Antara FOMO, Hustle Culture, dan Paradigma Mahasiswa di Masa Pandemi

Kesehatan Mental

Di masa pandemi ini, pekerjaan dan kegiatan pembelajaran mengharuskan kita untuk melakukannya secara virtual. Kondisi isolasi ini tentunya membatasi ruang gerak kita secara fisik. Alhasil, media sosial menajdi salah satu sarana utama dalam memenuhi kebutuhan bersosialisasi dengan dunia luar.

Advertisement

Kalian pasti sering mendengar istilah FOMO akhir-akhir ini. Secara umum, FOMO dapat diartikan sebagai ketakutan akan ketertinggalan. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan dari Inggris yang bernama Dr. Andrew K. Przybylski pada tahun 2013 silam.

Jika didefinisikan, FOMO atau Fear of Missing Out adalah sebuah persepsi mengenai rasa cemas dan takut akan ketertinggalan sesuatu yang baru atau tidak dapat melakukan hal yang orang lain dapat lakukan. Nah, salah satu penyebab sindrom ini muncul adalah penggunaan media sosial yang berlebihan. Mengapa ya bisa begitu?

Media sosial menampilkan berbagai rutinitas kehidupan berbagai macam orang di dunia. Platform-nya sih gak toxic, tapi terkadang isi di dalamnya yang tidak kita filter atau cara kita menyikapi hal tersebutlah yang justru dapat menyebabkan hal toxic. Secara tidak langsung, dapat muncul keinginan akan hal-hal yang kita lihat dan tentunya, tidak semua hal tersebut bisa kita dapatkan. Akhirnya, kecemasan akan ‘tidak bisa menjadi seperti orang lain’ pun muncul perlahan-lahan di alam bawah sadar kita.

Advertisement

Ternyata FOMO tidak hanya disebabkan oleh media sosial saja, loh. Dalam lingkungan akademik, terutama dalam dunia perkuliahan, mahasiswa akan disuguhkan dengan berbagai kesempatan dan peluang untuk mempelajari hal baru, mengasah skill, membentuk bidang keahlian, serta mengembangkan relasi untuk investasi karier di masa depan.

Pada era revolusi industri yang semakin maju dan berkembang ini, persaingan dalam mendapatkan pekerjaan tentunya semakin ketat. Ambisi untuk dapat bersaing di dunia perkuliahan dan dunia kerja membuat mahasiswa banyak mengikuti kegiatan agar terlihat produktif sebagai bekal untuk CV nantinya. Hal ini dapat menjadi beban tersendiri ketika melihat teman dan orang-orang di sekitarnya telah melakukan dan mengikuti begitu banyak hal. Tentu akan muncul rasa cemas akan ketertinggalan sehingga mereka cenderung akan mengikuti kegiatan apapun yang ada, meskipun sudah memiliki kegiatan pribadi.

Advertisement

Keinginan untuk terus melakukan segala sesuatu dapat menyebabkan social anxiety atau yang kita kenal sebagai FOMO. Menurut Amy Loughman, seorang kandidat doktor di bidang neuropsikologi di University of Melbourne, menjelaskan alasan dibalik hal tersebut. Para remaja beranggapan bahwa semakin banyak pekerjaan yang mereka ambil, maka kemungkinan penyesalan karena tidak melakukannya akan semakin kecil. Faktanya, semakin banyak pilihan yang kita buat, maka kita akan cenderung semakin tidak puas dan ingin terus mencari pilihan yang lain. Dapat disimpulkan, FOMO dalam pekerjaan akan mengakibatkan timbulnya budaya ‘gila kerja’ atau yang kita kenal sebagai hustle culture.

Anggapan bahwa semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja dan semakin banyak kegiatan yang diikuti maka akan mempermudah jalan untuk meraih kesuksesan membuat anak muda berlomba-lomba untuk menjadi ‘yang paling produktif’. Hustle culture seolah menjadi budaya dan tren baru di kalangan kaum muda saat ini. Fenomena hustle culture ini justru membuat kalangan anak muda, terutama para mahasiswa merasa bangga jika ia memilki banyak kesibukan.

Salah satu akibat dari hustle culture ini adalah seseorang menjadi terbiasa dengan multitasking. Realitanya, kebiasaan multitasking akan membuat hasil pekerjaan tidak maksimal. Kegiatan organisasi, kepanitiaan, volunteer, magang, hingga bekerja banyak dilakukan oleh mahasiswa dalam satu waktu bersamaan. Pemikiran untuk harus selalu produktif dengan mengikuti banyak kegiatan disertai dengan kewajiban untuk mempertahankan nilai akademik dapat membuat waktu istirahat terkuras. Hal ini tentunya akan berdampak buruk bagi kesehatan mental.

Selain berdampak buruk bagi kesehatan mental, hustle culture yang dilakukan secara terus menerus juga akan berdampak buruk bagi kesehatan fisik diantaranya penyakit jantung, stroke, dan diabetes. FOMO dan hustle culture juga dapat memicu depresi. Ketika cemas, hormon stres seperti kortisol dan adrenalin akan banyak dilepaskan. Kelebihan kadar hormon kortisol dalam tubuh dapat mencegah pelepasan zat yang menyebabkan peradangan, bahkan merusak sistem kekebalan alami tubuh.

Lalu bagaimana caranya agar kita dapat terhindar dari penyakit FOMO dan budaya hustle culture ini? Salah satu cara untuk menghindari hal ini adalah dengan membuat target yang jelas. Hal ini akan mempermudah kita dalam menyortir kegiatan yang relevan untuk mempersiapkan masa depan. Jangan memaksakan diri untuk menjadi expert di semua bidang. Pahami kelebihan dan kekurangan diri sehingga kita dapat mengembangkan potensi secara tepat dan maksimal serta tetap memiliki waktu untuk bersenang-senang dan melakukan hal lainnya.

Tidak perlu membandingkan diri dengan pencapaian orang lain, kapasitas dan tujuan setiap orang berbeda-beda sehingga yang perlu kita lakukan adalah fokus terhadap diri sendiri. Dengan begitu, tujuan dan impian kita akan tetap tercapai tanpa harus mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan diri sendiri.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE