Kisah Nyata Seorang Pengidap Borderline Personality Disorder dan Bipolar Disorder

Cerita pengidap bipolar disorder

Saya ingat, saat itu tahun 2015. Saya sedang sibuk-sibuknya menyusun tugas akhir, revisi di sana-sini, walau menurut saya, semua revisi itu masih tak ada apa-apanya.

Advertisement

Kebetulan, di tahun yang sama, orangtua saya bertolak ke luar kota karena nenek saya sakit. Saya, yang masih berusia 20 tahun harus mengurus dua adik laki-laki saya. Terdengar manja? Tidak juga. Ini tugas berat. 

Saya tak pernah memberitahu orangtua saya tentang apa yang saya alami. Bagaimana saya membenci diri saya sendiri, juga mood swing saya yang luar biasa. Dalam satu hari, saya bisa lebih dari lima kali berganti mood. Bahkan mood saya lima menit ke depan pun saya tak tahu. 

Teman-teman saya menganggap saya aneh karena perubahan mood saya yang keterlaluan. Saya ingin mengendalikannya, apa daya, sulit. Teman dekat saya tak percaya dan malah menganggap saya bercanda ketika saya merasa mood saya terlalu cepat berubah. Mereka bilang, "Nggak mungkin anak pinter kayak kamu ngerasain hal kayak gitu!"

Advertisement

Saya terdiam. Mereka nggak tahu apa-apa. Sejak saat itu, saya berteman dekat dengan benda tajam, bukan lagi manusia, sekali lagi, tolong jangan ditiru

Semula semua membaik, hingga di tahun 2018, si setan ini datang lagi. Saat itu saya sudah bekerja dan agak terganggu dengan pandangan orang lain terhadap saya. Si setan ini bahkan jauh lebih kejam daripada tahun 2015. Saya sampai menarik diri dari keramaian dan tidak mau bersosialisasi. Di kantor, saya hanya datang, kerja, pulang. Sampai atasan saya melihat saya agak bingung dan ketika saya tersenyum, ia berkata, "Lho, udah bisa senyum?"

Advertisement

Percaya atau tidak, ucapan seperti itu membuat saya tersinggung.

Ya memang, saya jarang tersenyum, tetapi hal ini menyenggol titik sensitif saya.

Mood saya semakin berantakan dan bahkan saya nekat mengakhiri hidup saya sendiri, hingga akhirnya di bulan Juli 2018, saya memberanikan diri untuk pergi ke psikiater. Setelah beberapa kali kunjungan dan ditanya ini-itu oleh dokter, saya divonis terkena Borderline Personality Disorder.

Menurut situs NIMH, gejala Borderline Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Ambang) yaitu:


  1. Usaha untuk menghindari pengabaian seperti memutuskan hubungan dengan seseorang untuk mengantisipasi pengabaian. Dengan kata lain, orang-orang dengan BPD sangat sensitif dengan pengabaian seseorang.

  2. Pola hubungan yang intens dan tidak stabil dengan keluarga, teman, orang yang dicintai, dan sering berubah antara rasa sayang yang ekstrim ke kemarahan dan ketidakpercayaan dalam waktu cepat.

  3. Citra diri yang tidak stabil atau terdistorsi

  4. Perilaku impulsif yang berbahaya, seperti: menghamburkan uang, melakukan seks bebas tanpa pengaman, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, mengemudi dengan sembrono dan makan berlebihan. 

  5. Perilaku melukai diri sendiri

  6. Pikiran berulang tentang bunuh diri

  7. Suasana hati yang intens dan dapat berubah cepat, bisa berlangsung beberapa jam atau hari

  8. Perasaan kosong yang kronis

  9. Masalah mengendalikan amarah

  10. Sulit percaya pada orang lain dan terkadang disertai ketakutan irasional terhadap niat orang lain

  11. Perasaan disosiasi

Reaksi saya pertama kali? Melamun. Sampai di rumah, saya baru histeris. Menyalahkan diri sendiri kenapa seperti ini dan bagaimana cara saya memberitahu orangtua saya. Menyalahkan segala sesuatu pada diri saya sendiri, menganggap nggak ada seorang pun yang sayang dengan saya dan mereka berharap saya nggak ada.

Mungkin, merasakan saya yang perlahan berubah, ibu saya mengajak saya bicara. Awalnya saya enggan, sampai akhirnya ibu saya memergoki saya menangis. Akhirnya saya mengakui apa yang terjadi pada saya, Ayah dan Ibu saya jelas sangat kecewa sekaligus khawatir. Mereka sedih, dan kesedihan itu berdampak pada saya.

Namun mereka mendukung saya untuk perlahan berubah menjadi lebih baik.

Tetapi, di bulan Oktober 2019, dokter memvonis saya terkena dua gangguan mental sekaligus: Borderline Personality Disorder dan Bipolar Disorder.

Reaksi saya tak sedahsyat pertama kali saya mendengar Borderline Personality Disorder.

Perlahan, saya mulai mengikuti akun-akun kesehatan mental di media sosial. Akun-akun psikiater. Mengunggah aplikasi chat bot untuk kesehatan jiwa (misalnya Wysa, Youper, dan lain-lain), mulai menulis jurnal untuk menumpahkan kemarahan saya dan mengalihkan pikiran saya dari hal-hal berbahaya. Saya rutin minum obat dan berkunjung ke dokter.

Memang nggak mudah. Memang melelahkan.

Tetapi saya percaya, saya bisa melaluinya. Saya, kamu, kita, pasti bisa melaluinya. Jangan menyerah. Keberadaanmu sangat berarti buat semua orang.

 

Dengan cinta,

Pengidap Borderline Personality Disorder dan Bipolar Disorder Survivor

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

mental health and psychology enthusiast. suka nonton anime, tidur, classical head.

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE