Pelajaran yang Perlu Diserapi oleh Anak Muda di Usia 20an

Setiap kali usia ini bertambah, banyak harapan dan keinginan yang ingin diwujudkan. Suatu malam ada yang bertanya padaku apa yang aku inginkan dihari kelahiranku. Aku hanya menjawab “aku mau jadi orang baik dan memantaskan diri”. Setahun ini aku mengalami banyak hal, pelajaran yang dapat kujadikan pedoman untuk hidupku.

1. Membuang Sampah, Senyum, dan Terimakasih

Advertisement

Membuang Sampah. Memang terlihat biasa saja, ada satu momen aku menemui petugas kebersihan yang kelelahan dalam menjalani pekerjaannya, aku melihat ia tetap tersenyum kepada orang yang berlalu lalang didepannya. Saat itu juga ada seorang pejalan kaki yang membuang sampah di tempat sampah kemudian petugas kebersihan itupun tersenyum kepada pejalan kaki itu, "Terimakasih", katanya. Mungkin ini hal yang sepele, tapi bagiku melihat orang tersenyum dan mengucapkan terimakasih dapat membahagiakan orang untuk sejenak. Percayalah kebaikan kecil bisa meneduhkan hati 🙂

2. Tawar Menawar

Setiap kali aku singgah ke suatu daerah, yang pertama aku pelajari adalah bahasa daerah terutama bahasa transaksi jual-beli. Suatu ketika, saat aku berkunjung ke Ubud, aku bertanya kepada pamanku bagaimana caranya menawar di pasar sekitar. Pamanku menjawab dia tidak pernah menawar ketika berbelanja di pasar. Ia hanya menjawab "Berikan saja uang ke pedagangnya, kalau mau beli tomat atau bawang ya beri saja 5000 yang kita mau atau terserah berapa saja, nanti pedagangnya juga memberi yang senilai dengan itu. Ibuku dulu seperti itu kalau belanja". Setelah sekian lama aku hidup, aku merasakan aesthetic moment mendengarkan jawaban pamanku. Dengan cara seperti itu kita tidak menekan dan mengurangi laba dari pedagang kecil. Sangat adil. Terimakasih paman!

3. Diam Itu Tak Selamanya Emas, Tapi Setidaknya Diam Menjaga Kehormatan

It was done years ago via http://mazayanazar.tumblr.com

Seringkali perasaan gundah gulana menghampiriku, entah karena masalah pekerjaan, lingkungan, ataupun karena kelelahan.

Advertisement

Siang hari melalui WhatsApp aku berbicara dengan Ayahku, kuceritakan apa yang menjadi ke-risauan ku saat ini. Sungguh salah satu wejangan dari Ayah amat sangat menjadi pedomanku dalam bertindak. Ini perihal kemampuan untuk menahan ego dan segala perasaan yang berkecamuk. Dulu, mungkin secara sadar atau tidak seringkali aku mengungkapkan apa yang aku rasakan lewat beberapa social media, sungguh wejangan dari Ayah sangat 'menampar' bagiku, tidak mengumbar rasa di social media.

Sungguh, berkatalah yang baik-baik dan kebaikan akan datang kepada kita. At least dengan menahan diri sendiri untuk tidak sesumbar akan menyelamatkan harga diri kita sendiri 🙂

4. Pulang Malam

Advertisement

Ketika sudah menginjak usia 20 tahunan, aku bebas melakukan apa yang aku mau. Pulang larut malam contohnya. Kesibukan menjadi alasan mengapa aku sering pulang malam. Entah lembur pekerjaan atau membicarakan perihal kegiatan kedepan. Salah satu harapanku ketika umurku bertambah adalah agar aku dapat mengurangi perbuatanku ini. Apalagi sebagai wanita aku merasa kehormatanku dipertaruhkan, tapi sangat sulit untuk merubahnya.

Eyang adalah sosok yang amat sangat membantuku untuk menyadarkan diri sendiri. Peraturannya adalah apabila aku tidak pulang sebelum jam 10 malam pintu rumah akan dikunci. Aku pikir Eyang tidak akan tega melakukannya, tapi ternyata tidak. Aku tidak dapat masuk rumah dan berakhir tidur dikursi di depan teras rumah (itupun setelah melompat pagar yang sudah dikunci). Tindakan represif yang dilakukan oleh Eyang ini sangat merubah hidupku setidaknya setahun ini. Jika ada temanku yang mengajak keluar malam aku dengan senangnya menolak dengan alasan "Anak gadis ga boleh pulang malam nanti dikunci dari luar".

