Aku Memang Bukan Anak yang Sempurna. Namun Percayalah, Ibunda — Aku Selalu Cinta

Kasih ibu sepanjang jaman, kasih anak sepanjang jalan.

Advertisement

Kukerutkan dahi saat pertama kali membaca peribahasa ini di buku teks Bahasa Indonesia. Waktu itu aku belum dewasa, masih berbalut seragam putih merah dan masih bersih dari macam bentuk korupsi dunia. Tentu saja aku tak rela jika ada yang bilang cintaku hanya sepanjang jalan. Jika aku tahu dari lidah siapa kalimat itu diciptakan, protes sudah pasti kulancarkan.

Aku memang belum pernah menjadi ibu, jadi aku tidak tahu: seberapa besar kasih sayang yang bisa kurasakan pada anak mungil yang kulahirkan dan kubesarkan. Tapi aku tahu benar, kasihku pada ibu jauh lebih panjang dari sekadar jalan. Aku mengingat jelas pengorbanan yang beliau curahkan, berharap bisa membalasnya dengan setimpal. Dan jika agar beliau bahagia ada orang yang harus berkorban, tak akan ragu kuacungkan jari tangan.

Memang aku bukan anak yang sempurna — justru lebih sering merepotkan dan membuat cemas orangtua

Aku bukan anak yang sempurna

Aku bukan anak yang sempurna via bendymommy.tumblr.com

Aku memang bukan anak yang sempurna. Sejak hampir mencabut nyawa Ibu dalam proses kelahiranku, aku terus merepotkan dan ahli membuat onar. Saat aku balita, misalnya, ruang tamu rumah nyaris tak pernah rapi. Dindingnya penuh coretan krayon dan bertebaran di lantai barang-barang dari Lego sampai bantal kursi. Sebagai bayi aku paling sering rewel di malam hari. Ibu tak pernah nyenyak tidur, padahal tanggung jawab pekerjaan mengharuskannya bangun pagi sekali.

Advertisement

Saat Ibu melahirkan adik, aku jadi kakak yang mudah iri. Cemburu pada perhatian yang didapatkannya dari orang sekitar, marah dan gusar jika kebutuhanku “dinomorduakan”. Sebagai pelajar aku pun bukan yang paling berprestasi. Tidak bodoh, tapi jelas bukan yang paling guru sayangi. Ketika para orangtua murid saling memamerkan nilai rapor anak mereka, ibuku tersenyum saja, tak mengatakan apa-apa.

Kadang aku merasa begitu berdosa. Berharap diubah Tuhan jadi mesin blender saja agar bisa lebih berguna untuk orangtua

Aku dan Ibu pun sering berbeda pendapat. Tapi itu tak membuatku berhenti menaruh hormat — di mataku, beliau tetap figur yang hebat

Advertisement
Sering berbeda pendapat

Sering berbeda pendapat via www.elephantjournal.com

Seiring aku dewasa, makin banyak perbedaan pendapat yang terjadi antara aku dan Ibunda. Dari beliau yang terlalu gampang cemas saat ada lawan jenis yang mendekat, hingga marah-marah ketika uang jajanku habis untuk hal-hal yang (menurutnya) tidak penting. Kami pernah bertengkar hingga diam-diaman, seperti saat aku menolak jurusan kuliah yang ia pilihkan. Aku yang waktu itu masih kekanak-kanakan sampai mengepak koper dan menginap di tempat teman.

Tapi perbedaan pendapat antara aku dan Ibunda tak pernah menghapus rasa hormatku padanya. Aku tahu, betapa berat beban yang ditanggungnya. Saat seumur denganku beliau sudah punya suami dan sedang hamil anak pertama. Entah seberapa keras dia harus berusaha demi tuntas juga pendidikan sarjananya. Aku lebih tak mengerti lagi melihatnya bisa tetap bekerja di kala punya aku yang begitu nakal saat balita.

Aku tetap mengagumi Ibunda, menyadari bahwa aku tak akan bisa sehebat dirinya. Itulah kenapa, meski punya prinsip sendiri, aku rela mendengarkan apa yang beliau kata. Meski kami kerap berbeda pendapat, beliau pahlawan yang hebat.

Mungkin aku tak cukup sering mengatakannya. Tapi, cita-citaku adalah membuat Ibunda wafat bahagia

Credits: Jason Devaun / Creative Commons

Credits: Jason Devaun / Creative Commons via www.flickr.com

Ketika kecil, aku selalu gemar berbuat nakal — tak kasihan pada Ibu yang selalu sabar. Saat dewasa, aku kerap memulai pertengkaran — rajin meminta nasihat Ibunda tapi sering pula menolaknya jika kurasa tak masuk akal.

Di balik semua itu, Ibu, percayalah bahwa aku sayang.

Cita-citaku adalah membuat Ibunda wafat bahagia. Tak menyesal pernah melahirkan dan merawatku hingga dewasa. Bisa tersenyum bangga ketika aku bahagia di tempat kerja, ketika bisa menyisihkan barang beberapa ratus ribu untuknya tiap bulannya. Bisa bahagia ketika aku berkata, “Pilih saja, Bu. Kubelikan dengan tabunganku.” Ibu sudah berkorban banyak hal selama masa mudanya. Saat beliau memasuki hari tua, aku ingin hatinya tenang dan bersih dari kecemasan.

Kasihku jauh lebih panjang dari sekadar jalan. Tunggu saja, akan kubuktikan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ophelia of the postmodern age.

CLOSE