“Siapa yang bilang dia nggak hubungin lo? Dia coba hubungin lo, tapi lo ganti nomor. Dia minta maaf sama orangtua lo juga karena nggak bisa mempertahankan pernikahan kalian. Ini bukan mengada-ngada, ya, lo bisa tanya orangtua lo. Dia minta sama orangtua lo buat nggak kasih tahu dia minta maaf. He’s trying to reach you, Ami. Beneran, dia juga merasa bersalah kalian cerai karena masalah seperti itu.” Dalamm memberi tahu dengan hati-hati, takut terkesan membela Joval.
“Gue juga tahu, kok, Joval minta maaf sama orangtua lo. Dia pengin ngobrol lagi sama lo sebentar, sayangnya lo keburu kabur ke luar negeri lanjut kuliah. Nggak mau dihubungin siapa-siapa pula,” timpal Ready.
Amini menaikkan pandangan memperhatikan satu per satu sahabatnya. Dia tidak tahu masalah itu. Orangtuanya tidak memberi tahu apa pun.
“Apa yang terjadi di masa lalu, itu udah kesepakatan kalian. Jangan dilimpahin semuanya ke Joval. Dia juga terluka dan sama menderitanya, kok. Bedanya dia nggak nunjukkin sama sekali. Dia coba untuk memahami semua sikap lo,” tambah Enigma.
“Lo aneh juga muncul-muncul udah kayak nggak ada dosa. Ninggalin kita dan mendadak ikut gabung di kantor. Kalau dibilang kesel, kita juga kesel tahu, Mi. Lo pergi gitu aja. Katanya sahabat, eh, lo main hilang gitu aja,” cerocos Dalamm.
Ready menginjak kaki Dalamm agar tidak membahas hal lain. Sayangnya Dalamm malah makin nyerocos tidak keruan.
“Gue sedih tahu, Mi. Lo pergi gitu aja nggak ada kabar cukup lama. Joval pun sama. Mana setelah cerai lo pacaran sama pesepak bola beken di London itu. Joval sedih, lho! Lo udah move on, dia masih stuck. Untungnya, sih, sekarang dia udah move on juga,” beber Dalamm.
“Ini manusia mulutnya nggak ada rem.” Ready menginjak lebih keras kaki Dalamm sampai laki-laki itu meringis sakit. “Intinya baik-baik sama Joval. Kalian harus perbaiki hubungan yang udah nggak baik ini. Salah paham apa pun itu, tolong diluruskan,” selanya cepat sebelum Dalamm nyerocos lagi.
“Ya, paling nggak say thank you soal dia antar lo waktu itu,” ucap Enigma.
Pada saat yang bersamaan Joval kembali dari kamar mandi. Amini mengamati laki-laki itu cukup lama sampai terduduk di tempatnya. Kata-kata yang diucapkan teman-temannya benar. Berulang kali dia berpacaran dengan beberapa orang setelah cerai tanpa memberi jeda untuk hatinya sembuh. Perceraian itu menyakitinya, tapi dia yakin Joval juga terluka. Dia perlu menurunkan sedikit egonya. Sedikit saja untuk sekadar berterima kasih.
“Joval?” panggil Amini pelan.
“Ya?”
“Makasih waktu itu udah ngantar aku pulang.”
“Iya. Kalau lo merasa sakit, jangan didiemin lagi. Datang ke dokter atau minum obat.”
“Oke.”
Dalamm, Ready, dan Enigma yang mendengar percakapan singkat itu menarik senyum. Mereka berpura-pura tidak dengar dengan sibuk memainkan ponsel. Mereka membiarkan selama beberapa menit sampai akhirnya membuka obrolan baru dengan melibatkan keduanya agar hubungan semakin membaik.
***
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Semua pegawai sudah pulang terkecuali Joval dan Muara. Ini bukan pertama kalinya Muara pulang terlambat. Di kantor tidak pernah ada lembur. Kantor memegang teguh work life balance jadi kalau sudah pulang pegawai harus pulang, tidak boleh menunda. Sekuriti kantor sampai hafal karena selalu menemani Muara yang tidak mungkin dibiarkan mengunci kantor sendiri.
