Babak Baru Sinta #1 – Lamunan Seorang Maba

Lamunan Seorang Maba

Menelisik tahun-tahun ke belakang, rasanya seperti mimpi bisa sampai di titik ini. Hapeku sampai jatuh terpelanting saking girangnya melihat pengumuman SBMPTN itu. Akhirnya aku diterima di kampus negeri favorit. Tak sabar kulangkahkan kaki ini tanah Jogja —kota yang katanya selalu istimewa itu. Namun sayang, keberangkatanku ke perantauan mesti ditunda. Bayangan-bayangan indah tentang perkuliahan menjadi suram semenjak Covid-19 menyerang.

Namaku Sinta Dewi, inilah ceritaku menjadi mahasiswa baru di masa pandemi..

—–

Mengayuh sepeda kali ini terasa berbeda. Tak begitu capek, tapi dada berasa sesak. Tak pernah sebelumnya aku memakai masker ke mana-mana. Bukan tidak mau, lebih karena tak terbiasa. Beberapa murid cewek sekolahku dulu banyak yang memakai masker saat pergi ke sekolah. Namun fungsi masker bagi mereka bukan untuk mencegah penularan virus, melainkan menghalangi debu agar skincare dan makeup mereka tak rusak. Banyak cowok yang meledek di belakang, maka dari itu aku tak mau ikut-ikutan. Lagi pula buat apa, toh kalau ke sekolah makeup-ku cuma bedak.

Akhirnya aku sampai rumah. Keluargaku sudah menunggu lauk makan malam yang kubawakan. Biasanya Ibu masak lele hasil panen kolam di belakang rumah. Sejak ayah dirumahkan oleh kantornya, beliau banting setir jadi peternak lele. Berbekal sedikit tabungan dan keterampilan, ayah membuat kolam di belakang rumah menggunakan terpal dan bambu. Lalu ayah membeli bibit lele dan menyuruh anak-anaknya untuk rutin memberinya pakan. Beberapa minggu terakhir kami sudah bisa menuai hasilnya. Lele-lele sudah besar. Selain dijual ke tetangga, kami sering mengonsumsinya sendiri. Sore tadi adikku mengeluh bosan, lalu aku disuruh ayah untuk beli lauk.

Makan malam sudah selesai disantap. Aku berpindah ke halaman rumah. Memandang halaman yang sepi. Kota ini sudah sepi, jadi makin sepi sejak pandemi. Aku kembali teringat raut wajah orangtuaku saat pertama kali tahu aku diterima di salah satu kampus favorit. Saat pertama kami kuberi tahu, ekspresi keduanya berbeda. Ibu sumringah, sedang ayah terlihat bingung. Kebingungan itu bukan karena tak senang, ayah hanya bingung perihal biaya. Untungnya aku cukup dapat keringanan biaya. Akhirnya ayah mampu membayar uang kuliahku. Sayang, sampai sekarang nasibku terlunta-lunta karena corona.

Kalau mau ke luar kota harus pakai surat izin bebas Covid-19. Belum lagi, biaya tesnya yang cukup mahal untuk keungan keluargaku saat ini. Kuurungkan niatku.

Angin malam berubah dingin. Langit yang semula terang, mendadak gelap. Bulan malu-malu bersembunyi di balik awan kelabu. Aku kembali teringat cerita tentang perkuliahan yang pernah diceritakan Bimo. “Ospek kuliah itu beda. Lebih seru!” kata Bimo. Katanya aku bakal bertemu dengan teman-teman baru dari daerah yang berbeda. Ada yang dari Aceh, Tasikmalaya, Banjarmasin, Ternate, sampai Papua. Kontras sekali dengan teman Ospek SMA yang hanya sebatas beda Kelurahan. Paling mentok juga cuma beda Kecamatan.

“Meskipun agak ribet karena daerah baru, tapi aku menikmati kebingungan cari perlengkapan Ospek” Kata Bimo
“Ribet kok nikmat?”
“Ya, karena carinya bareng teman-teman baru”
“Bisa langsung akrab gitu, ya?”
“Nggak tahu kenapa bisa gitu. Mungkin karena kepepet kali, ya”

Sejauh ini, tak ada kejelasan soal kapan Ospek diberlakukan. Dari info yang aku dapat, kemungkinan besar dilakukan secara daring. Perihal tanggal, aku tak tahu. Informasinya selalu berubah-ubah seperti kebijakan pemerintah yang sering diomeli Ayah kalau sedang nonton TV.

Rumah Bimo hanya berjarak 5 langkah dari rumahku. Tidak. Kami tidak berpacaran sebagaimana lagu dangdut Uut Permatasari yang sering dinyanyikan bocah SD dulu “Pacarku memang dekat, 5 langkah dari rumah”. Kami sepupu yang bersahabat sejak kecil. Nenek Bimo kakaknya nenekku. Dari Bimo aku jadi sedikit tahu gambaran kuliah di Jogja sebab dia sudah terlebih dahulu jadi mahasiswa sejak setahun yang lalu.

Sejak dulu aku tinggal di sini, kota kecil di sudut Utara pulau Jawa. Aku tinggal bersama orangtua dan kedua adikku. Selama hidup, aku jarang sekali bepergian. Paling-paling hanya mengunjungi saudara di Tegal saat lebaran. Makanya sejak Bimo kuliah aku selalu menghubungi dia untuk sekadar menanyakan kabar dan mengulik pengalamannya tinggal di perantauan. Berkat dia dan cerita-ceritanya, aku memantapkan diri memilih Jogja sebagai rantauan.

“Kamu kalau mau kuliah di Jogja aja, Sin. Nasi kucing cuma seribu”
“Hah murah banget. Tapi masa sih orang Jogja suka daging kucing?”
“Hmm.. nggak gitu, Sin. Nasi kucing itu nasi bungkus lauk tempe atau sambel dengan porsi yang kecil.”

Dunia kuliah sepertinya tak akan sama dengan yang kerap diceritakan Bimo. Mungkin aku akan lebih banyak mendengarkan dosen lewat layar ponsel sebagaimana kegiatan sekolah adikku beberapa waktu terakhir.

Betapa membosankan perkuliahan semacam itu. Lalu bagaimana dengan teman di kelasku? Dari daerah mana sajakah mereka? Apakah cowoknya ganteng-ganteng? Ah, bagaimana aku bisa menilainya kalau tak melihatnya secara langsung.

“Sin, masuk. Sudah malam” suara ayah dari dalam.
“Iya, Yah”

Baiknya memang kusudahi saja lamunan ini. Di saat seperti ini ada baiknya aku berserah dan berdoa saja. Pandemi bukan kuasa manusia. Tuhan sedang mengujiku dengan kebingungan-kebingungan menjadi mahasiswa baru. Bukan hanya aku, juga semua umat manusia di bumi ini.

—–

Baca semua episode cerbung ini selengkapnya di sini

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Fiksionis senin-kamis. Pembaca di kamar mandi.

Editor

Penikmat jatuh cinta, penyuka anime dan fans Liverpool asal Jombang yang terkadang menulis karena hobi.