Review Film Susi Susanti – Love All: Berjuang Jadi Juara Bulu Tangkis di Tengah Rasisme

Review film Susi Susanti

Siapa sih orang Indonesia yang nggak tahu Susi Susanti? Walaupun udah pensiun sejak tahun 1998, pemain bulu tangkis ini masih sering disebut-sebut. Namanya begitu legendaris, sama kayak prestasinya yang dahsyat dan belum bisa tergantikan sampai sekarang. Karena itulah kisah hidupnya diadaptasi dalam film berjudul Susi Susanti – Love All yang dirilis pada 24 Oktober 2019 silam. Dilihat dari trailer-nya, film ini menjanjikan momen-momen bulu tangkis yang membanggakan, mengharukan, dan dirindukan banyak orang Indonesia.

Advertisement

Kebetulan saya baru lahir menjelang masa pensiun Susi. Karena itulah, saya nggak sempat mengikuti sepak terjangnya di dunia bulu tangkis secara langsung. Jadi senang deh rasanya karena film ini dibuat. Penasaran kayak apa jalan cerita, kelebihan, dan kekurangan filmnya? Nih saya kasih bocoran~

Film ini mengisahkan perjuangan Susi Susanti (diperankan Laura Basuki) untuk menjadi juara bulu tangkis. Sejak remaja, dia telah mengalami jatuh bangun demi meraih mimpi

Perjuangan Susi Susanti sebagai pebulu tangkis via mediabro.id

Kisah dimulai pada tahun 1980-an di Tasikmalaya. Saat itu, Susi yang masih remaja kabur dari lomba balet di perayaan 17 Agustus. Dia memilih nonton kakak lelakinya bertanding bulu tangkis, tapi sayangnya berakhir kalah. Karena nggak terima kakaknya diejek orang-orang, Susi menantang juara bulu tangkis di Tasikmalaya untuk bertanding. Dia pun menang secara mengejutkan. Berkat momen itu, Susi direkrut ke PB Jaya Raya, lembaga pelatihan bulu tangkis di bawah asuhan Rudy Hartono. Sejak itulah perjuangannya dimulai.

Di PB Jaya Raya, pelan-pelan Susi belajar untuk berlatih bulu tangkis dengan disiplin. Bakatnya juga udah kelihatan jelas sejak remaja. Itu semua diimbangi dengan ambisinya buat meraih medali emas. Nggak heran kalau dengan cepat dia berhasil menaklukkan kejuaraan bergengsi. Pada tahun 1985, dia memenangkan World Championship Junior yang membawanya masuk ke pelatihan nasional Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Setelah itu, prestasi demi prestasi yang lebih hebat berhasil diraih olehnya. Di antaranya adalah menjadi juara Sudirman Cup, Uber, SEA Games, All England, World Cup, hingga meraih medali emas dalam Olimpiade Barcelona 1992.

Advertisement

Film yang disutradarai oleh Sim F. ini memang berisi banyak adegan bulu tangkis. Namun kalau kamu nggak terlalu tertarik pada bulu tangkis seperti saya, filmnya tetap menarik buat dinikmati kok. Sebab ada unsur-unsur lain yang dibahas seperti kekeluargaan, percintaan, dan kondisi sosial. Apalagi akting Laura Basuki sebagai Susi Susanti terasa fresh dan nyata. Mantap deh!

Selain berfokus pada bulu tangkis, film Susi Susanti – Love All memberi porsi yang cukup banyak tentang rasisme. Sebagai ras Tionghoa, Susi menerima sentimen dan sejumlah perlakuan yang nggak adil

Susi Susanti mengalami tekanan rasisme via www.youtube.com

Tadinya saya kira film ini bakal berfokus ke bulu tangkis aja. Namun ada kejutan yang menarik! Ternyata film ini memberi porsi yang cukup banyak tentang rasisme. Kebetulan Susi adalah keturunan Tionghoa, terlihat dari kulitnya yang putih dan sepasang matanya yang sipit. Nah, saat itu rasisme pada orang-orang Tionghoa masih kuat di negara kita. Susi pun menerima ejekan dan makian karena rasnya adalah minoritas di Indonesia.

Advertisement

Yang lebih menyedihkan, ternyata saat itu Susi belum mempunyai status kewarganegaraan yang jelas. Padahal dia lahir dan tinggal seumur hidupnya di Indonesia. Dia berkali-kali berusaha mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI), tetapi nggak kunjung berhasil. Tentunya ini sangat ironis. Sebab, Susi telah mengharumkan nama Indonesia di berbagai kejuaraan nasional. Namun ternyata, dia malah belum disahkan sebagai warga negara. Hal itu nggak hanya dialami oleh Susi aja. Seluruh keturunan Tionghoa lainnya, termasuk para jagoan bulu tangkis, terbentur masalah yang sama. Bahkan akhirnya beberapa rekan Susi memutuskan untuk pindah ke negara lain.