Joval berdiri memperhatikan Muara dari celah jendela pintu ruangannya. Dia tidak mengerjakan apa-apa seperti Muara. Tak ada pekerjaan yang harus dikerjakan, hanya ingin menemani Muara sampai perempuan itu pulang. Dia sering menemani Muara dengan alasan masih mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya tidak ada. Karena ingin tahu apa yang sedang dikerjakan Muara, dia keluar dari ruangan.
![]()
Joval menatap Muara dari ruangannya | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Kamu lembur lagi, Muara?” tanya Joval.
Muara tersentak karena tidak sadar Joval belum pulang. “Eh, Pak Joval. Saya pikir Bapak udah pulang.”
Joval hafal betul kalau Muara sedang fokus, tidak akan melihat sekitar dan tatapannya cuma tertuju pada satu hal saja. Jadi, wajar kalau Muara tidak tahu dia masih ada di kantor. “Belum, kok. Saya masih di kantor dari tadi. Kamu lagi kerjain apa?” tanyanya sambil melihat layar laptop Muara.
“Ini saya lagi buat kesimpulan dari perceraian Bu Nikma, Pak. Habis ini saya mau buat somasi baru untuk dilayangkan ke penerbitan,” jawab Muara dengan senyum tipis.
“Bukannya Sarah yang buat somasinya?”
“Sarah, kan, masih sakit, Pak. Dia dirawat di rumah sakit gara-gara demam berdarah. Jadinya saya yang mengerjakan.”
“Oh, iya, betul.”
“Bapak masih ada kerjaan yang perlu diurus?”
“Iya, ada beberapa.”
“Mau saya bantu, Pak?” tawar Muara.
“Nggak usah, saya bisa sendiri.”
“Beneran, Pak? Ini kerjaan saya bentar lagi selesai jadi bisa bantu Bapak.”
“Bener, kok. Saya kerjain kerjaan saya dulu. Kalau kamu butuh apa-apa atau ada kesulitan ketuk pintu saya aja.”
“Baik, Pak.”
Joval kembali ke ruangannya. Dia tidak punya pekerjaan apa-apa untuk dikerjakan karena sudah selesai semua. Diam-diam Joval mengamati Muara yang bekerja keras mengerjakan sisa pekerjaan yang bisa dikerjakan besok. Dia sempat bertanya kenapa tidak dikerjakan pas pulang. Jawaban Muara pun simple, takut ketiduran. Pasalnya rumah Muara berada di daerah Ciledug, sedangkan kantor ada di daerah Kuningan. Perbedaan jauh yang lumayan membuat Muara takut tidak bisa mengejar pekerjaan sehingga memutuskan lembur atas kemauan sendiri.
“Gue bantuin aja kali, ya?” Joval bermonolog sendiri. “Tapi terakhir kali gue mau bantu, dia nggak mau. Jangan, deh.”
Joval memutuskan duduk di kursinya seraya merogoh ponsel dari dalam saku celana. Dia menghubungi Dalamm untuk mengajak temannya itu berbincang santai, sambil menunggu Muara selesai mengerjakan pekerjaannya. Dia pun pura-pura membuka laptop agar kelihatan sedang bekerja. Dia tidak mau ketahuan berbohong.
Menit-menit pun bertambah menjadi satu jam. Ada ketukan di pintu Joval, yang segera dipersilakan masuk.
“Pak, saya udah selesai. Saya mau pamit pulang. Pekerjaan Bapak udah selesai? Kalau belum bisa saya bantu,” ucap Muara dengan senyum tipis.
“Saya udah selesai, kok.” Joval beruntung sudah menyudahi teleponnya dengan Dalamm. Dia pun menutup laptopnya. “Saya antar kamu pulang, ya. Ini udah malam juga.”
“Eh, nggak usah, Pak. Biar saya naik kereta aja.”
“Nggak apa-apa, saya antar. Saya sekalian mau ke rumah sepupu saya di dekat rumah kamu soalnya ada urusan.” Joval memberi alasan yang dibuat-buat. Sepupunya sudah pindah dari daerah dekat rumah Muara. Ini semata-mata cuma ingin mengantar pulang saja.
Muara tidak enak menolak. Dengan terpaksa dia berkata, “Ya, udah, Pak.”
“Tunggu sebentar di luar, ya. Saya rapikan dulu barang-barang saya.”
“Baik, Pak.”
Muara menutup pintu dan menunggu di luar. Ini bukan kali pertama Joval mengantarnya pulang. Setiap kali dia lembur, bosnya itu selalu mengantar pulang. Padahal rumah Joval tidak jauh dari kantor. Kalau mengantarnya bolak-balik dan lumayan memakan waktu. Apalagi daerah rumahnya lumayan macet.
Beberapa menit menunggu di luar Muara mendengar sapaan dari samping. Bosnya itu tersenyum padanya.
“Maaf, ya, lama. Saya udah selesai. Ayo, pulang.”
Muara mengangguk, sambil menunjukkan senyum. Dia mengikuti Joval dari belakang, membiarkan laki-laki itu jalan duluan. Ujung-ujungnya Joval menunggunya dengan cara berhenti agar dia berjalan sampingan dengan Joval. Ketika turun barulah Joval lebih dulu, lalu dia mengikuti dari belakang.
“Muara, nanti boleh kita makan dulu? Saya lapar,” tanya Joval setelah berada di lantai bawah.
“Boleh, Pak. Jangan sampai mati kelaparan,” candanya pelan.
Joval terkekeh. “Iya, makanya saya ajak makan. Kamu mau makan apa?”
“Apa aja, sih, Pak.”
“Asal bukan seafood, ya? Soalnya kamu alergi cumi sama udang, kan?”
“Iya, Pak.”
“Kalau gitu kita makan nasi goreng di tempat langganan saya sama Ready, deh. Di sana aja sate ayam juga.”
Muara manggut-manggut setuju. “Boleh, Pak.”
Muara mulai masuk ke dalam mobil setelah Joval membukakan pintu untuknya. Joval selalu tahu makanan atau minuman kesukaan dan alerginya seperti minuman boba waktu itu. Entah perasaannya saja atau dia selalu merasa gugup saat berdua dengan Joval. Bahkan degup jantungnya semakin tidak keruan. Setiap kali laki-laki itu tersenyum rasanya jantung mau copot. Dia pun buru-buru menyadarkan diri. Dia tidak boleh menaruh hati. Dia harus ingat misinya yakni; menyatukan Joval dan Amini.
“Safety belt jangan lupa.” Joval mengingatkan.
“Oh, iya.” Muara hampir saja melupakan itu karena kebanyakan melamun. Dia segera menarik safety belt. “Eh? Kok, nggak bisa ditarik?”
“Sini biar saya bantu.”
“Nggak usah, Pak. Saya bisa sendiri.” Muara melempar senyum, lalu menarik safety belt sekali lagi. Usahanya tidak sia-sia dan berhasil. “Done. Kita bisa jalan sekarang, Pak.”
Muara tidak mau Joval membantunya. Terakhir kali safety belt-nya tersangkut, laki-laki itu membantunya dan membuat detak jantung Muara berpacu dua kali lebih cepat. Aroma parfum Joval yang wangi mint dan buah jeruk dapat tercium dan sampai sekarang dia masih ingat aromanya. Kata orang kalau sudah merasa seperti itu, berarti ada hati. Namun, dia tidak mau menganggapnya begitu. Dia masih ingin menjalankan misi dan melupakan perasaan aneh yang menggandrunginya.
Bersambung
Baca bab selanjutnya: The Love Case – Chapter 7
