[CERPEN] Cinta Sepasang Anting

Menunggu bukanlah suatu hal yang gampang dilakukan. Lalu, bagaimanakah kisah Adya yang sudah menunggu balasan cinta dari Asya?

“Sejauh apapun kamu pergi tetap akan balik ke aku lagi, Sya.” Adya menatap penuh arti ke arah Asya. Jemarinya menggenggam lembut lengan Asya. “Kamu itu wanita yang sudah ditakdirkan buat jadi pasanganku,” lanjutnya.

Advertisement

“Gue nggak peduli apapun yang ada hubungannya sama lo, Dya. Gue bakalan tetep pergi, dengan atau tanpa persetujuan lo. Dan ingat satu hal, lo bukan siapa-siapanya gue.” Asya menyentak tangan Adya lalu melangkah pergi meninggalkan Adya yang sedang berdiri termenung.

Menyadari Asya telah melangkah menjauhinya, Adya yang masih bisa melihat punggung Asya dari kejauhan pun berteriak, “Aku akan tetap nunggu kamu, Sya.”

Mendengar teriakan Adya, Asya sempat menghentikan langkahnya. Dia menggelengkan kepalanya. Rasanya ia sudah sangat bosan dengan tingkah Adya yang selalu mengejarnya. Ini adalah tahun ke tiga ia mengenal Adya. Selama tiga tahun itu pula Adya melakukan pendekatan kepadanya.

Advertisement

Asya memutuskan untuk melanjutkan study jenjang S1-nya di Surabaya. Tepat di bulan ini dan tahun ini pula ia mulai mengikuti serangkaian kegiatan ospek. Senin minggu depan baru saja akan dilaksanakan. Dan, tepat rabu besok ia akan berangkat ke Surabaya.

Awalnya ia hendak berjalan-jalan di area Kota Bandung di hari Senin yang cerah ini. Sekadar untuk membuat moment yang bisa ia kenang ketika sudah tinggal di Surabaya nanti. Namun, bertemunya ia dengan Adya tanpa sengaja langsung membuat rencananya berantakan. Ia pun heran, dari mana Adya tahu tentang rencana kepergiannya. Sebelumnya ia tak pernah bercerita apapun kepada Adya. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang saja.

Advertisement

Sesampainya di rumah, ternyata ada sahabatnya yang sedang bertamu. Dia adalah Damara. Seseorang yang akan berjuang dengannya selama beberapa tahun ke depan. Ia juga satu jurusan dengan Asya.

Melihat wajah kesal sahabatnya, ia udah bisa menduga penyebabnya, “Ketemu kembaran lo lagi?”

Asya mendengus, ia mengambil satu bantal sofa lalu dilemparkan ke arah sahabatnya tersebut. “Gue udah bilang berkali-kali sama lo, Ra. Dia bukan kembaran gue.”

“Terus apa? Calon ayah dari anak-anak lo? Calon pacar lo? Atau—“

“Cukup, Ra! Lama-lama gue makan juga lo. Intinya, dia bukan siapa-siapanya gue.”

“Lo nggak mau buka hati sedikitpun buat dia, Sya?”

“Nggak!”

“Dia baik loh, Sya. Pantang menyerah. Selalu perhatian sama lo.”

“Bodo amat,” ketus Asya.

“Lagian nama lo sama dia Cuma beda dua huruf, Sya. Mungkin itu pertanda.”

“Cara berpikirnya lo lama-lama sama kayak Adya tahu nggak? Cuma gara-gara nama gue Asya Saputri dan nama dia Adya Saputra, gue jadi dijodoh-jodohin sama dia. Gak lucu tahu nggak?”

“Apa salahnya mencoba sih, Sya? Kasih kesempatan buat doi.”

“Gue nggak mau bahas ini lagi, Ra. Gue mohon lo ngertiin gue.” Asya melengos pergi ke arah kamarnya. Damara yang melihatnya pun mengembuskan napasnya dengan kasar. Itulah sikap Asya ketika perbincangannya sudah menyakut tentang Adya. Sampai saat ini Damara tak tahu alasan sang sahabat tidak mau membuka hatinya untuk seseorang yang sudah melakukan pendekatan selama tiga tahun ini.

Terkadang antara Asya dan Adya bisa terlihat kompak layaknya kawan, bukan lawan. Itu terjadi di kala mereka tengah membahas tentang hobi mereka, fotografi. Hal tersebut membuat banyak orang yang melihatnya terheran-heran. Namun, ketika pembahasan tersebut sudah berakhir, mereka akan kembali tidak akur.

