Jangan Dikira Menikah Itu Seindah Masa Pacaran. Hei, Kamu Salah Besar!

Menikah tak seindah pacaran

Menikah tidak cukup sekadar ingin dan siap atau karena alasan usia. Menikah adalah bab hidup selanjutnya yang paling berat. Jika dihitung matematis, kita akan memiliki waktu lebih lama bersama pasangan jika dibanding dengan kebersamaan dengan orang tua. Itulah sebabnya bahwa menikah hanya sekali seumur hidup, karena yang sulit itu merawat dan mejalankan sampai perpisahan tiba, bukan masalah memulainya.

Berikut hal yang harus kalian pikirkan sebelum menikah. Semoga menginspirasi

Advertisement

1. Berkomitmen untuk mandiri tanpa merepotkan orang tua dan saudara

Memegang tangan

Memegang tangan via https://pixabay.com

Era milenial sekarang, banyak pasangan muda yang memilih pisah rumah dengan orang tua atau mertuanya. Saya pikir itu adalah ide cerdas seorang kepala rumah tangga dan suatu keikhlasan dari istri yang mau mandiri untuk mengurus rumah. Istrimu wajib mendapatkan nafkah, suamimu wajib kau urus tanpa lelah.

Dari sana, ada hal yang harus kalian ingat sampai kapan pun. Kalian sudah berumah tangga, berdua. Berjanji di depan Tuhan dan manusia. Jangan sampai masalah kalian terbuka ke luar publik. Biarlah kalian simpan dan selesaikan sendiri.

Advertisement

Jangan sedikit-sedikit kabur ke rumah orang tua saat kalian sedang bermasalah. Jangan usir istrimu dari rumah, sekalipun kamu sedang membencinya.

Kamu yang dulu adalah anak mama, ketika sudah berumah tangga, jangan lagi banyak minta tolong pada ibu atau ayahmu. Lakukanlah semua hal berdua jika memang tidak urgent dan kalian baik-baik saja.

Advertisement

Jangan pula kamu banyak minta tolong dan menyuruh-nyuruh saudara kandungmu. Sekalipun dia adikmu dan belum berumah tangga, ingatlah bahwa kamu memiliki suami yang harus kamu angkat derajatnya untuk tidak minta tolong pada lelaki lain.

Apalagi jika kamu meminta tolong pada kakakmu yang sudah berumah tangga dengan seenaknya. Pikirkan jika kamu ada di posisi istrinya atau anaknya! Apa yang kamu rasakan jika hari libur atau malam-malam suamimu pergi sedangkan kamu dan anakmu membutuhkannya?

2. Mandiri mengerjakan pekerjaan rumah dan keluarga

Barang pecah belah

Barang pecah belah via https://pixabay.com

Memutuskan untuk hidup mandiri berarti menerima konsekuensi bahwa kita harus menyelesaikan pekerjaan rumah sendiri sambil mengurus keluarga. Tidak ada lagi piring kotor menumpuk berhari-hari karena malas. Tidak ada lagi pakaian kotor menggunung di tempat cucian. Semua harus bersih pada waktunya.

Mengerjakan pekerjaan rumah bukan hanya masalah istri saja, suami pun wajib membantu apalagi jika istri bekerja dan kalian sudah memiliki anak. Setelah menikah, suami tidak hanya menuntut ingin diurusi saja karena merasa sudah puas mencari nafkah. Ada hal lain yang bisa dilakukan dengan kerja sama berdua. 

Saling membantu mengerjakan pekerjaan rumah, saling membantu saat memasak, bahkan saling kerja sama untuk mengasuh anak. Kegiatan ini mampu merekatkan hubungan kalian, bukan hanya sekadar meringankan pekerjaan istri saja.

3. Menjaga komitmen jatuh bangun berdua dengan pasangan

Cinta Jantung

Cinta Jantung via https://pixabay.com

Dalam rumah tangga, besar kemungkinan adanya masalah. Entah masalah internal kita sendiri atau masalah eksternal yang sumbernya dari orang lain. Cara melanggengkan pernikahan adalah berjuang bersama. Haram hukumnya orang tahu tentang masalah kita, termasuk orang tua.

Saya pernah mendengarkan ceramah yang terdapat kalimat, 'Kamu tidak akan mampu menolong perahu yang akan tenggelam jika perahumu sendiri bocor'. Dalam artian, kita sendiri tidak bisa semena-mena membantu orang lain jika pasangan dan anak kita belum bisa kita penuhi kemampuannya, kecuali jika untuk sedekah, infak, dan membantu orang lain yang benar-benar kesulitan.

Jika sedang kekurangan ekonomi, berjuanglah berdua. Obrolkan dengan pasanganmu bagaimana baiknya. Jika memang seorang istri mesti bekerja, maka obrolkanlah dengan serius supaya kebutuhan anak-anak dan pasangan tidak terlupakan. Jangan sampai kamu meminta-minta pada orang tuamu.

Hartanya kini biarkan sepenuhnya jadi miliknya sebelum hak waris jatuh ke tangan anak-anaknya secara verbal dan tertulis.

4. Menyediakan kebutuhan untuk keluarga

Pancake Serabi Krep

Pancake Serabi Krep via https://pixabay.com

Tidak lagi ada alasan tidak bisa masak. Dengan belajar, yakinlah bawa kita bisa menyajikan makanan meskipun harus belajar dari sama sekali tidak mampu sampai mampu.

Saya sangat yakin, meskipun suami rela kalau tiap makan kita pesan lewat aplikasi onlinetapi ada kalanya sang suami ingin kita yang memasak, lepas enak atau tidak. Apalagi jika sudah punya anak, tentu saja dari mulai MPASI sampai sudah mampu memakan makanan orang dewasa, kita wajib mempersiapkannya untuk mengetahui persis asupan apa saja yang masuk ke dalam tubuh si bayi.

Malas atau tidak. Mampu atau tidak. Saya yakin, dengan belajar memasak setiap hari, kita mampu memasak samlai dirasa nikmat oleh suami dan anak-anak. Saya pernah mengalaminya.

5. Saling mengurus dan menjaga anggota keluarga, tanpa kecuali

Keluarga Baru Lahir Bayi

Keluarga Baru Lahir Bayi via https://pixabay.com

Sekalipun punya pembantu dan pengasuh, kita tetap wajib memenuhi kebutuhan suami dan anak. Kita wajib memenuhi kewajiban agama untuk mememenuhi kebutuhan mereka tanpa kecuali, tanpa mengenal lelah. Itulah sebabnya banyak orang bilang kalau ibu rumah tangga dilarang sakit.

Tidak etis rasanya suami atau istri sakit masih diurus orang tuanya. Tidak etis pula rasanya anak kita diurus neneknya ketika sakit, kecuali jika neneknya menengok dan memiliki kesadaran sendiri.

Menikah bukan hal mudah, itulah sebabnya kita harus meluruskan niat menikah. Menikah bukan hanya sekadar ingin atau usia. Menikah adalah kesiapan yang harus dipikirkan dengan matang. Kita harus mendewasa sebelum kita melakukan pernikahan. Jangan sampai masih seperti bocah padahal sudah berhasil dititipkan bocah oleh Tuhan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pembelajar kata...

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE