Hidup di Tengah Pandemi: Kita Masih Manusia yang Punya Segudang Emosi

Perasaanmu valid dan tidak ada yang bisa bilang sebaliknya.

Enggak terasa kita sudah di pertengahan Januari lagi, ya? Coba bayangkan dirimu dua tahun yang lalu, deh. Di hari yang cerah itu, mungkin kamu sedang belajar, bekerja, jalan-jalan dengan hewan peliharaanmu, atau sekadar duduk santai. Apapun yang kamu lakukan waktu itu, sempatkah terbesit di benakmu kalau ke depannya kamu akan terjebak di rutinitas yang monoton? Pasti enggak, ya. Sampai tiba-tiba, media massa heboh menyorot suatu virus yang entah berasal dari mana.

Advertisement

Membayangkan orang Indonesia yang kuat-kuat, pasti tak akan gentar kalau hanya melawan virus semacam flu, kan? Nyatanya, salah. Tanpa aba-aba, tanpa sempat mempersiapkan mental dan fisik, pemerintah menetapkan virus tersebut sebagai bencana non-alam nasional. Kabar baiknya, segala aktivitasmu diliburkan selama sekitar dua minggu. Siapa yang enggak senang? Yey, akhirnya bisa melepas semua tugas kita selama dua minggu! Lagi-lagi salah. Dua minggu jadi sebulan, sebulan jadi setahun, dan setahun jadi dua tahun. Lucu, ya. Hidup benar-benar penuh kejutan, tidak bisa diprediksi sama sekali.

Layaknya waktu, perasaan pun berubah. Kita yang bahagia bisa bebas dari tanggung jawab, pada akhirnya malah harus bertanggung jawab untuk mewujudkan bahagia kita sendiri. Sungguh rasanya tidak nyata, ketika kamu sekonyong-konyong dihadapkan pada situasi yang belum pernah kamu alami sebelumnya. Pola hidup yang sudah amat kita sukai harus lenyap dan bergeser. Yang bisa kita lakukan cuma duduk sepanjang hari untuk belajar atau kerja daring di rumah. Enggak bisa lagi nonton konser, liburan pun dilarang. Masa depan seperti hilang begitu saja. Maksudnya, kita tidak bisa merencanakan masa depan, karena di zaman ini, kita bahkan tidak tahu apa yang akan kita lakukan besok. Kita terjebak dalam masa kini yang abadi.

Kesepian, stres, dan frustrasi sudah jadi makanan sehari-hari terus-terusan menunggu dan berharap akan tibanya akhir dari pandemi. Kurang lebih seperti lomba lari mengelilingi dunia. Kita tahu bahwa garis finis ada di suatu tempat di luar sana, tapi ‘di mana’-nya tidak sepenuhnya jelas. Padahal, manusia sangat tidak menggemari ketidakpastian. Dalam hubungan saja enggak suka, apalagi dalam hidup.

Advertisement

Kamu yang dulu bisa tertawa lepas meski punya banyak beban, sekarang jadi tidak asing dengan perasaan dan pikiran buruk yang muncul di benak. Bukan cuma khawatir soal kesehatan, tapi juga soal pendidikan, pekerjaan, bahkan masa depan secara keseluruhan. Hal-hal ini menciptakan perasaan cemas, takut, dan stres pada sebagian orang.

Enggak apa, kamu enggak sendiri. Bertepatan dengan Bulan Kesehatan Mental tahun lalu, hasil survei yang diadakan oleh Into The Light bersamaan Change.org Indonesia pada Mei–Juni menunjukkan bahwa 98% dari 5.211 orang di enam provinsi di Pulau Jawa merasa kesepian. Di bulan yang sama, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) juga mengadakan periksa secara daring mengenai dampak pandemi terhadap kesehatan jiwa. Hasilnya, 64,3% dari 1.522 responden memiliki gejala cemas dan depresi, seperti sulit tidur, kehilangan minat, atau mudah cemas dan emosi. Data-data ini memberi tahu bahwa pandemi yang berkepanjangan memang berdampak besar pada kehidupan kita.

