Dua Sisi Cinta Untuk Calista, Episode 2

episode 2


Episode 1 bisa kamu baca di sini.


Advertisement

***

Setelah lulus SMA aku melanjutkan kuliah di Jakarta, sedangkan Calista kuliah di salah satu Universitas yang ada di Jawa Timur. Kami tidak lagi dapat bertemu secara intens. Kami hanya berhubungan melalui telepon, itu pun hanya sesekali. Biasanya kami bercerita tentang kuliah kami masing-masing, teman, dan pacar kami di kampus. Kalau tidak salah, selama 4 tahun kuliah, kami hanya bertatap muka sebanyak dua kali, saat libur hari raya.

Lambat laun persahabatan kami terasa mulai merenggang. Hal itu disebabkan oleh jarang adanya pertemuan dan komunikasi. Bukan masalah sombong atau hal sepele lainnya, kami benar-benar sibuk dengan urusan masing-masing, tentang cita-cita di luar materi cinta. Namun sebenarnya jauh di lubuk hatiku, aku ingin sekali dapat menjalin hubungan yang erat meskipun hanya dimakcomblangi oleh Hp. Tapi sisi lain hatiku memberikan pendapat bahwa barangkali Calista tidak merasakan hal yang sama.

Advertisement

Kemudian seiring berjalannya waktu, aku pun meragu atas harap yang sebenarnya begitu membelengguku. Ragu kalau-kalau yang menjadi harapanku adalah sesuatu yang mengganggu bagi dia yang sebenarnya telah mengisi hatiku.

Kembali lagi pada cerita saat aku bertemu kembali dengannya di bawah Pohon Kamboja, di lapangan desa. Saat itu, aku benar-benar merasa gembira. Aku merasa bahwa seolah Tuhan mengatakan padaku Ku dekatkan bagimu apa yang menjadi harapanmu, jangan sekali-kali berlalu hingga berujung protes pada-Ku!”

Advertisement

“Ca, udah berapa lama ya kita nggak barengan kayak gini?” tanyaku pada Calista yang saat itu duduk di sampingku, di bawah pohon kamboja.

“Kamu kesurupan? Nggak usah sok sedih gitu, deh! Hahaha,” jawab Calista dengan nada bercanda, kemudian memegang keningku dengan telapak tangan bagian luarnya, memastikan apakah aku sehat atau tidak (dalam suasana becanda).

“Eh, aku serius nanya. Oiyah, gimana? Kamu, masih sama Fian?” tanyaku sambil menurunkan tangannya dari keningku.

Fian adalah pacar Calista semasa kuliah. Aku tahu tentang Fian dari cerita Calista sendiri, saat terakhir kali bertemu tepatnya dua tahun yang lalu.

“Apaan sih, Rud?! Aku udah nggak pacaran sama dia. Sekarang aku mau fokus kerja dulu, nyari uang buat biayain adik-adikku,” jawab Calista dengan wajah serius.

Karena melihat wajahnya yang mulai berubah, aku merasa khawatir kalau-kalau wajah serius itu menjadi tangis. Bukan tanpa alasan! Karena hampir setiap kali bercerita sesuatu yang berkaitan dengan keluarganya, ia akan menangis. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan mengajaknya untuk mencari tukang bakso. Bakso adalah makanan favoritnya. Aku langsung menarik pergelangan tangan kirinya, membantunya beranjak dari duduk, kemudian mengajaknya berjalan meninggalkan lapangan desa.

Setelah beberapa menit kami berjalan, kami menemukan tukang bakso yang berada di pinggir jalan, di area pasar. Tidak terlalu jauh dari lapangan tempat jogging, tepatnya sekitar 200 m dari sana. Tempat bakso itu berada di pinggir jalan, sebelah kiri dari arah lapangan, tepat di bawah pohon besar. Di seberang tukang bakso, terdapat kanal (saluran irigasi untuk sawah petani). Kios bakso memiliki luas sekitar 2×3 m dengan gerobak bakso di bagian depan, disusul meja, dan bangku yang memanjang untuk para pelanggan yang datang. Kios yang kumaksud bukanlah meruapakan bangunan permanen. Kios itu berdinding kain spanduk, bertiangkan bambu-bambu, dan beratapkan kain yang bahannya menyerupai bahan untuk kain tenda.

