[CERPEN] Tiga Tahun Diam-diam Mengagumi Sampai Akhirnya Semesta Merestui

Malam-malamku kelabu dengan kisah yang semakin sembilu.

Sore itu, seperti biasa aku selalu di masjid kampus sembari menunggu maghrib tiba. Dan seperti biasa pula aku selalu menanti kedatangannya di balik jendela kaca masjid kampus. Sudah menjadi kebiasaanku ketika menunggu waktu shalat tiba. Aku selalu menunggunya.

Advertisement

“Kamu nungguin siapa, Nel?” tanya Nisa, teman dekatku di bangku perkuliahan yang biasa memanggilku dengan nama Nelda. Nisa adalah salah satu teman dekatku di kampus. Ada juga si Febi. Cewek baby face itu juga tak luput menemani hari-hariku di kampus. Usia kami memang berbeda. Nisa memiliki usia yang paling muda di antara kami. Namun, tenang saja, meskipun usia kami berbeda, kami selalu seirama.

“Aku lagi nungguin Mas Faris. Tumben ya kok dia belum kelihatan. Padahal uda hampir adzan maghrib nih.” Ucapku sambil resah menunggu kedatangan Mas Faris. “Hhhmmm… sabarlah. Bentar lagi juga dia pasti nongol.” Ucap Nisa yang sedang sibuk stalking gebetannya.

Ya, Mas Faris. Dia adalah teman sekelasku di bangku kuliah. Sosok berkulit kuning langsat, manis, dan super duper cuek itu telah berhasil mencuri perhatianku. Aku mengaguminya sejak pertama kali masuk kuliah. Aku mengagumi sikapnya yang tenang, dewasa, dan tentu semakin membuatku penasaran dengan sikap cueknya. Usia Mas Faris sendiri tiga tahun di atas ku. Tentu, laki-laki dengan usia yang lebih tua di atas ku, bagi ku dia cukup dewasa. Dan aku semakin menyukainya.

Advertisement

Tak lama, terlihat dari kejauhan Mas Faris berjalan menuju masjid. Celana berwarna coklat susu dan kemeja flannel berwarna merah maron dengan lengan panjang yang sedikit dilipat membuatnya semakin terlihat mempesona dan dewasa. Entah kenapa hatiku selalu berdebar setiap kali memandang Mas Faris dari kejauhan. Selalu menenangkan dan meneduhkan. Ya, meskipun tak sedikitpun Mas Faris melirikku.

Siapa aku? Aku hanya perempuan biasa yang hanya bisa menghamparkan rindu dalam doa-doa. Aku juga bukan tergolong anak hits seperti yang lainnya. Aku bukan perempuan yang hobby make up seperti layaknya perempuan lain. Sungguh pakaianku pun tak se-stylish perempuan-perempuan masa kini.

Advertisement

Aku hanya perempuan dengan jilbab lebar menutup dada. Sehari-hari pakaianku hanya satu model yaitu gamis. Perempuan berjilbab lebar selalu dianggap seperti ibu-ibu. Tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin menjalankan kewajibanku sebagai muslimah. Toh, nanti aku juga akan menjadi ibu. Bagiku mustahil aku bisa menjalin hubungan dengan Mas Faris, apalagi berumah tangga dengannya. Mas Faris yang bagiku (cukup) sempurna pasti menginginkan perempuan yang sebanding dengannya.

Aku hanya bisa menyukainya diam-diam. Memandangnya dari kejauhan. Menikmati segala rasa dengan sendirian. Senjaku selalu kuhabiskan dengan menunggunya. Melihat langkahnya menuju masjid kampus. Ya, di masjid kampus ini tempatku menikmati senja sembari mengaguminya dalam diam. Sesekali sempat terlintas di benak ku “Seandainya aku bisa menikmati hari-hari ku dengan Mas Faris. Aku ingin menjadi istrinya. Allah, aku mencintainya.” Gumamku dalam hati.

Senja berlalu. Waktu menunjukkan pukul 06.30 malam. Aku bersiap-siap pulang. Jarak rumah ku dengan kampus sekitar 60 menit. Cukup jauh memang. Seperti biasanya, sesampai dirumah aku istirahat sejenak. Mengerjakan tugas sambil menonton televisi. Sesekali melihat story di whatsapp berharap Mas Faris membuat status di whatsapp story nya. 