Advertisement


Pikirkan hal-hal yang positif saja. Semua ini pasti ada sisi baiknya.

Lihat di luar sana, masih banyak yang lebih sengsara daripada kamu.

Jangan negative thinking terus, dong! Kamu kurang bersyukur.


Kalimat-kalimat membangkit semacamnya tidak dapat dihindari. Niatnya baik, dan untuk beberapa orang, affirmasi ini penting untuk mendorong mereka terus menjalankan hari-hari yang membosankan. Good vibes only! kata mereka. Sadar atau tidak, kalimat ini memaksa kita, manusia yang punya segudang emosi, untuk hanya merasakan atau memperlihatkan emosi yang positif. Nyatanya, terlalu banyak kepositifan yang dipaksakan tidak membantu. Layaknya racun yang manis, yang secara perlahan tapi pasti menyerang kita.

Sebenarnya, enggak ada salahnya jika pikiran negatif muncul di masa pandemi ini. Reaksi setiap orang terhadap perubahan besar tentu saja berbeda. Banyak dari kita dipaksa untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang dapat menyebabkan emosi yang kuat membuncah. Apapun yang kamu rasakan adalah reaksi yang sangat wajar, sehingga kamu enggak perlu merasa buruk soal itu.

Penting, loh, buat kamu menormalisasikan dan memvalidasi perasaan kamu. Kalau kamu merasa sedih, biarkanlah dirimu merasakan emosi itu, karena hal itu yang akan membantu kamu untuk menerima diri sendiri dan bergerak maju. Terimalah kalau ada masanya hidup enggak berjalan sesuai harapan. Validate and accept your thoughts, your emotions, and your feelings.

Kalau kita terus-terusan menghakimi diri sendiri karena merasa sedih atau takut, nanti akan timbul perasaan seperti malu dan bersalah, kan? Malu karena kita tidak bisa jadi sekuat orang lain dan bersalah karena terlalu banyak memikirkan hal yang tidak perlu. Padahal, tingkat ketahanan manusia dalam menghadapi masalah itu berbeda. Memaksa diri untuk jadi positif malah enggak baik. Melawan atau mengabaikan perasaan-perasaan itu justru akan membuat mereka semakin mengendap dan membesar.

Seperti judul drama Korea, it’s okay to not be okay. Enggak apa-apa untuk enggak merasa baik-baik saja. Masih dan akan terus ada harapan untuk kita dan kita bisa melewati ini bersama. Kamu enggak sendirian. Banyak orang yang merasa seperti ini pada suatu waktu dalam hidup mereka, dan makin banyak orang yang merasakannya saat ini karena dampak pandemi pada kehidupan kita.

Toh, kamu sudah berhasil bertahan selama dua tahun ini. Bukankah itu sebuah pencapaian yang amat hebat? Beri dulu tepuk tangan buat dirimu sendiri. Kamu berhasil ikut kelas virtual atau panggilan Zoom yang tak ada habisnya sambil menyelesaikan beban kerja yang terus meningkat dan secara mental mencoba menangani pandemi. Kamu keren karena sudah mencoba untuk melakukan yang terbaik di masa seperti ini. Melakukan yang terbaik tentu berbeda dari memaksakan kepositifan, di mana kamu menerima situasi apa adanya dan berusaha sebisa kamu untuk bertahan melalui situasi ini.

Yang perlu diingat, kalau dirasa sudah berlebihan, beragam emosi tersebut tetap perlu dikelola dan ditangani, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih parah dan berkelanjutan. Kalau kamu enggak mampu mengatasinya sendiri, kamu mungkin perlu berkonsultasi dengan psikiater, psikolog, psikoterapis, atau profesional kesehatan lainnya. Akhir kata, sehat selalu, teman-teman semua!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

A content writer based in Jakarta. I write anything, from heavy to light, but specialize in social issues and lifestyle. Worry not, my favorite thing to do in my free time is to write a review! I review any products, books, films, or songs.

CLOSE