Aku sungguh terkejut melihat diriku kini menjadi seekor babi hitam yang tengah mengendus-ngendus. Setelah itu, diriku bergerak ke ruang depan rumah kontrakan. Aku tidak tahu bagaimana bisa aku mengikuti diriku itu yang keluar melalui pintu depan. Rasanya aku seperti sedang menyaksikan film yang diperankan oleh diriku dan biniku.
Pandanganku terus bergantian, dari belakang, depan, kiri, dan kanan menyaksikan diriku yang kini memiliki empat kaki lincah dan terus berlari di sisi jalan. Diriku keluar dari pemukiman menuju ujung gang. Diriku terus menelusuri sisi jalan raya yang sudah sepi, lalu dengan tergesa-gesa, memasuki sebuah perumahan yang terlihat cukup elite.
Aku terus mengekori diriku yang kini masuk ke pagar besi membarengi seorang satpam. Aku melihat bagaimana satpam itu tidak sadar ada diriku di dekat kakinya yang terus bergerak menuju rumah mewah. Sempat kulihat ada seorang satpam lain yang tengah menonton pertandingan sepak bola di televisi di pos ujung pagar rumah itu. Aku kembali mengikuti diriku yang terus bergerak ke halaman samping rumah. Akhirnya, aku menyaksikan diriku berhenti di sisi tembok dekat jendela. Aku menduga itu tembok sebuah kamar. Lalu, diriku mengendus-ngendus tembok itu. Entah bagaimana, aku tahu bahwa diriku yang kini berwujud seperti babi itu tengah mencium wangi uang. Dan kini, kudapati diriku tengah menggesek-gesekkan tubuh pada tembok.
“Gukkk! Guukkk! Guukk!”
Dengan cepat pandanganku beralih ke sudut pekarangan. Ternyata di sana ada seekor anjing yang melihat diriku dengan mata nyalang. Anjing itu bergerak-gerak hendak menghampiri diriku, tetapi dia tidak bisa lantaran terkurung di dalam kandang.
Diriku yang berwujud babi terlihat begitu terkejut dengan gonggongan anjing itu. Secepat kilat, diriku yang berwujud babi berlari ke arah depan rumah, berbelok di sudut tembok, dan hampir saja menabrak seorang satpam yang sama terkejutnya dan mengucap istigfar. Diriku melewati lelaki itu yang mengejar sambil berupaya memukul-mukul diriku menggunakan pentungan berwarna hitam. Sementara anjing tadi masih saja menggonggong.
Mendengar temannya sibuk dan berteriak ‘babi ngepet’, petugas keamanan yang lain menghampiri dan mengadang diriku. Kini, aku jadi waswas menyaksikan diriku yang berupa seekor babi tampak dikepung dan siap dipukuli sampai habis-habisan.
Namun, pemandangan di sekitarku mendadak berubah. Entah bagaimana tiba-tiba aku sudah berada di kamar kontrakan. Aku melihat Risa terkantuk-kantuk menjaga lilin yang kini apinya bergoyang-goyang. Ketika Risa kembali fokus pada lilin, kedua matanya membelalak. Sekali lagi, dengan cara yang sangat ajaib aku tahu kalau Risa tahu bahwa jiwa diriku yang berwujud babi sedang terancam. Lantas dengan cepat Risa meniup lilin itu sampai apinya padam.
Seketika aku melesat lagi ke rumah mewah tadi. Ketika dua satpam itu melayangkan pentungannya dengan cepat dan keras, tiba-tiba saja diriku raib.
Salah satu satpam menelan ludahnya. Jakunnya naik turun dan dia kembali beristigfar. Lalu, mulutnya bergumam, “Babi ngepet sialan! Sedikit lagi kena saya pukul mati tuh babi.”
Dia yang sempat terkejut karena diriku mendadak hilang, kini wajahnya kian menampilkan kegeraman.
“Jadi, babi ngepet yang berkeliaran di kampung sebelah, sekarang sudah masuk ke perumahan sini. Benar-benar bikin nambah kerjaan kita,” sahut satpam yang satunya. “Lain kali, kita harus berhasil membunuhnya,” sambungnya dengan jengkel.
Aku kembali lagi melesat cepat ke dalam kamar. Aku mendapati diriku yang sudah berada di samping Risa dengan posisi seperti sujud. Lalu, secara gaib diriku kembali menjadi manusia.
Berubah kembali menjadi manusia | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Hampir saja,” kata diriku seraya bergerak untuk duduk. Napasnya terengah-engah.
“Untung saya enggak ketiduran, Mas,” sahut Risa.
“Kalau kamu sampai ketiduran, saya bisa mati,” timpal diriku. Kemudian diriku mendekat ke kolong ranjang. Diriku menarik sebuah tampah yang berisi kembang tujuh rupa dan sudah terisi banyak uang pecahan lima puluh ribu dan seratus ribu rupiah.
Risa melotot melihat uang-uang itu.
“Kita bakal kaya, Ris.” Diriku terkekeh. Sementara aku, dengan penuh kebingungan dan ketakutan memperhatikan diriku itu.
“Besok kita harus melakukannya lagi di perumahan itu.” Risa tersenyum sambil meraih uang-uang itu. Lalu dia menghamburkan uang-uang itu ke udara sambil berkata, “Kita kaya, Mas. Kita kaya.” Dia terkekeh.
Diriku tertawa karena Risa yang begitu bahagia. Diriku melihat Risa dengan kedua mata yang sangat puas.
Sebuah kesimpulan terbentuk di benakku. Kini aku mengerti apa yang baru saja Diriku dan Risa lakukan. Keduanya telah melupakan Tuhan. Keduanya telah bersekutu dengan setan. Sebelum aku sempat melakukan sesuatu, tiba-tiba pandanganku menggelap.
“Mas Doni, bangun, Mas.”
Kedua mataku mengerjap-ngerjap. Aku kembali mendengar suara Risa yang membangunkanku sambil mengguncang-guncangkan tubuhku. Sementara dalam hati aku beristigfar berkali-kali.
“Kamu kenapa, sih? Tidur kok sambil tertawa?” tanya Risa sambil mengucek-ngucek matanya. “Bikin takut saja,” katanya lagi yang kembali berbaring.
“Saya bermimpi buruk,” jawabku seraya bergerak untuk duduk. Kulihat Rini tidur pulas di antara aku dan Risa. Untung saja dia tidak bangun karena suara tawaku.
“Mimpi buruk bisa bikin kamu tertawa? Uhh … semakin susah saja hidup kita,” sahut Risa seraya memejamkan matanya lagi.
Aku duduk di sisi ranjang dengan kedua kaki menapak di lantai. Kepalaku agak pening. Sementara aku masih mengingat dengan jelas mimpi buruk barusan. Bagaimana mungkin aku dan Risa bisa sepakat berkerja sama mencuri uang orang dengan cara babi ngepet, babi jadi-jadian, atau babi siluman? Bagaimana mungkin aku dan Risa melupakan Tuhan dan bersekutu dengan setan? Yang memberi mimpi tadi Tuhan atau setan? Peringatan apakah ini? Pertanda apa ini?
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: Nyuwun Pesugihan – Chapter 2