Terkadang Sara merasa aneh. Rasanya kebersamaannya dengan Sagara saat ini adalah sebuah twist yang terjadi dalam hidup. Dia mengira akhir perjodohan mereka beberapa bulan lalu akan menyelesaikan hubungan apa pun di antara mereka. Ternyata, setelah lebih mengenal satu sama lain, berbagi banyak hal dan juga kebersamaan, Sara bahkan tak bisa mengalihkan tatapannya dari Sagara.
Sagara menemani Sara menonton konser | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Sag,” panggil Sara begitu mereka berdua duduk di kursi mobil, siap untuk meninggalkan gedung pertunjukkan. “Thanks, ya, karena udah cariin bahkan beliin gue tiket konser ini. Padahal gue tahu tiket konser ini nggak mudah dapetinnya dan pasti harganya mahal juga karena kita tepat di bawah stage. Jadi, sekali lagi makasih, ya, karena bikin gue happy banget malam ini.”
“Selama lo senang, Sar, gue ikut senang, kok.”
Setelahnya tidak ada obrolan yang terjadi di antara mereka. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Sagara tentu sibuk tetap terjaga saat ini, pukul 12 malam. Sedangkan Sara sibuk menikmati debaran jantungnya yang selalu hadir bersama pria di sebelahnya ini.
“Sar, nanti gue antar sampai depan pintu, ya.”
Seketika Sara menoleh. Matanya mendelik. “No way! Buat apa?”
“Sara, kemungkinan kita sampai rumah lo jam 1 atau 2 malam. Kalaupun nanti Bokap lo yang buka pintu, gue bersedia buat jadi tameng lo, biar gue aja yang dimarahi. Gimanapun, gue merasa sangat bertanggung jawab atas lo, Sara.”
“Sag, kalau lo ngelakuin itu, bisa-bisa Bokap gue mau melanjutkan perjodohan kita.”
“Nggak masalah.” Jawaban Sagara yang singkat sukses membuat Sara mengangah. “Gue malah berharap itu beneran kejadian.”
Sara terbelalak. Kesenangannya semakin bertambah berkali-kali lipat. Kupu-kupu dalam perutnya pun mulai berkerumunan.
Dengan lambat-lambat, Sara bertanya meminta kejelasan. “Kenapa … lo mau dijodohin lagi sama gue, Sag?”
Bukannya langsung menjawab, Sagara malah meminggirkan mobil. Begitu kendaraan berhenti, pria itu melepaskan sabuk pengamannya, kemudian memutar badannya menghadap Sara.
“Sar, cara kita berteman dan dekat itu emang aneh banget. Apalagi cara kita menghancurkan perjodohan itu, superkocak,” aku Sagara sambil geleng-geleng kepala. Namun, ada geli yang tersirat dalam sorot matanya. “Hanya saja harus diakui, bahwa semakin gue mengenal elo beberapa bulan terakhir, semakin bikin gue sadar bahwa gue menyesal membuat perjodohan kita batal. Terus banyaknya kebersamaan dan obrolan kita yang nggak ada berhentinya bikin gue pengen mengikat lo sekali lagi. Karena iya, Sarayu Wijaya, gue suka sama lo.”
Sara tertegun. Kemudian, berbisik, “Lo … nembak gue?”
Sagara mengangguk. “Lo tahu benar gue belum siap menikah, jadi ya, pacaran adalah opsi terbaik hubungan kita. Lo mau jadi pacar gue, Sar?”
“MAU!”
Jawaban Sara sukses membuat Sagara terbahak. Kedua tangan pria itu terbuka lebar, lalu pelan-pelan bergerak untuk memeluk Sara erat-erat. Tidak menyangka dari kerja sama menghancurkan perjodohan mereka sendiri, kini mereka malah berakhir bersama sebagai sepasang kekasih.
***
Pukul 10 pagi Sara baru bangun. Untungnya hari ini sabtu, akhir pekan, satu-satunya pekerjaannya hanyalah rebahan di tempat tidur sepanjang hari. Lagi pula Sagara juga berkata bahwa mereka tidak perlu menghabiskan hari ini bersama. Baik keduanya pasti perlu menikmati waktu sendiri.
Perlahan Sara turun dari kamarnya menuju meja makan. Masih mengenakan piyama, belum mandi, dan mulut yang terus menguap lebar.
“Lapar, lapar,” gumamnya.
“Sara, baru bangun kamu?”