“Pak, baksonya dua, ya. Yang satu ngak usah pakai mie, yang satunya lagi lengkap,” ucapku sesaat setelah duduk di bangku bersama Calista.

“Iya, Mas. Makan di sini?” Respon ramah bapak penjual bakso.

“Iya, Pak. Oiya , es teh manisnya 2 ya, Pak,” Sambungku.

“Iya, Mas.”

“Kamu masih sama ya, Rud. Makan baksonya nggak pernah pakai mie,” ucap Calista sambil menyenggolkan siku tangannya ke lenganku.

“Hahaha, iya, Ca. Pengen baksonya aja. Lagian nanti kalau nggak abis, ada yang ngomel-ngomel kayak orang kesurupan,” sindirku sambil menggodanya.

“O, gitu! Jadi kalau makan masih suka nggak abis?” ucap Calista sambil menjitak kepalaku.

“Ini, Mbak, Mas. Baksonya sudah siap,” sapa ramah penjual bakso sambil menyodorkan pesanan kami.

Kami berdua mulai memakan bakso. Beberapa menit kemudian, tak lama dari saat pertama kali aku mulai menyantap baksoku.

“Rud…,” ucap Calista sambil mencolek tangan kiriku.

“Kenapa, Ca? Hahaha,” jawabku yang kemudian langsung tertawa karena melihat mangkok Calista yang sudah kosong

“Kamu, ini! Mau nambah? Malu bilangnya?” kataku sambil tersenyum geli.

“Iya, laper. Hehehe,” jawab Calista sambil tertawa kecil, kemudian memanyunkan kedua bibirnya dalam beberapa detik.

“Pak, baksonya semangkok lagi, ya?! Pakai mi, Pak!” aku kembali memesan bakso.

“Iya, Mas.”

“Rud, kok nggak dilanjutin makannya? Jangan bilang kalau kamu nggak abis!” ucap Calista sambil menjewer pelan telinga kananku.

“Nanti, dulu! Nunggu kamu. Kamu kan suka malu kalau makan sendirian,” ucapku sambil menyentil pelan keningnya.

Sebenarnya tepat saat itu juga, aku sempat ingin mengatakan perasaanku padanya. Namun, aku teringat dengan perkataannya yang ingin fokus bekerja untuk membiayai adik-adiknya. Lagipula saat itu kan pertama kali aku dapat bertemu kembali dengannya, rasanya kurang pas kalau aku langsung menyatakan cinta. Di sisi lain, aku juga masih belum siap untuk segala kemungkinannya. Akhirnya kami pun hanya mengobrol dan bercanda sembari memakan bakso.

Di pertemuan itu, Calista menceritakan bahwa ia bekerja di salah satu perusahaan swasta yang ada di Kota A. Saat mendengarnya, seketika aku benar-benar merasa seperti seluruh hidupku baru saja akan dimulai. Sejak saat itu kami mulai sering bertemu di saat libur kerja, untuk sekadar makan bersama dan pergi ke beberapa tempat wisata. Beberapa kali aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku pada Calista, rasanya sudah tidak dapat kumenahannya. Namun, lagi-lagi aku menahannya. Aku masih merasa khawatir dan takut, takut jika dia tidak merasakan hal yang sama, lalu kemudian hubungan kami malah akan menjadi renggang.

bersambung…

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Suka ketak-ketik Novel: Gulita (Asmara dan-) dan Jika Cinta- (proses) Antalogi Puisi, fiksimini, dan Cerpen; Jerinjit Asa-, Kartini-ku, Bianglala, Hampir mati. (Cp, email: alimuftiiiii@gmail.com (i-nya 5) line: alimufti1 instagram: alimufti1 )

CLOSE