Tekanan rasisme dan perlakuan yang nggak adil membuat Susi marah. Namun pada satu titik, dia berusaha mencintai Indonesia apa adanya. Momen tersebut ditunjukkan dalam trailer film, sesaat sebelum Susi bertanding di kejuaraan internasional. Seorang presenter mewawancarai Susi tentang kerusuhan rasial di Indonesia dan status warga negaranya yang belum jelas.

“Anda tidak menganggap diri Anda orang Indonesia?” tanya presenter pada Susi.

“Saya tidak perlu menganggap,” jawab Susi. “Saya adalah orang Indonesia. Selamanya saya orang Indonesia.”

Duh, adegan ini mengharukan banget dan bikin nyeesss di hati.

Percintaan Susi Susanti dan Alan Budikusuma juga turut diangkat, walau terkesan agak cringe. Namun mereka membuktikan kalau sesama atlet bisa berpacaran sekaligus sukses berkarier

Kemesraan Susi dan Alan via www.instagram.com

Supaya laku di pasaran, wajar kalau film ini menyisipkan kisah asmara. Apalagi percintaan Susi di dunia nyata memang terkenal. Kisahnya dimulai saat Susi masuk ke pelatihan nasional PBSI. Di sana dia bertemu dengan Alan Budikusuma yang diperankan oleh Dion Wiyoko. Buat yang nggak tahu, tokoh Alan ini betulan ada di dunia nyata. Dia dan Susi saling jatuh cinta setelah sering bertemu di latihan bulu tangkis. Akhirnya mereka pun berpacaran. Hubungan mereka sempat ditentang orang-orang karena dianggap bisa berpengaruh buruk pada karier, tetapi Susi dan Alan berhasil membuktikan yang sebaliknya.

Percintaan mereka digambarkan dengan segar di dalam film. Laura Basuki dan Dion Wiyoko juga mempunyai chemistry yang pas. Namun beberapa adegan, contohnya saat mereka kencan di toko kaset, terasa cringe karena akting mesranya agak berlebihan. Ada juga momen saat Susi dan Alan berciuman. Dilansir dari CNN , ternyata adegan ini sempat diprotes oleh Susi Susanti yang asli. Sebab dia merasa adegan ciuman tersebut kurang sesuai dengan gaya pacarannya dulu. Namun menurut Daniel Mananta selaku produser, gaya berpacaran memang perlu diubah di film agar sesuai dengan zaman sekarang. Kayaknya sebagian anak milenial sih bakal setuju pada Daniel.

Di sisi lain, saya merasa keberatan dengan porsi percintaan yang terlalu banyak. Film ini hanya berdurasi sekitar 1,5 jam. Padahal ada tiga fokus yang dibahas yaitu perjuangan Susi menjadi pebulu tangkis, rasisme di Indonesia, dan percintaan Susi-Alan. Hasilnya malah jadi kurang maksimal. Menurut saya, lebih baik adegan percintaannya dikurangi supaya porsi bulu tangkisnya lebih banyak. Sebab di dalam film, saya merasa proses latihan Susi kurang terekspos. Jadi dia tampak memenangkan berbagai kejuaraan dengan agak terlalu mudah. Sebagai penonton, saya ingin deskripsi lebih detail tentang proses latihan Susi, nggak hanya sekilas-sekilas.

Terlepas dari kekurangannya, film Susi Susanti – Love All perlu kita tonton untuk memahami sejarah dan nasionalisme Indonesia. Kamu pun sebagai anak muda perlu tahu!

Susi Susanti yang asli (kiri) dan Laura Basuki (kanan) via www.instagram.com

Dengan menonton film ini, kita bakal tahu kondisi sosial dan politik Indonesia pada era pemerintahan Soeharto. Tentu lebih gampang dipahami daripada penjelasan di buku sejarah. Apalagi, latar tempat dan properti filmnya dibuat semirip mungkin dengan masa itu. Pemilihan warna alias tone filmnya juga terkesan vintage. Jadi semakin menghayati deh nontonnya!

Film Susi Susanti – Love All juga bisa ditonton untuk membangkitkan motivasi. Setelah melihat usaha dan prestasi Susi yang legendaris, kita bakal lebih semangat untuk meraih mimpi. Yuk nonton filmnya~

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Tinggal di hutan dan suka makan bambu

Editor

ecrasez l'infame

CLOSE