[CERPEN] Hati Kita Dipersatukan Tuhan Meski Rumah Ibadah Kita Berbeda

Menunggu hidayah keislamanmu :)

Kita dipertemukan tanpa sengaja. Saat melihatmu, auramu seolah mampu membuat mataku terhipnotis. Berkenalan denganmu seakan mengingkari janjiku pada Tuhan untuk menyendiri dalam jangka waktu yang lama. Setelah Ayahku, kau adalah pria kedua yang bisa memperlakukanku dengan lembut. Benar saja, secepat kilat kau merampas hatiku. Bagai bertabur bunga aku dimabuk asmara. Ingin rasanya ku teriakkan pada dunia jika aku jatuh cinta dengan cara sederhana. 

Sebagai wanita, usia 25 bukanlah sebuah masa penjajakan lagi tetapi adalah saatnya menetapkan calon terbaik untuk dibawa ke masa depan. Bagiku kau adalah orang yang tepat yang dikirim Tuhan padaku. Kau yang mau menerima segala kekuranganku, yang mau meringankan susahku. Hari-hari berlalu tanpa perdebatan dan sendu. Tanpa lelah kau ukir tawa di bibirku dengan tingkah konyolmu setiap waktu. Sepertinya stok obat awet mudaku akan melimpah ruah. Terimakasihku untukmu, pujaanku. 

Hingga suatu saat aku menemukan masalah yang sangat besar dalam hubungan ini. Bukan tentang perbedaan karakter, orang ketiga, masalah ekonomi lebih dari itu yaitu perbedaan agama. Aku merenung mencoba mengingat kembali pertemuan denganmu. Hatiku mulai berbisik apakah aku salah memilihmu. Bila aku salah apakah mataku mudah tergoda atau apakah batinku yang lemah mudah terbawa suasana. Ah, entahlah. Tangisku pecah di keheningan malam meratapi kisah ini. 

Betapa tajamnya sorot mata hingga puluhan lidah mengkritisi hubungan ini. Tanpa permisi mereka sepuasnya menghakimi. Mereka berperan setara Tuhan yang ikut campur. Aku tahu setiap orang berhak untuk menilai tapi akulah yang menjalani. Aku bertanya-tanya seorang diri mengapa mereka kurang mengontrol diri yang tanpa disadari menyakiti hati oranglain bahkan binatang sekalipun punya banyak indera perasa yang harus dipahami dan dihargai. Sedih serta kecewa, ku letakkan porsi itu di atas sajadah. Cacat fisik dan cacat hati adalah kata yang sangat berbeda makna. Mungkin terlalu mudah memaafkan tapi terlalu sulit membuang tanda merah seseorang dari memori. Hatiku memang tak sebersih milik Tuhan. 

Aku berusaha tebal telinga karena aku pernah merasakan perihnya kata. Aku mulai menyeleksi teman-teman dekat. Aku menyisihkan mereka yang benar-benar anti toleransi. Aku membentengi diri dengan cara membatasi jumlah pertemanan. Semua ku lakukan demi pemulihan hati. Bukannya aku keras kepala tapi cara mereka menggurui membuatku geleng-geleng kepala. Aku cukup dewasa atas sebuah konsekuensi yang harus ku hadapi karena sejatinya masalah datang memberi pelajaran. Aku berjanji menangguhkan mentalku. 

Ku fokuskan fikirku ke dalam masalah yang cukup pelik untuk kelanjutan hubunganku. Introspeksi diri adalah langkah yang bagus untuk memulainya. Aku bukan remaja yang baru mengenal cinta berarti aku tidak buta saat menarik dia untuk masuk ke dalam hidupku. Aku bukan juga wanita terpandang sehingga tidak butuh fisik yang keren dan popularitas darinya untuk sepadan denganku. Yang membuatku mempertahankannya adalah cara Tuhan mempersatukan, pasti ada maksud tertentu. 

