Belajar dari Kisah Kakek Nenek, Menjawab Pertanyaan untuk Apa Saya Hidup

Belajar kehidupan

Seingatku baru sekarang ini, di masa pandemi ini, hariku benar-benar di gunakan untuk banyak merenung dan mengevalusi– merumuskan kembali nilai-nilai hidupku, bahkan pertanyaan klise yang sering menghampiriku, kini benar-benar bertamu lagi dihidupku, ya dulu sering ku tolak dengan alasan sibuk, kini ku coba sambut dengan hangat. Untuk apa hidup? Mengapa saya hidup? Tujuan saya hidup apa? 

Advertisement

Pernahkah mendengar kisah para orang terdahulu? Kakek nenek kita misalnya, dan mencoba merenungkan mengapa mereka hidup? Tujuan hidupnya apa? Untuk apa mereka hidup? 

Kakek nenekku apakah pernah berpikir seperti itu tidak ya, yang jelas dulu semasa hidupnya kakekku seorang pejabat desa dan nenek seorang pedagang di pasar.

Kakekku bisa di bilang beliau seorang multi talent, punya ternak ayam kecil-kecilan di belakang rumahnya, bahkan punya dua ayam jago sang juara, selain itu pengrajin bambu, apapun yang terbuat dari bambu bisa di buatnya — kandang ayam jago, tirai bambu, layang-layang bahkan furniture dari bambu dan juga pejabat desa.

Advertisement

Nenekku seorang pedagang di pasar selain itu suka nanem taneman di pinggir rumahnya, dan ngerawat ayam-ayamnya kakek, ya nenek juga yang bersihin kandang kecuali si ayam jago, kakek ngga mau kalau ia di urus orang lain biar pun ia repot bertugas di kantor desa.

Ketika saya kecil, saya sangat suka main ke rumah kakek dan nenek. Terkadang saya sempat merasa bahwa mereka lebih perhatian dan sayang ketimbang ortuku yang sibuk kerja dua-dua nya — ya tahulah pas ada di rumah, tinggal capenya saja mereka, kadang hawa panas berselimut di dalam rumah.

Advertisement

Sejak saat itu, tiap sore ku ijin untuk main ke rumah kakek kenek dengan alasan ingin belajar bikin layangan, bikin anyaman bambu atau bantu merawat ayam dan tanaman mereka

Rumah kakek nenekku sebenarnya ngga jauh-jauh amat kalau jalan kaki bisa nyampe 20 menit, soalnya beda desa dengan rumah ortu. Tapi jarak dari rumah ke sekolahku (SD) cuma sepuluh menit jadi kadang selekas sekolah langsung ke rumah kakek nenek. Kalau pakai sepeda tentu akan lebih cepat lagi.

Sepeda pada zamanku SD dulu merupakan kendaraan super keren bagi anak se-usiaku, teman-temanku juga kalau ke sekolah pada bawa sepeda terutama bagi mereka yang jauh rumahnya dari sekolah. Ya dulu tukang ojek masih belum se umum sekarang (ojol), motor di zamanku dulu masih dianggap barang mewah, paling cuma pak haji atau orang yang pulang dari rantauannya yang punya, itupun masih dalam pertimbangan matang. Orang desaku kalau punya duit ya naik haji atau beli tanah sana sini.

Kakek nenekku bukanlah orang yang kaya, tapi ternak ada, kebun ada, kios ada, jadi pejabat desa iya, pengrajin juga. Ya hampir kebanyakan warga desaku punya rumah dan ada pekarangannya dan disitu biasanya untuk ternak kecil-kecilan dan nanem kecil-kecilan pula, saya rasa hidup dizaman itu sudah lebih dari cukup dengan ukuran tersebut.

Yang menjadi pertanyaan, yakni mengapa masyarakat modern kini lebih konsumtif ketimbang masyarakat dulu?

Kakek nenek waktu mudanya pun tak pernah membeli sesuatu yang tak di butuhkan, misalnya sepatu baru tas baru maupun perabotan rumah tangga baru yang bermerek, trendi, dan keren bahkan kosmetik dan sepeda, hingga barang-barang tersier lainnya tak pernah ke terpikirkan untuk membeli, lebih melihat ke fungsi dan kebutuhannya. Semuanya gimana fungsinya saja, kalau rusak ya di perbaiki, kalau rusak parah ya gimanalah caranya untuk bisa di perbaiki. Tak ada konsep kalau rusak di buang.

Kepada anak-anak dan cucunya beliau mengayomi walaupun pernah terjadi salah paham, tak pernah ikut campur terhadap masalah orang lain kecuali ia diminta tolong. Kepada tetangga rukun, herannya tiap sore sering ada tamu di rumahnya, kalau pun tidak kakekku balik bertamu ke tetangga dan temannya.

Sewaktu hidup dulu, tak pernah mengeluhkan soal materi, ya kalau mau dapat pemasukkan ya bekerjalah, besar kecil yang di hasilkan tak pernah di permasalahkan, memang rezekinya segitu. Bahkan urusan berprofesi apa tak pernah mengeluh, pernah kakekku dulu jadi buruh, ya sudah jalani jadi buruh sebaik-baiknya. 

Karena di kakekku sangat dapat di andalkan multi talent akhirnya di angkat jadi pejabat desa, aneh ya dan kakek jadi lebih di kenal lagi oleh masyarakat. 

Nenekku suka berdagang, orang dagang biasanya niat utamanya cari untung, beliau malah berkata niat berdagang supaya tidak bosen di rumah dan banyak teman ngobrol, dalam dagangannya tak pernah curang, atau kalau barang lama ya di bilang barang lama, ya kalau nimbang sebagaimana semestinya. Akhirnya orang malah melihat nenekku sebagai saudara di pasar, kalau sehari saja tidak berdagang di cariin kenapa tidak berdagang.

Saat-saat menjelang tutup usia, kakekku sakit keras dan beberapa tahun kemudian nenekku sama sakit keras juga. Kata-kata terakhir nenekku sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, istighfar dan sholawat dan terus meminta maaf kepada anak-anaknya serta tetangganya dan saudara-saudaranya yang masih hidup. Hingga terakhir aku antarkan beliau ke liang lahat, aroma sumringah keluar dari kediaman terakhirnya. Semoga mereka khusnul khotimah.

Yang pasti, dari perenunganku mengenai kakek nenekku bahwa tujuan hidup adalah kembali, untuk apa hidup untuk bertugas sebagaimana mestinya dan sebaik-baiknya, ketika jadi anak, jadilah anak yang baik, ketika jadi orangtua, berusaha jadi orangtua yang baik, ketika jadi kakek nenek, menjadi kakek nenek yang baik yang mengayomi. Mengapa kita hidup? karena kita di hidupkan oleh Tuhan pemilik alam ini, maka kita harus membayar hutang atas nikmat hidup yang di berikan, caranya? mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya. 

Semoga berkenan atas tulisan ini, semoga bermanfaat dan belajar bareng satu sama lain, mohon maaf bila ada salah-salah diksi. Terima kasih.

Cirebon, 5 Nov 2020

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, sedang belajar mengasah tulisannya. Semua adalah Guru, Semua adalah Murid, hayu kita sama-sama belajar.

CLOSE