Tahu-tahu saja Rudi muncul dari taman belakang. Kacamata baca masih dikenakan dan ada iPad dalam pelukan papanya itu.
“Iya, Pa, baru bangun,” jawab Sara sambil sedikit meringis.
“Semalam pulang jam berapa? Dan pulang sendiri atau diantar siapa?”
Introgasi time! Gumam Sara. Wanita itu menghela napas dalam, lalu mengembuskannya lambat-lambat. Teringat semalam saat dirinya pulang, satu-satunya yang menyambut kedatangannya hanya satpam di depan dan juga kegelapan rumah karena semua orang sudah tidur.
Biasanya, demi menghindari drama, berbohong adalah penyelamat. Namun, Sara ingat bahwa Sagara memintanya untuk jujur saja. Berharap Rudi mengomel dan tahu-tahu saja mereka kembali dijodohkan.
“Pulang pukul 1 pagi, Pa, diantar sama Sagara,” jawab Sara dengan santainya. Padahal dia berdebar, menantikan reaksi Rudi.
“Sagara?” Rudi kembali bertanya. Kening pria itu berkerut. “Sagara, pria yang pernah Papa jodohkan sama kamu itu? Anaknya om Faisal?”
Sara mengangguk lambat-lambat.
Hanya saja ekspresi kaku Rudi yang terpasang sukses membangunkan Sara seutuhnya. Karena jujur saja, bukan respons seperti ini yang wanita itu inginkan dari sang Papa.
“Sara, Papa berharap ini kali terakhir kamu jalan sama Sagara. Dia bukan pria baik-baik.”
Seketika Sara meringis, lalu memberi pembelaan, “Pa, Sagara sebenarnya baik. Dia tidak seperti apa yang Papa pikirkan selama ini.”
“Bagaimana mana yang baik dari Sagara sih, Sar?” Papa menggeleng. “Baru dua kali bertemu, dia sudah seperti raja minyak dengan banyak deretan wanita yang ada di sekitarnya. Sara, Papa ingin kamu menikah dengan pria baik dan setia. Sagara mungkin baik, dia juga pekerja keras dalam bidangnya, tapi dia bukan pria setia.”
“Pa, Papa salah paham. Sagara—”
“Kamu jangan belain dia lagi, Sara.” Rudi menggeleng. “Papa nggak mau dibantah, Sara. Berhenti dekat-dekat dengan Sagara dan fokus dengan pekerjaanmu sekarang. Lagi pula buat apa kamu dekat dengan pria yang pernah menjadi calon jodohmu itu? Hubungan kalian sudah berakhir dan Papa juga sudah menemukan calon jodoh baru untuk Sara.”
“PAPA!” Tanpa sadar Sara berteriak frustrasi. Wajahnya memerah. “Papa selalu bilang mau yang terbaik untuk Sara, dari sekolah, pekerjaan, bahkan calon suami. Tapi, Papa sadar nggak sih? Nantinya yang menikah itu Sara, bukan Papa. Sara yang akan merasakan hidup sama orang itu selamanya. Seharusnya hal seekstrem pasangan, Papa biarkan Sara yang memilih karena hidup itu Sara yang jalani, bukan Papa! Sara nggak mau ngomong sama Papa lagi!”
Segera saja Sara berbalik. Laparnya menghilang. Kantuknya juga lenyap. Wanita itu terus berlari kencang menaiki tangga. Saking marahnya, pintu kamar pun sengaja dia banting kuat-kuat. Kemudian, dia terduduk di pinggir tempat tidur. Dibiarkan dirinya larut dalam tangisan.
Cukup lama menangis dan mulai cukup terkendali, Sara meraih ponsel di dekat bantalnya. Dihubunginya satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya keluar dari masalah, Sagara.
“Sag,” isaknya kencang.
“Sar, kamu kenapa nangis?” Suara Sagara terdengar khawatir di ujung sana. “Kamu sakit, Sar?”
Sara menggeleng. Sedikit terbata, dia menjawab, “Papa … jodohin aku sama pria lain, Sag. Aku nggak mau. Aku maunya sama kamu aja.”
Isakan yang sempat memelan kembali mengeras dan berubah menjadi raungan kencang. Sara sudah menemukan Sagara, dia tidak mau mencari lagi. Sara ingin berhenti dengan Sagara. Itu saja.
Bersambung
Baca bab selanjutnya: Perfectly (Un)Matched [5] – (Un)Forgiveness