Namun nihil. Dia memang berbeda. Dia jarang sekali membuat status di story whatsappnya. Dia sosok laki-laki yang entah bagaimana aku bingung menggambarkannya. Meskipun kami satu kelas, kami jarang bercengkerama. Hanya sekali dua kali aku sempat bercengkerama dengannya, itupun perihal tugas kuliah. Selebihnya tidak.  

Kian hari perasaanku semakin membuncah. Tepat semester tiga. Sampai suatu ketika aku mulai dekat dengannya. Ini bukan tentang dekat sebagai pasangan. Tentu tidak. Kami dekat hanya sebatas teman curhat. Dia dekat dengan seorang mahasiswi Fakultas Agama Islam di kampusku. Sedangkan aku dan Mas Faris adalah mahasiswa di Fakultas Teknik. Entah sejauh apa kedekatan Mas Faris dengan anak Fakultas Agama Islam itu. Yang jelas Mas Faris sering keluar, jalan berdua dengannya. Makan, jalan-jalan, bahkan beberapa kali Mas Faris menjemput kerumahnya.

Ya Rabb hatiku teriris pilu. Malam-malamku kelabu dengan kisah yang semakin sembilu. Aku dekat dengannya, tapi dia dekat dengan perempuan lain. Kami dekat, tapi hanya sebatas teman curhat. Dia bahagia, namun hatiku semakin menderita. Bagaimana tidak, seseorang yang selama ini ku kagumi yang hampir di setiap malam menelfonku, tapi dia selalu membahas perempuan lain.

Ya Rabb aku cemburu. Aku cemburu mendengarnya menceritakan perempuan itu. Aku cemburu betapa dia bangganya bercerita bahwa si perempuan itu sempurna dimatanya. Seolah tak ada sedikitpun cela dan cacat dalam dirinya. Seolah perempuan itulah bidadari sempurna di dunia.

Sedangkan aku? Bagaimana dengan diriku? Aku hanya perempuan sederhana, dari keluarga sederhana, dengan kecantikan yang tak seberapa. Aku hanya bisa merapalkan doa-doa dalam sujud panjangku. Berharap sang pemilik semesta merestui atau setidaknya sang pemilik semesta ini mengikhlaskan segala rasa ku kepadanya.

Hari demi hari aku mencintainya yang tak pasti. Mencintai dalam diam memang tak mudah, menantinya sungguh amatlah lelah. Aku hanya bisa diam-diam menatapnya dari kejauhan. Dari balik jendela kaca masjid kampus. Kupandangi ia. Ku kagumi sosoknya. Ingin rasanya ku mengungkap segala rasa. Namun apa daya. Aku tak seberani ibunda khadijah. Proposal cintaku terlalu lemah. Aku hanya bisa berharap kepada-Nya. Kepada-Nya sang Maha Kaya. Semoga semesta merestui.

Aku mencintaimu, mas. Kedua sahabatku mendukung penuh, meskipun mereka juga terkadang khawatir. Mereka takut jika aku tersuruk dalam sumur kegelapan. Tersuruk dalam cinta yang tak terbalaskan. Sesekali mereka  menasehatiku agar melupakan segala rasa ini. Tapi tidak. Aku tak bisa. Aku tak punya alasan apapun, yang pasti aku masih ingin menantinya.

“Nel, sudahlah. Kamu move on aja dari Mas Faris. Daripada kamu sakit hati sendiri  kayak gini. Kamu jangan mau di telfon tiap malam hanya karena dia curhat soal cewek itu. Please, jangan menyakiti diri sendiri.” Ucap Febi yang mencoba menasehatiku.

“Nggak bisa, Bi. Aku tuh sayang banget sama Mas Faris. Aku denger suaranya aja uda seneng banget. Ya, meskipun sakit sih dengerin dia ngomongin cewek itu. Insya Allah aku ikhlas.” Jawabku yang berusaha sok tegar.

“Aku yakin nggak ada perempuan yang sepenuhnya ikhlas di perlakukan kayak gini. Kamu hanya berpura-pura tegar. Sudahlah, Nel. Masih banyak laki-laki di luar sana yang bisa menerimamu apa adanya. Kamu cantik dan baik.” Nisa yang berusaha menguatkanku dan menasehati agar move on dari Mas Faris.