####

Tiga tahun sudah berlalu, Asya melewati masa-masa kuliahnya dengan ceria. Kini, ia sudah ada di semester tujuh. Semester dimana ia sedang sibuk dengan skripsinya. Selama berada di Surabaya, ia kerap mendapatkan hadiah beserta surat dari seseorang. Hadiah itu selalu datang di tanggal 20. Tak terkecuali tanggal 20 bulan Agustus ini. Sepulang dari kampus ia melihat ada kotak berukuran sedang di depan kamar kost-nya. Ketika ia bertanya kepada penghuni kost, mereka bilang tidak tahu apa-apa.

“Hadiah lagi?” tanya Damara yang baru saja masuk ke kamar kost Asya.

“Iya,” jawab Asya cuek.

“Anting lagi?”

“Iya. Mana dari dulu cuma sebelah doang. Orang yang ngasih itu siapa, sih?”

“Mana gue tau, Sya.”

“Apa dari penggemar rahasia gue?”

“PD amat lo. Emang lo punya penggemar rahasia?”

“Lah ini buktinya,” Asya mengeluarkan satu kotak berukuran sedang di lacinya. Dia meletakannya di atas kasurnya. Damara pun langsung mengambilnya dan membuka kotak tersebut.

“Lo simpen hadiahnya dari awal lo kost di sini sampe sekarang?”

“Iya. Di dalam kotak total ada 36 surat sama anting yang cuma sebelah doang, ditambah yang tadi jadi 37.”

“Terus ngapain lo simpen semua ini?”

“Nggak papa, sih. Gue penasaran aja sama yang ngasih.”

“Iya, gue juga penasaran. Siapa tau itu jodoh lo.”

“Apaan, sih.”

“Eh, tapi kalo yang ngasih semua ini itu Adya, gimana?”

“Adya yang jaman SMA suka ngejar gue?” tanya Asya. Damara mengangguk.

“Tapi dia udah nggak pernah muncul di hadapan gue lagi selama tiga tahun ini, Ra. Kayaknya nggak mungkin dia,” Asya berujar dengan santai. Dia mengambil minuman kotak di kulkas lalu mulai meminumnya.

“Nggak ada yang gak mungkin, Sya. Dulu lo pernah cerita ke gue tentang pertemuan terakhir lo sama dia sebelum lo ke Surabaya. Lo masih inget? Dia bakal nunggu lo, kan?”

Asya tersedak sampai terbatuk-batuk. “Nggak mungkin dia. Mungkin aja dari cowok fakultas lain yang ngefans gue,” elaknya.

“Terserah lo aja, Sya. Gue sebagai sahabat bakal dukung lo, selama yang lo lakuin itu baik. Gue balik ke kamar gue, ya.”

“Iya, Ra. Makasih, ya.”

Setelah Damara pergi dari kamarnya, Asya mengambil selembar kertas dari kotak yang baru saja ia dapat tadi. Ia mulai membaca isi dari surat tersebut.

Teruntuk Asya,

Jika kamu pikir hati ini salah singgah. Namun, kurasa tidak. Hati ini memang seharusnya singgah di hatimu. Kamu hanya perlu waktu untuk menerima. Dan, aku harap kamu akan menerima dalam waktu dekat ini karena aku akan segera datang menemuimu untuk meminta jawaban.

####

Satu bulan sudah berlalu, hari ini tepat tanggal 20 September. Sejak ia menerima hadiah dan surat di bulan agustus kemarin, ia jadi menunggu hadiah itu datang lagi. Dia penasaran.  Hari ini ia libur kuliah. Sudah sejak pagi Asya menunggu hadiah itu datang. Namun hingga siang hari hadiah itu belum datang juga. Asya sampai harus bolak-balik mengecek depan pintu kost-nya. Baru saja ia masuk ke kamarnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Setelah ia mengeceknya, ternyata ada pesan mauk dari nomor tak dikenal. Asya buru-buru membukanya.

Jika kamu mau tau siapa aku, temui aku di Taman Kota pukul tiga sore ini. Kamu akan mendapatkan setiap jawaban dari pertanyaan-pertanyaanmu selama ini.

Salam hangat dariku, Pasangan antingmu.