Lebih dari itu, perubahan ini mengubah siklus hidupku. Mengubah jadwal belajar, bekerja, dan bermainku juga jam tidurku. Mungkin hal yang menyebalkan adalah cara Tuhan menyayangi kita. 🙂

5. Pengakuan

Suasana kota Jogja dimalam hari tidak lengkap rasanya tanpa secangkir kopi hitam. Antara aku, Ayah, dan Seniorku. Kami berbincang bertukar pikiran dan pandangan malam itu.

Dunia seni yang sedang dijalani menuntut seniman agar terus berkarya dan berkarya. Wujud karya itu dapat dipresentasikan dalam pameran. Yang menjadi pernyataan dari pembicaraan kami bertiga adalah "Batas antara berkarya seni dengan kesombongan itu tipis". Bukan seniman namanya jika tidak berkarya, dan setiap seniman butuh pengakuan atas keberadaan dan karyanya. Aku kini mengerti mengapa Ayahku tidak pernah datang ke pameranku atau bahkan sekedar mengucapkan selamat atas pencapaianku. Apapun yang aku lakukan dengan jalanku semata-mata hanya untuk membanggakan orangtuaku, untuk memberitahu bahwa mereka tidak gagal dan sia-sia mendidikku. Aku dan seniorku pun hanya mengangguk-angguk mengiyakan perkataan ayahku bahwasanya sangat sulit untuk menyampaikan ketulusan makna dalam berkarya. Apalagi aku seorang yang pragmatis, akan sangat sulit bagiku untuk menemukan rasa dan esensi dalam berkarya.

Sederhananya, bisa terjadi ketika aku berfoto di suatu tempat dan mengunggahnya ke sosial mediaku, mungkin sekedar check in juga. Terjadi dialog antara aku dan ayahku saat itu.

"Biar jadi anak gaul ya?", tanya Ayahku

"Ga juga, pingin aja nge-post. Lagian aku kan remaja idola, hahahaha", jawabku sambil tertawa

"Bangga gitu? Kampungan", kata Ayahku menirukan gaya Dodit Mulyanto.

"Ya deh, memang bapaklah yang paling sosialita", jawabku kesal.

"Sebenarnya apa sih tujuannya buat pamer kamu punya apa, bisa kemana, makan apa minum apa? Pengakuan kan? ada rasa ingin diakui ke-eksistensi-annya. Itu ga baik lho buat kondisi psikis nak. Ga akan ada habisnya. Lagian mostly orang ga akan peduli banget-banget. Orang taunya kamu punya apa dan kamu anak siapa. Beda aja kalo kamu bisa manfaatin apa yang kamu punya ya facebook, blog, atau apalah itu namanya buat bikin temen-temenmu semangat, kasih inspirasi buat kreatif, ya setidaknya senyum pas liat apa yang kamu share. Tergantung kamu sih mau dihargai dan dikenang seperti apa."

Memang bagiku adalah kebebasan setiap orang berekspresi, aku tau karena rasa sayang Ayah padaku untuk menjadi bijak dalam bertindak. Kerendahan hati yang aku lihat saat itu, seperti menyampaikan pepatah “The sky doesn’t need to explain that it is high above. People know you’re good if you’re good.

Dari sanalah aku mengerti bahwa sesungguhnya aku tidak butuh pengakuan atas apa yang aku miliki dan sanggup aku miliki, tetapi penerimaan dari orang-orang yang aku sayangi atas apa yang dapat aku lakukan dan perjuangkan. Itu sudah cukup.

6. Buat Kamu

Terakhir, untukmu yang sedang membaca artikel ini. You deserve to be happy. Aku dan kamu belum pernah bertemu, dari sini aku sebagai temanmu ingin memelukmu dengan hangat. Bersemangatlah karena kamu berhak bahagia, tersenyumlah karena senyummu dapat meneduhkan orang banyak. Semoga suatu saat aku bisa mendengar ceritamu juga.

Semangat 🙂

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

An Art Enthusiast

15 Comments

  1. Yosia Manurun berkata:

    Makasih banyak tulisannya. Isinya anti mainstream banget, sangat bijak. Salut!!

  2. Yessi Siregar berkata:

    i love your article. thankyou

  3. Mazaya Nazar berkata:

    Terimakasih sudah menyempatkan membaca artikel ini, semoga bermanfaat. Salam kenal 🙂

  4. Mazaya Nazar berkata:

    Aww thank you so much dear…

  5. Risya Rachmania berkata:

    Masya Allah keren banget isinya

CLOSE