Tak pernah ku bayangkan sebelumnya aku akan memiliki alur skenario hidup yang serumit ini. Saat mulutku berdoa penuh keyakinan aku mampu sendiri nyatanya hatiku diluluhkan dengan menghadirkan dia yang berbeda. Beda agama, beda kitab suci, beda tempat ibadah, beda cara merayakan hari kemenangan. Aku muslim, kau kristen.

Aku menyembah Allah, kau mengagungkan Yesus. Tiap hari aku beribadah, seminggu sekali kau beribadah. Saat hari kemenangan tiba aku penuh haru merayakan tradisi sungkeman, menyantap ketupat bersama sedangkan kau sibuk membuat hiasan unik untuk mengindahkan pohon natalmu. Sungguh miris.

Entah mengapa serbuan celaan yang menghampiri, banyaknya kekontrasan yang ku rasakan tidak pernah memadamkan kasih sayangku padanya. Aku dan dia seakan pantang menyerah dengan ujian ini. Kami tidak pernah mencari celah untuk menjelekkan atau menjatuhkan agama satu sama lain. Kami masih saling menguatkan, masih tidak ingin menyudahi, dan masih saling memberi pengertian ke keluarga masing-masing bahwa ini bukan kesalahan fatal tapi memang takdir Tuhan. Bukan tentang keegoisan tapi tentang perjuangan untuk pembuktian bahwa kami adalah pasangan yang kuat. Ini adalah pembelajaran termanis sepanjang hidupku. Tuhan mengajariku bersabar tanpa batas. Sejatinya perbedaan itu selalu ada, tergantung bijaknya seseorang menyikapi. 

Jalinan asmaraku sudah berjalan dua tahun, itu artinya usiaku sudah menginjak 27. Di samping aku menikmati perbedaan, aku juga memikirkan jalan menuju halal. Kematangan usiaku menuntutku untuk lebih memprioritaskan menikah daripada meningkatkan karir karna kodrat wanita adalah menjadi istri sekaligus ibu, bukan menjadi tulang punggung.

Aku menyibukkan diri berdoa pada Tuhan untuk menjodohkan dia denganku. Dengan paksa pula aku merayu memintakan dia hidayah Islam. Aku bimbang bagaimana hubunganku dengan Ayahku di surga bila kami tak sejalan agamanya. Bagaimanapun aku bisa tumbuh atas jerih payahnya, sebelum aku jatuh cinta ke pria lain dia adalah cinta pertamaku. Dialah waliku, restu terberkah untuk rumah tanggaku. Dia selamanya berharga dan istimewa. 

Jika dipertimbangkan ulang, bisa aja aku menyudahi lalu pergi menerima tawaran lain yang menjanjikan rumah tanggaku sejahtera dalam segi ekonomi. Tapi tidak sepicik itu, aku menjunjung tinggi sebuah komitmen. Aku membangun hubungan ini atas dasar aku nyaman bersamanya. Dialah yang ku dambakan selama ini. Susah senang telah banyak kulalui dengannya.

Tidak semudah itu aku mencampakkan apalagi membuang kenangan. Mungkin sangat gampang mengubah status dari lajang berganti menikah tapi aku tidak bisa menjamin apakah hatiku akan sebahagia sekarang. Belum tentu oranglain akan menerimaku jauh lebih baik seperti dia menerimaku saat ini.

Bagiku perbandingan ketat amat sangat diperlukan karena aku terlalu takut dengan kegagalan rumah tangga yang akan berdampak buruk bagiku beserta keluargaku terlebih untuk mental anakku nantinya. Tidak hanya menanggung beban malu dengan ratusan manusia tapi beban malu terhadap Tuhan. Maka aku harus berhati-hati dalam mengambil suatu tindakan. 

Kini aku hanya bisa menunggu hidayah keislamannya. Aku berharap Tuhan memberikan kado terindah untuk buah kesabaranku. Tuhan selalu mendengar rintihan doa yang aku langitkan. Aku yakin tangan Tuhan sedang bekerja. Sudah sepantasnya aku ikhlas dan berserah pada yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Semudah Tuhan membolak-balikkan hati, semudah itu pula Tuhan mengabulkan permintaan pada yang dikehendaki. Aku percaya aku mampu melewati ini. 

 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini