Mengenal Lebih Dekat Ableism, Sang Pembunuh Karakter Berdarah Dingin

Banyak dari kita membenarkan apa yang selama ini terjadi dengan alasan ‘saya tidak tahu.’

Fauzan adalah salah satu teman difabel yang beruntung. Ia bercerita bahwa seumur hidupnya, ia tidak pernah merasa dikucilkan dan selalu disayang oleh orang sekitarnya. Tetapi, menurut kaka kandung Fauzan, Lulu, ia pernah merasakan pilu mendalam saat tetangganya berkata “lihat, tuh, si cacat keluar rumah,’ ketika Fauzan sedang bermain di luar.

Teman difabel di Indonesia masih juga harus merasakan pahit yang sama. Masyarakat Indonesia seakan-akan mudah membiarkan stigma terhadap teman difabel mengeruhkan pandangannya terhadap sesame manusia. Mereka dengan mudahnya membunuh karakter teman difabel dengan mengecilkan hati mereka.

Genap seminggu dari Hari Penyandang Disabilitas, atau juga dikenal sebagai Hari Disabilitas Internasional yang diperingati setiap tanggal 3 Desember telah lewat. Hari yang bahkan tidak diketahui oleh sebagian orang dan tidak dipedulikan oleh sebagian lainnya.

Hari Disabilitas merupakan hari peringatan kesetaraan hak-hak para penyandang disabilitas, mulai dirayakan semenjak tahun 1992 di seluruh dunia, menjadi hari yang menyebalkan bagi penyandang disabilitas yang masih saja harus menghadapi orang-orang ignorant yang seakan-akan selama ini tinggal di bawah batu dan kurang peduli tentang bagaimana cara memperilakukan para penyandang disabilitas, masih saja menunjung tinggi sikap ableism-nya.

Ableism adalah istilah untuk fenomena sosial yang menggambarkan sikap diskriminatif dan kekeliruan cara pandang serta prasangka seseorang terhadap seorang penyandang disabilitas. Sikap Ableism juga menitikberatkan perlakuan tidak setara terhadap individu hanya karna disabilitas yang disandangnya.

Seorang Ableist, orang yang mempraktikan sikap ableism, mengkarakterkan seorang penyandang disabilitas sebagai individu yang lebih rendah dibandingkan yang bukan penyandang disabilitas.

Terdengar dan tersiratkan sebagai suatu perbuatan keji yang hanya dapat ditemukan di buku-buku dan dongeng, di mana ada si jahat dan si korban. “ Tidak mungkin saya akan jadi sejahat itu. Manusia, ya, manusia, terlepas dari apa terlihatnya,” mungkin ujar kita dalam hati.

Tapi apakah kita yakin sudah luput dari sikap ableism ini?

Indonesia mungkin tidak memiliki sejarah sekelam ‘The Ugly Law’, hukum dari pertengahan 1700 hingga 1970 yang tertulis melarang siapapun yang berpenyakit, lumpuh, atau cacat dalam bentuk apapun sampai dinilai tidak enak dipandang menjadi illegal dan dilarang untuk mengekspos dirinya kepada publik, tapi stigma yang harus dihadapi masyarakat Indonesia yang menyandang disabilitas setiap harinya juga sama menyedihkan.

Tokoh-tokoh film yang dianggap menjadi lelucon dan ‘kebetulan’ juga adalah orang yang menyandang disabilitas mental, cemoohan ‘autis’ yang digunakan dan dilemparkan sembarangan sebagai hinaan, menirukan gerakan penyandang disabilitas yang masih ditertawakan, semua itu menjadi contoh dari bukti nyata bahwa kita masih menganggap disabilitas sebagai sesuatu yang hina dan pantas ditertawakan. Miris, bukan?

Segala upaya hukum telah diperjuangkan untuk mengatur hak-hak penyandang disabilitas, dan kenyataannya pelaksanaan dari hukum-hukum tersebut masih terhambat dan masih banyak masyarakat yang tidak cukup peduli untuk mengedukasi diri tentang disabilitas dan masih nyaman menggenggam tanpa sadar stigma yang membendung penyandang disabilitas. 

Banyak dari kita membenarkan apa yang selama ini terjadi dengan alasan ‘saya tidak tahu.’

Sikap superior ini entah kita dapat dan tumbuhkan dari mana, entah dari kebiasaan apa dan apa awalnya, tapi rasanya rasa terlalu tinggi ini sudah mandarah daging saja.

Kita lupa bahwa yang awalnya hanya candaan dan tertawa yang kita anggap hanya permainan tak berbahaya, bisa menggoreskan luka dalam pada hati yang mendengarnya.

Sikap ableism dan stigma-stigma ini secara langsung dan tidak langsung memiliki pengaruh terhadap kondisi psikis dan psikologis penyandang disabilitas.

Angkie Yudistira, seorang penyandang disabilitas kelahiran 1987 yang adalah pendiri Thisable Enterprise dan juga sempat menjadi staf khusus Presiden Jokowi mengatakan bahwa rasa malu yang dialami para penyandang disabilitas menggerus kepercayaan diri, mematahkan semangat, dan akhirnya mengubur kemampuan yang mereka miliki.

Jadi begitulah sedikit tentang ableism, sang pembunuh karakter berdarah dingin.

Periksa diri anda sendiri, apakah anda juga salah satunya?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini