Kenalan Sama Istilah Generasi Stroberi, Siapa Tahu Kamu Masuk Golongan ini


Aku butuh healing, capek aku tuh… Kan sudah selesai ujian nih, aku perlu self-reward ah, nongki di café hits gitu sambil minum kopi setarbak. Hidup itu harus work-life balance dong, kalau gak, bisa burnout dan mengganggu kesehatan mental. Sudah ah, kalau gini-gini terus gak ada peningkatan, mending resign kerjaan aja. Cari kerjaan baru.


Advertisement

Pernahkah kalian mendengar, membaca atau bahkan mengucapkan ungkapan-ungkapan di atas? Mungkin teman, keluarga, pasangan, saudara atau mungkin diri sendiri. Akhir-akhir ini istilah healing, work-life balance, burnout terdengar umum di kalangan anak muda. Baik dalam percakapan sehari-hari maupun tulisan di media sosial.

Cuitan yang beredar di media sosial merupakan bentuk ekspresi emosi yang dimiliki oleh seorang anak. Namun, hal itu memicu pemikiran bahwa anak muda zaman sekarang kurang mampu menahan tekanan sosial yang ada, mudah down jika dihantam masalah dan cenderung memilih hidup dalam zona nyaman. Namun, apakah benar anak zaman sekarang lebih mudah stress, lebih lemah, tidak sebaik dan sekuat dulu?

Menurut Prof. Rhenald Kasali (2017) menyatakan bahwa karakter atau mentalitas anak muda yang lembek ini diibaratkan seperti buah stroberi. Layaknya buah stroberi yang menarik dari luar karna berwarna merah merona ternyata ketika diberi tekanan langsung cepat rusak kemudian busuk. Demikian juga dengan anak muda yang tidak bisa diberi tekanan. Kemauannya hanya main game, kurang minat baca, ingin perubahan besar tapi menuntut jalan pintas dan berbagai solusi jitu mudah nan praktis.

Advertisement

Ada banyak hal yang berperan penting dalam membangun dan membentuk karakter seorang anak agar memiliki ketangguhan mental yang baik, salah satunya adalah pola pengasuhan orang tua. Seorang anak yang lahir dalam kondisi keluarga yang serba ada, serba mudah dan serba praktis akan cenderung memiliki mental instan. Karena dari kecil dia sudah terbiasa hidup dalam kenyamanan. Apalagi didukung dengan lingkungan sekitar dimana kecanggihan teknologi digital sudah mulai berkembang pesat.

Hal ini selaras dengan pernyataan dari (Green et al., 2018) & (Thomas et al., 2021) bahwa orang tua yang menunjukkan pola asuh yang positif, akan menjadi role model bagi anak-anaknya. Bandura dalam teori social learning (reciprocal determination) juga menjelaskan bahwa perilaku seorang individu dipengaruhi oleh personal dirinya dan lingkungannya, individu belajar dengan mengamati perilaku orang lain yang ada di sekitarnya dan mereka mencoba untuk mengimitasi dan melakukannya kembali di kemudian hari.

Advertisement

Kecenderungan orang tua yang terlalu memanjakan anak, overprotektif dan selalu memfasilitasi apa yang menjadi keinginan anak menjadi salah satu faktor terbentuknya karakter anak yang lembek sehingga anak tersebut tidak mampu menghadapi kerasnya dunia ini. Ketika ada sedikit masalah yang terjadi di sekolah, kuliah, pekerjaan bahkan dalam berelasi, mereka cenderung memilih untuk menghindari dan menyerah dengan keadaan itu.

Selain itu, orang tua yang lebih sering mengajari anak tentang solusi daripada proses, lebih mengutamakan what daripada why akan membuat anak bertumbuh dengan mentalitas yang rapuh. Tidak mau berproses tapi gila akan hasil. Tak mau bekerja keras tapi ingin hidup nyaman. Tak mau latihan tapi ingin selalu menjadi terdepan. Mau cuan tapi instan. Tidak mau hidup sudah, maunya hidup gampang dan enak.

Disisi lain, kesempatan anak untuk mencoba hal baru seringkali dibatasi oleh orang tua yang punya pola asuh protektif. Hal ini menyebabkan anak tidak punya akses untuk menguji ide-ide pemikiran yang ada dibenaknya dan berujung hanya melakukan apa yang orang tua mereka perintahkan. Ketika seorang anak tidak melakukan apa yang menjadi harapan orang tua kemudian orang tua tersebut marah dapat membuat anak trauma dan tidak mau mencoba tantangan baru.

Sesuai dengan teori behavioristik yang dikemukakan oleh Thorndike yang dikenal dengan prinsip law of effect, akibat  menyenangkan akan menguatkan respon sebaliknya akibat tidak menyenangkan akan  melemahkan respon. Maka, anak yang sering mendapatkan respon negatif dari apa yang dilakukan akan cenderung enggan untuk berjuang.

Berbeda dengan anak yang mendapatkan respon positif seperti sering dipuji oleh orang tua, maka anak tersebut akan merasa bahwa perilaku yang dilakukan itu membuat orang tuanya bangga dan dia akan melakukan hal tersebut terus menerus karna dia ingin menyenangkan hati orang tuanya.

Hal ini bisa ditangani jika dua belah pihak (orang tua dan anak) saling bersinergi. Orang tua harus rela melepas anaknya untuk belajar mandiri, berani mengambil keputusan dan resiko yang ada sehingga anak akan memiliki mental baja, tidak mudah baper jika ada masalah, lebih peka terhadap situasi yang berubah dan dia punya cara untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

Ketika orang tua memberikan dukungan kepada anak, maka anak akan belajar untuk berpikiran terbuka, punya tekad untuk berjuang, siap belajar menghadapi tantangan yang ada di depan matanya dan nantinya akan menjadi pribadi yang mandiri. Ayo anak-anak muda, jangan sampai kalian memiliki mental seperti stroberi. Jadilah anak muda yang tahan banting, tangguh dan inovatif. Salam fighter!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Kadang menulis, kadang bercocok tanam

CLOSE