Catatan Nasehat Untuk Sahabat yang Akan Melangkah Ke Pelaminan

Kepada Sahabatku, Saudaraku, penjaga rahasia-rahasiaku, dan peredam rasa cemasku,

Di tengah kesibukanmu pilih bunga penghias pelaminan dan bahan kebaya, kuharap kau punya saat untuk berhenti sejenak dan membaca. Mungkin kau sedikit terperanjat melihat suratku. Betapa ini adalah perihal luar biasa, kami yang biasa berjumpa tiap-tiap hari kini harus mengutarakan perasaan melalui surat yang tercantum rapi.


“Bukankah kamu tinggal menggedor pintu kamarku saja, kalau memang dambakan bicara?” Mungkin begitu pikirmu.


Tapi semenjak hari mengikat janjimu terlaksana, seluruh tak bakal ulang sama. Surat ini kumaksudkan sebagai pengantar, sebelum kamu memasuki pintu gerbang kehidupan yang semakin membuatmu harus banyak bersabar. Selamat menekuni hidup baru, Sayang. Doa untukmu tak letih kukirimkan berasal dari balik lingkar kepala.

Tahukah kau, saat pertama kali kami berkenalan, kau seperti saudaraku yang sudah lama hilang.

Rasanya baru kemarin aku berteman denganmu. Kau yang tersedia di antara ribuan orang, tiba-tiba saja mampir menawariku minuman yang menyegarkan tenggorokan. Peluh yang sudah bercucuran sanggup kau sembuhkan bersama lebih dari satu teguk air segar. Ah, kau ini mengerti saja saat itu saya sudah amat kehausan. Senyum ramahmu seolah memberiku peluang, kami sanggup jadi teman. Bahagianya, seperti mendapatkan saudara yang sudah lama hilang berasal dari kehidupan.


Kita bukan pinang dibelah dua, tetapi kami seperti roda yang tersedia didalam satu rakitan sepeda. Begitulah caramu mengisi hidupku jadi lebih seimbang.


Waktu demi waktu saat kami tumbuh bersama jadi seorang manusia. Memulai persahabatan denganmu seperti meramu jamu. Terkadang saya harus merelakan lentik tangan terganti warna kuning kunyit yang harus ikhlas kubiarkan berminggu-minggu bertengger di tanganku. Namun segala lelucon dan masukanmu membuatku mengerti bahwa tersedia akhir baik yang sedang kami tuju.

Bahagia dan duka bukan ulang jadi rahasia. Bagi kita, sepenuhnya seperti roti yang dibelah dua, potongan yang kami bagi bersama menjadi lebih renyah saat dinikmati berdua.

Menguntai hidup bersama jadi sahabatmu membuatku tidak ragu untuk berbagi segala perihal yang terjadi di dalam kompas kehidupanku. Ingatkah kau saat saya pertama jatuh cinta? Aku tak kemudian pulang untuk menceritakan kepada ayah dan bunda. Tapi saya mengerti kemana saya harus melaju, mengarahkan setang kendaraanku untuk menuju tempatmu. Kaulah yang jadi saksi mata pertama betapa gilanya saya saat sedang merindu.


Karena rasa suka menjadi lebih sedap saat saya sanggup melahapnya bersama dengamu.


Ingatkah kau saat saya sedang patah hati di karenakan ditinggal pergi? Cinta yang kuimpikan tidak ulang bersemi. Aku tidak bingung di saat mencari tangan yang sanggup membagiku untuk berdiri tegak. Aku mempunyai daerah di mana saya tidak bakal malu untuk menangisi hal-hal yang lugu. Aku tidak ulang pura-pura tegar untuk menahan beban. Karena di hadapanmu, saya tidak menjadi harus menutupi sesuatu.

Walau kau kerap kuributi bersama kegalauanku yang tak tersedia habisnya, rasanya telingamu selalu terbuka untuk terima cerita.


Rasa pahitnya hidup menjadi lebih nyaman untuk dicerna saat tersedia kau yang selalu mengingatkanku.


Kau adalah tempat tinggal yang tidak pernah membuatku ragu untuk mampir sewaktu-waktu. Meski kau seringkali letih mendengar ceritaku, tetapi nyatanya kaulah orang yang mengerti bagaimana aku.

Pagi, siang, malam bukan ulang jadi batasan saat untuk mengetuk pintu kamarmu. Hal-hal ambigu tidak ulang berlaku. Tengah malam tak menyurutkan niatku untuk menggangu tidurmu bersama curhatanku yang harus kulontarkan. Sampai-sampai lebih dari satu kali saya terhitung harus meminjam bajumu.


Apapun itu, bukankah kau yang paling mengerti aku? Uang jajan yang cuma tinggal lima ribu, mata kuliah yang harus kuulang, hingga kegalauanku soal cinta yang tidak pernah tersedia jalan keluarnya.

Bila saya ditanya Tuhan, “Siapa yang bakal kau ajak turut serta, kalau kau masuk surga?” Aku tidak ragu untuk menjawab kalau orang itu adalah kau.


Seperti bagian yang tidak pernah alpa untuk diceritakan di dalam sejarah. Cerita hidupmu jadi ceritaku juga. Begitupun sebaliknya. Meski sesekali kau letih mendengar celotehanku yang tidak tersedia habisnya. Kau selalu saja tidak pernah jemu untuk mengakses telinga. Tapi ketahuilah, nyatanya kamulah orang yang mengerti seluk beluk bagaimana saya sebenarnya.

Kita berdua tahu, menikah adalah perihal yang kau tunggu-tunggu. Hingga tiba saatnya kabar suka itu hinggap di telingaku, akulah orang yang paling tersentuh. Rasanya, bahagiaku tak ulang terukur.

Persahabatan kami memang tidak sepi masalah. Sesekali saya mendapatimu jengkel di karenakan saya lupa mengembalikan buku catatanmu. Kita terhitung pernah saling diam lebih dari satu saat di karenakan saya sibuk bersama urusan cintaku. Ah, hidup berdampingan denganmu seperti makan coklat, sesekali lidah kami mendapati rasa pahit disela-sela kunyahan. Tapi itu bukan masalah, di karenakan kami selalu mempunyai langkah untuk mendapatkan perihal yang sanggup ditertawakan.

Aku ingat betul pagi itu saat kau menggedor pintu kamarku. Tanpa banyak berbicara kau berdiri di depan sana bersama muka yang merona sambil menunjukan cincin di jari manismu.


“Aku sudah dilamar”.


Kejutan terindah sudah tersedia di depan mata. Kita berdua sama-sama seperti masih tidak percaya. Wajahmu yang ceria bersama genangan air mata gembira membuatku menjadi girang. Sungguh, akulah orang pertama yang suka saat orang yang sepanjang ini kau impikan kelanjutannya mampir menawarkan cinta.


Pelukan kami adalah wujud kata kehidupan yang kami bagi bersama.


Hatiku jadi penuh syukur yang bertumpuk-tumpuk. Doa yang saya panjatkan tidak ulang sesederhana kamu lancar didalam mengerjakan ujian, tetapi tentang kau bakal jadi orang yang lebih baru.

Melihatmu suka di pelaminan menimbulkan pertanyaan. Masihkah kelak pundakmu bersama gampang sanggup kutemukan?

Saat kau jadi raja dan ratu seharian, memandangmu sudah berdampingan membuatku haru berkesudahan. Bercampur bahagia, saya kadang berfikir ulang. Benarkah itu kau, yang pernah saban hari risau soal pasangan? Benarkah itu kau yang pernah pernah tersedu-sedu dikarenakan kisah cintamu yang kerap menyebabkan ragu?

Entah kenapa, cerita tentang persahabatan kami terputar ulang di sana. Kau yang melucu saat saya sedang butuh dihibur, kau yang selalu menawarkan makan di saat saya lapar, kau yang tak pernah protes saat kasurmu berantakan di karenakan ulahku yang tak sanggup diam. Entah apa yang saya peduli sekarang, tiba-tiba saja seluruh jadi teramat melankolis saat dirasakan. Jujur, tersedia rasa yang tidak sanggup kuterjemahkan. Aku jadi bertanya-tanya apakah saya masih sanggup masuk kamarmu sembarangan? Meskipun saya tidak ulang sanggup masuk kamarmu, saya dambakan kau mengerti saya masih leluasa untuk berdoa tetang kebahagiaanmu.


Bersahabat denganmu membuatku jadi tahu, rasa sayang bukan hanya soal mata yang saling menatap, tetapi terhitung hati yang tak pernah berhenti mendoakan.


Saat kau didekap pasanganmu, saya sungguh terharu betapa bahagianya kalian yang bakal selalu jadi satu. Tapi akankah kau selalu membagi cerita hidupmu padaku seperti dulu?

Hingga hari ini, saya kadang masih dambakan mengerti bagaimana hidupmu? Bagaimana perasaanmu saat harus seranjang bersama lawan jenis? Apa yang terjadi saat kau hadapi ibu mertua pertama kali? Apakah kehidupan kalian seperti yang kau harapkan? Bagaimana rasanya berkeluarga? Aku terhitung dambakan tahu. Ah, entah kenapa saya memang selalu jadi orang seringkali mengkhawatirkanmu, semoga seluruh baik-baik saja.


Hei, apakah kau sekarang malu bercerita denganku?


Aku sadar, roti yang kau mempunyai tidak ulang harus selalu dibagi jadi dua seperti dulu. Kau sudah mempunyai daerah kemana harus membagi kisahmu. Kau mempunyai daerah pulang yang tidak bakal membuatmu bosan. Kau mempunyai kewajiban untuk tidak mengumbar peliknya tempat tinggal tanggamu terhadap siapapun. Tidak terhitung padaku. Aku tidak apa-apa, bukankah memang begitu lebih baiknya? Meski kadangkala hidupku jadi tidak seseru yang dulu.


Sahabatku, tahukah kau? Masih tersedia cawan di dalam diriku yang sanggup kau tuangi sekali waktu. Tentang apapun itu, kau sanggup mampir untuk membagi ceritamu padaku.


Cerita hidup yang seringkali jadi punya kami bersama, pasti bakal lebih banyak kau bagi dengannya. Meski kami jadi jarang bersua, rasa bahagiaku jadi sahabatmu tetaplah sama.

Setelah menikah, kau tak ulang segalau dulu. Kau tidak harus bingung untuk pulang ke mana, di karenakan sudah tersedia pasangan hidup yang siap kapan saja di sisimu. Bahagiamu adalah bahagiaku. Begitulah kami memaknai persahabatan kami berasal dari dulu.


Terkadang kami hanyalah sebuah lego yang sanggup dibentuk apa saja. Kita adalah manusia fleksibel yang sanggup berperan didalam posisi apa saja. Dengan statusmu yang sudah berubah, bukan alasan kami tidak ulang bertegur sapa sperti dulu. Tapi kami mempunyai langkah yang berlainan untuk selalu melaju bersama.


Sampai kapanpun, kau tetaplah sahabatku. Aku tetaplah sahabatmu. Tidak bakal tersedia yang beralih kalau kami dihadapkan di dalam satu ruang yang sama. Aku selalu mempunyai anggota yang sanggup kau mengisi sesukanya. Aku jadi orang yang selalu sanggup kau hubungi tiap tiap saat saat kau sedang jemu. Jika kau mempunyai saat luang sesudah mengurus tempat tinggal tangga, berkunjunglah. Maka kami bakal bersama menertawai hidup seperti biasanya.

Karena persahabatan bukan tentang seringnya keberadaan. Adanya pasangan bukan jadi alasan kami untuk saling mengalpakan. Ketahuilah, saya bakal selalu tersedia tiap tiap kau butuh saran.

Meski saya belum menikah, saya tidak pernah lupa untuk belajar bagaimana rasanya menikah. Belajar berasal dari orangtuaku, buku, dan kau. Kita yang dulu selalu saling mengimbuhkan saran, sekarang tidak ulang tersedia untuk mengimbuhkan penawaran. Kau dan saya barangkali jadi lebih dewasa untuk memecahkan masalah.


Tapi satu perihal yang harus kau tahu, seluruh rahasiamu masih aman untuk kusimpan seperti janjiku.

Kau tidak harus ragu untuk menceritakan sesuatu padaku, siapa mengerti saya sanggup membantumu. Kau tidak harus ulang sungkan untuk menghendaki saranku, siapa mengerti saya sanggup mengimbuhkan pencerahan.


Agar saya tidak menjadi kehilangan, beginilah caranya aku menyayangimu. Meski kami tidak pernah sanggup ulang kerap bersua, rasa persaudaraan kami tetaplah sama. Karena kami tahu, menikah bukanlah alasan untuk saling mengalpakan hubungan kami yang dulu. Kau masih jadi orang perlu di dalam hidupku, begitupun sebaliknya.

Semoga hidupmu selalu baik-baik saja, sahabatku.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini