Dilema Jadi Tempat Curhat: Menyemangati Dibilang Toxic, Pakai Logika Dianggap Tak Berempati

Rasanya jadi tempat curhat

Manusia nggak pernah luput dari masalah, kadang ada saja pikiran nggak perlu yang ujungnya bikin gelisah. Masalah dan residu pikiran yang kita miliki seringkali nggak bisa hilang sendiri, makanya kita perlu untuk curhat pada kerabat yang dipercaya. Ada kalanya kita bergiliran menjadi pendengar saat seorang teman membutuhkan. 

Saat menjadi pendengar, kita kerap kali nggak peka dengan kebutuhan psikologis sang pencurhat. Walau niatnya baik, hasilnya tak selalu demikian. Kadang niat kita untuk menyemangati dan mengajaknya berpikir jernih malah menjadi toxic positivity. Jika kita suguhkan realita yang pahit dan solusi yang logis, bisa menyakiti dan dianggap nggak berempati. Kalau mendengar dan diam saja, apa bedanya kita dengan tembok kamarnya?

Ngasih reaksi positif untuk tetap semangat, rawan menjadi toxic positivity

Mendengarkan curhatan rasanya nggak mungkin kalau kita hanya diam dan nggak memberi tanggapan apa-apa. Sudah lumrah jika setelah semuanya tercurah, kita berusaha menenangkan dan mencoba membangkitkan semangatnya. Tapi hati-hati ya, ternyata menyemangati seseorang yang sedang terpuruk tidak melulu menjadi jawaban terbaik. Pasalnya, mengajak orang untuk tetap berpikir positif saat segalanya terasa tidak baik bukanlah tindakan yang tepat, bisa jadi yang kamu lakukan adalah toxic positivity untuknya.

Mereka cenderung menjadi tidak nyaman mengekspresikan perasaannya yang sedang mendung, padahal manusia memang sesekali pasti tersandung. Tidak ada salahnya untuk bersedih dan meluapkan perasaan dan pikiran negatif untuk meredakan segala sesak. Sebagai pendengar, setidaknya jangan paksakan teman kita untuk berpikir positif dan mengambil hikmah. Kamu dipercaya untuk menjadi pendengar semata, jangan ambil job desk-nya Mamah dan Aa~

Merespon dengan kejujuran yang sering kali kejam, dibilang nggak suportif dan apatis

Curhatan yang kita dengar memang nggak melulu bisa kita rasakan, tapi sebagai teman yang baik tentu kita nggak perlu merapalkan mantra mutakhir untuk mengakhiri pertemanan;


"Ah, itu masih mending. Gue malah… (Sambunglah dengan cerita pengalamanmu yang katanya paling menderita)"


Selain tanggapan paling mainstream dan menyebalkan tadi, kadang kita juga dibuat gemas dengan curhatan teman kita yang terdengar dibesar-besarkan, dan sebenarnya bisa diselesaikan dengan mudah tanpa perlu pusing berkeluh-kesah. Tapi ingatlah bahwa masalah akan terlihat kecil dan mudah jika bukan kita yang mengalaminya. Makanya, kamu yang merasa menasihati dan memberikan solusi logis adalah cara yang paling benar, bisa saja tertolak mentah dan membuat si pencurhat tambah kepikiran. Menamparnya dengan hal-hal yang realistis nggak selalu jadi kebutuhan nomor satunya. Cara seperti itu mungkin memang ampuh untuk membuatnya sadar, sadar kalau kamu bukan pilihan yang tepat untuk jadi teman curhatnya~

Jadi sebelum memberikan hard truth dan solusi-solusi yang menurutmu paling jitu, baiknya lihat situasi dulu, siapa tahu temanmu lagi nggak butuh itu.

Berusaha tenang dan hanya mendengar, tapi si teman juga butuh tanggapan

Saat curhat dengan seseorang, tandanya kita percaya dan berharap dia menjadi pendengar yang baik untuk kita. Begitupun sebaliknya. Tapi apakah cukup dengan hanya memberikan telinga yang sedia?

Setelah mengenal istilah toxic positivity, rasanya kita jadi lebih berhati-hati dalam menanggapi sesuatu. Tidak ingin menyakiti teman yang curhat, pun kebingungan merespon apa supaya tak tergolong menjadi toxic ataupun apatis. Niat baik kita nggak pernah salah, tapi eksekusinya yang nggak selalu tersampaikan dengan selamat.

Sebagai teman yang sering dicurhatin, mungkin ada baiknya kita tanyakan dulu ekspektasi seperti apa yang ia inginkan dengan curhat padamu. Apakah ingin didengar dan diberi reaksi netral, atau tamparan logika yang menyadarkan supaya nanti nggak menyesal.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Piawai menulis daftar belanjaan dan menu makanan yang mau dipesan.

Editor

Not that millennial in digital era.