Internet dan Dampaknya terhadap Kepakaran

Akses informasi punya pengaruh terhadap pemahaman orang

Mudahnya Akses informasi jadi ciri khas dari era globalisasi. Mulai dari informasi A hingga Z, bisa dengan mudah kita akses baik melalui perantara gawai maupun komputer. Dengan mudahnya akses, dari pakar yang memiliki kepekaan metodologis hingga tuna karya yang kesehariannya scrolling media sosial, bisa sama-sama bersuara dalam dimensi yang sama.

Advertisement

Perubahan sosial dalam kurun setengah abad telah meleburkan jembatan antara yang tidak berpendidikan dan sekelompok pakar. Akses informasi yang mudah dan leburnya pembatas antara yang tidak berpendidikan dan kelompok pakar mengakibatkan orang yang pintar mengoceh di media sosial lebih mendapat tempat dan menjadi rujukan daripada pakar yang memang ahli.

Mengakses Internet sebenarnya bisa membuat orang lebih bodoh daripada jika mereka tidak pernah terlibat sama sekali. Tindakan mencari informasi membuat orang berpikir bahwa mereka telah mempelajari sesuatu, padahal sebenarnya mereka lebih cenderung tenggelam dalam lebih banyak data yang tidak mereka pahami. (Thomas M. Nichols, The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters)

Advertisement

Saya ambil contoh pada isu ketidakpercayaan sekolompok orang terhadap Covid-19 kemarin. Mereka, yang tidak percaya, memunculkan konklusi alternatif bahwa Covid-19 tidak nyata dan tidak lain hanya sekadar flu biasa. Keterbukaan akses internet yang memersuasi lebih banyak orang memperparah ketidakpercayaan orang terhadap pakar berujung pada ekslusivitas para pakar. Si awam hanya akan berdiskusi dengan yang awam begitu juga dengan si Pakar, si Pakar tambah enggan untuk membuka pikirannya dengan yang awam. Tentu saja masalah ini sangat bertentangan dengan nilai sila keempat Pancasila. Sebagaimana yang tertulis "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan". Kita sebagai bangsa Indonesia yang baik seharusnya wajib menghormati keputusan yang dicapai. Tidaklah etis bila terjadi kesenjangan dalam pemikiran, bukannya ini sama saja dengan yang pintar akan tambah pintar dan yang bodoh akan tambah tersesat dalam pemikirannya.

Oleh karena itu, sekolompok pakar harus mencari jalan dengan persuasi. Pakar harus bisa lebih demokratis untuk menjelaskan ilmunya pada publik yang dianggap nonpakar. Di sisi lain, yang awam  juga harus mau membuka telinganya akan apa yang telah dijelaskan. Mungkin ini adalah PR bagi pemerintah untuk bisa mengatasi kesenjangan ini demi mencegah maraknya berbagai konklusi alternatif atau malah telah menjadi persoalan besar yang ada di kehidupan masyarakat seluruh dunia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE