkok, mengambil salah satunya. Menggenggamnya erat.
Sialan! Apa lagi ini? Meta tak bisa berhenti mengumpat dalam hati. Tubuhnya kembali lemas. Matanya memanas. Meratapi diri. Dia hanya ingin terkenal untuk menepis semua penghinaan yang diterimanya sejak kecil. Label bodoh, dianggap tak memiliki masa depan, dan sederet cap lain yang membuatnya merasa tak berharga. Kenapa orangtuanya memberi nama Meta Utalika yang berarti gelombang kasih sayang yang dapat melampaui segala batas? Menyedihkan, karena sejak dirinya bisa mengingat, hal itu tak pernah dirasakannya. Namun, saat ini dia hanya ingin pulang.
“Labirin,” tebak Anggara ketika melihat seluruh rombongan datang. “Jadi, satu-satunya jalan keluar sudah tertutup.”
Meta melempar tatapan gelisah ke dinding-dinding batu. Dia ingin menjerit, atau menangis histeris.
“Haduh, Gusti…. Ngapunten… la piye to…,” ucap Mbah Rakai dengan suara frustrasi.
Mata Meta menatap nyalang pada pria tua itu. Kuncen itu harus bertanggung jawab, pikirnya, bukankah sebelum gempa terjadi dia sudah mengetahuinya? Seharusnya dia bisa mencegahnya. Atau minimal, sekarang dia tahu apa yang mesti mereka lakukan. Bukan hanya menangisi keadaan.
“Mbah ‘kan kuncen di sini, seharusnya Mbah bisa menunjukan jalan keluar!” tantang Meta.
Mbah Rakai bergerak-gerak resah. Pria itu tertekan sehingga tak tahu harus merespons apa. Seluruh pasang mata yang tertuju padanya, membuatnya semakin merasa terintimidasi. Syarafnya menegang. Wajahnya sepucat mayat. Setelah beberapa saat dia akhirnya berkata lemah, “Nyuwun ngapunten, Nduk, si Mbah ora ngerti. Mbah ini sebenarnya bukan kuncen.”
Kemarahan Meta naik ke ubun-ubun. Dia marah pada pria yang membohonginya, dirinya sendiri, Anggara, dan keadaan. Tadi dia berharap, meski berbohong, Mbah Rakai bisa berpura-pura terkoneksi dengan leluhur, atau mengatakan mencari wangsit. Setidaknya, dia bisa menyimpan harapan di pundak pria tua itu. Sekarang, semuanya buntu!
“Berengsek!” Amarah membutakan Meta, dia berlari ke arah Mbah Rakai, hendak menyerangnya. Tangannya menggapai-gapai, seolah binatang buas yang siap merobek-robek mangsanya.
Namun, guncangan besar kembali mengobrak-abrik, sehingga tubuh Meta terpental keras.
Sekonyong-konyong Meta merasakan kedamaian yang ganjil. Ma, Pa, aku pulang. Aku bebas sekarang, batinnya.
Bersambung
Baca chapter selanjutnya: Labirin 8 – #4 Labirin Ketiga