Ya Rabb hatiku teriris pilu. Malam-malamku kelabu dengan kisah yang semakin sembilu. Aku dekat dengannya, tapi dia dekat dengan perempuan lain. Kami dekat, tapi hanya sebatas teman curhat. Dia bahagia, namun hatiku semakin menderita. Bagaimana tidak, seseorang yang selama ini ku kagumi yang hampir di setiap malam menelfonku, tapi dia selalu membahas perempuan lain.

Ya Rabb aku cemburu. Aku cemburu mendengarnya menceritakan perempuan itu. Aku cemburu betapa dia bangganya bercerita bahwa si perempuan itu sempurna dimatanya. Seolah tak ada sedikitpun cela dan cacat dalam dirinya. Seolah perempuan itulah bidadari sempurna di dunia.

Sedangkan aku? Bagaimana dengan diriku? Aku hanya perempuan sederhana, dari keluarga sederhana, dengan kecantikan yang tak seberapa. Aku hanya bisa merapalkan doa-doa dalam sujud panjangku. Berharap sang pemilik semesta merestui atau setidaknya sang pemilik semesta ini mengikhlaskan segala rasa ku kepadanya.

Hari demi hari aku mencintainya yang tak pasti. Mencintai dalam diam memang tak mudah, menantinya sungguh amatlah lelah. Aku hanya bisa diam-diam menatapnya dari kejauhan. Dari balik jendela kaca masjid kampus. Kupandangi ia. Ku kagumi sosoknya. Ingin rasanya ku mengungkap segala rasa. Namun apa daya. Aku tak seberani ibunda khadijah. Proposal cintaku terlalu lemah. Aku hanya bisa berharap kepada-Nya. Kepada-Nya sang Maha Kaya. Semoga semesta merestui.

Aku mencintaimu, mas. Kedua sahabatku mendukung penuh, meskipun mereka juga terkadang khawatir. Mereka takut jika aku tersuruk dalam sumur kegelapan. Tersuruk dalam cinta yang tak terbalaskan. Sesekali mereka  menasehatiku agar melupakan segala rasa ini. Tapi tidak. Aku tak bisa. Aku tak punya alasan apapun, yang pasti aku masih ingin menantinya.

“Nel, sudahlah. Kamu move on aja dari Mas Faris. Daripada kamu sakit hati sendiri  kayak gini. Kamu jangan mau di telfon tiap malam hanya karena dia curhat soal cewek itu. Please, jangan menyakiti diri sendiri.” Ucap Febi yang mencoba menasehatiku.

“Nggak bisa, Bi. Aku tuh sayang banget sama Mas Faris. Aku denger suaranya aja uda seneng banget. Ya, meskipun sakit sih dengerin dia ngomongin cewek itu. Insya Allah aku ikhlas.” Jawabku yang berusaha sok tegar.

“Aku yakin nggak ada perempuan yang sepenuhnya ikhlas di perlakukan kayak gini. Kamu hanya berpura-pura tegar. Sudahlah, Nel. Masih banyak laki-laki di luar sana yang bisa menerimamu apa adanya. Kamu cantik dan baik.” Nisa yang berusaha menguatkanku dan menasehati agar move on dari Mas Faris.

Kring… kring… kring … Hp ku berbunyi. Kulihat ternyata yang menelfonku adalah Mas Faris. Ku angkat dan ku sapa dia. Kami memang lama tak berkomunikasi melalui telfon.

“Assalamualaikum, Nel.” Sapa Mas Faris mengawali pembicaraan kami. “Waalaikumsalam, Mas Faris.” Jawabku singkat. “Gimana keadaanmu sekarang? Kata Nisa dan Febi kamu abis opname di rumah sakit ya?.” Tanya Mas Faris dengan penuh perhatian.

“Iya, mas. Alhamdulillah sih sekarang uda baikan. Cuma capek aja kok.” Jawabku singkat karena aku tak ingin Mas Faris mengetahui penyakitku. Kami pun melanjutkan pembicaraan. Tak seperti biasanya, dia tak lagi membahas perempuan itu. Sempat ku dengar dari teman dekatnya, dia sudah tak lagi bersamanya. “Allah persatukan kami.” Gumamku dengan lirih dalam hati.

Entah kenapa semenjak sakit, Mas Faris begitu perhatian denganku. Aku sering meminta tolong Mas Faris dan Mas Faris pun selalu meng-iya-kan dan selalu membantuku. Bahagia? Pasti. Sikapnya yang mulai hangat dan perhatian membuatku semakin menaruh harapan besar. Tapi sekali lagi, aku tak percaya diri dengan kondisiku. Kupikir Mas Faris bisa mendapatkan yang lebih dari aku. Aku sempat berkecil hati dan berpikir “Mungkin Mas Faris perhatian hanya karena kasihan denganku. Siapa aku baginya.” Gumamku.

Meski dia tak pernah tahu betapa aku memperhatikannya, betapa aku mengaguminya, aku mencoba menikmati semuanya dalam diam. Singkat cerita, di semester akhir bulan Ramadhan, di usiaku yang menginjak ke dua puluh tiga tahun. Dia menelfonku dan mengatakan “Syawal setelah Idul Fitri aku mau kerumahmu. Silaturrahmi bertemu ayah dan ibumu.” 

Lalu akupun meng-iya-kan permintaannya. Pikiranku campur aduk saat itu. Hatiku berdebar. Aku hanya bisa menerka-nerka. Semoga. Ya semoga. Semoga ini langkah awal dan bukan hanya perasaanku saja. “semoga dia melamarku” gumamku dengan pede-nya aku.

Sesuai janji, bulan syawal dia kerumahku seorang diri. Dia menepati janjinya. Ini namanya laki-laki. Laki-laki yang dipegang adalah ucapannya. Ku persilahkan dia masuk. Ku buatkan teh hangat terbaikku. Dan dengan senyum ramah ayah dan ibuku menyambutnya.

Dua bulan kemudian, dia dan keluarganya kerumahku. Membawakan cincin dan bunga; dia melamarku. Allah, kejutan apalagi ini. Ucap syukur ku panjatkan. Allah hadiahkan kado luar biasa. Laki-laki yang selama ini ku cintai dan kagumi dalam diam dan hanya bisa kurapalkan dalam doa kini dia benar-benar nyata. Allah lah yang mengirimkannya untukku. Laki-laki yang selama ini datang dengan segala plus minus-nya. Aku mencintainya dengan segala lebih dan kurangnya.

Alhamdulillah, di saat itu pula, autoimunku berangsur membaik dan sembuh. Meskipun dokter sempat memvonisku bahwa autoimunku ini tak akan bisa sembuh. Ya ini kejutan kedua dari Allah. Maha Besar Allah. Janji-Nya tak pernah ingkar. Takdir telah membawa kami pada titik saat ini, sampai akhirnya semesta merestui.

Lima bulan kemudian, kami melangsungkan akad nikah di kediaman kecil ku. Rumah sederhana yang nantinya menjadi tempatku berteduh dan berlabuh bersama imamku. Mentari pertama kami berdua aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Mas Faris, “Mas, terima kasih telah bersedia menikahiku. Terima kasih telah bersedia menjadikanku istrimu. Tiga tahun aku menunggumu, ku pikir akan sia-sia. Ternyata tidak. Kepadamu aku pasrahkan seluruh hidup dan jiwaku. 

Aku percaya kuasa manusia tak ada apa-apanya dibanding kuasa-Nya. Jika Allah sudah berkehendak tak ada yang bisa menghalangi. Kamu datang dengan segala plus minus mu. Takdir menyatukan kami. Aku mencintaimu, mas.” Ucapan terima kasih ku sambil mendengarkan lagu Anandito Dwis yang berjudul Pernikahan Impian:

Mentari pagi tersenyum tenangkan hati

Sebuah kisah akhirnya berakhir indah

Doa rinduku, terjawab karena hadirmu

Kita bersama melangkah bahagia

Meski ita dipertemukan tak sengaja

Tapi ku yakin rencana-Nya yang terindah untuk kita lewatinya

Aku menikahimu karena Allah

Telah lama ku menanti

Kehadiranmu di hati

Aku menikahimu karena cinta sejati

Ada dalam pernikahan  impianku bersanding denganmu

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswi Fakultas Teknik dan Content Writer di salah satu media di Surabaya

CLOSE