Asya segera melirik jam tangannya, ia masih punya waktu satu setengah jam untuk bersiap-siap. Setelah selesai bersiap-siap, ia langsung pergi ke Taman Kota. Asya memutuskan untuk berjalan kaki saja. Sekitar 15 menit kemudian, ia telah sampai di sana. Ada satu hal yang ia lupa tanyakan, seseorang tersebut memakai pakaian apa. Asya pun mulai melihat sekelilingnya, wajahnya menunjukan jika ia sedang kebingungan. Tiba-tiba ada suara eseorang yang mengejutkannya.

“Kamu datang 20 menit sebelum waktu yang aku janjikan. Kamu penasaran banget sama aku, ya?”

Asya menoleh ke asal suara, ia mempertajam penglihatannya. Sosok laki-laki yang ada di depannya menggunakan masker, namun mata hitamnya itu seperti tak asing lagi bagi Asya. Asya mulai mengingat siapa pemilik mata hitam yang indah tersebut.

“Nggak perlu mikir sampai segitunya,” ucap laki-laki tersebut sambil melepas maskernya.

“A-a-Adya.” Asya terkejut. “Jadi ini semua ulah lo?”

“Iya. Aku udah pernah bilang, kan? Kalo aku akan tetap nunggu kamu, Sya.”

“Terus apa maksud dari hadiah-hadiah ini?” Asya memperlihatkan anting dan surat hadiah dari Adya yang ia bawa dalam totebagnya.

“Aku yakin kamu pasti nyimpen itu.”

“Tapi maksud dari semua ini apa, Dya?”

“Aku sengaja kasih kamu anting yang hanya sebelah itu buat nunjukin ke kamu, kalo kamu itu kayak anting itu. Cuma sebelah, yang gak bakalan sempurna kalo kamu sendiri. Kamu butuh pasangan. Dan, itu aku.”

“Lo ngomong apa, sih. Please! Lo stop ngehalu. Stop ngejar gue.”

“Kasih aku kesempatan, Sya. Hargai perjuangan aku selama enam tahun ini. Enam tahun, Sya. Udah enam tahun aku nunggu kamu, perjuangin kamu.”

“Tapi bukan aku yang minta. Itu mau kamu sendiri, Dya.”

“Please, Sya! Satu kesempatan aja.”

###

Damara sudah stand-by di depan kamar Asya sejak lima menit yang lalu. Sahabatnya, Asya, memerintahkannya untuk tetap ada di depan kamarnya sampai Asya datang. Tiga menit kemudian Asya pun datang.

“Lo kenapa gak masuk aja?”

“Dikunci, kan?”

“Enggak, kok.”

“Kan, biasanya kalo lo pergi, kamar selalu lo kunci.”

“Tadi lupa nggak gue kunci,” Asya terkekeh. Ia pun masuk ke kamar diikuti Damara di belakangnya.

“Lo ngapain nyuruh gue ke sini?”

“Yang ngirim hadiah ternyata Adya,” jelas Asya to the point.

“Tuh, kan, apa gue bilang. Terus gimana?”

“Dia masih ngejar gue. Tadi dia juga nembak gue.”

“Lo nggak jomblo lagi dong?”

“Gue tolak. Gue bilang udah punya pacar dari seminggu yang lalu.”

“Lo nggak cerita kalo punya pacar.”

“Gue terpaksa bohong sama dia. Sampai detik ini gue masih ilfeel sama dia,” Asya bergidik.

“Lah, kok?”

“Dulu waktu SMA dia pelihara kodok. Gue jijik, Ra. Tapi tadi pas gue tanya, dia udah nggak pelihara kodok lagi katanya.”

“Kenapa masih lo tolak?”

“Dia jadi pelihara cacing, ulet, sama tikus, Ra. Gue makin geli. Iihh.”

“Tapi, ka, dia anak IPA, Sya. Dia kuliah ambil jurusan biologi murni juga. Mungkin itu buat penelitian.”

“Tapi berat buat nerima dia, Ra. Lo tau kalo gue paling anti sama begituan, kan? Kata-kata dia tadi juga nyinggung perasaan gue.” Asya bangkit dari duduknya, lalu mengambil sebotol air mineral di atas meja.

“Dia bilang apa?”

“Dia bilang gue kaya anting yang cuma sebelah, gak bakal sempurna kalo gak ada pasangannya.”

“Gila! Gue dukung lo, Sya. Masa bodo sama perjuangannya dia nunggu lo selama enam tahun.”

“Iya. Makasih, ya. Lo udah support gue. Jadi pengen peluk.” Asya mendekati Damara dengan merentangkan tangannya.

“Ogah,” elak Damara menghindari pelukan Asya. “Lo bau, belum mandi,” lanjutnya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE