Islam Sebagai Penengah di Antara Berbagai Perbedaan

Toleransi antar perbedaan

Islam hadir dari Tuhan, diperuntukkan bagi manusia. Pemikiran Islam lahir dari para pemikir yang mencerminkan peradaban afliasinya. Sebuah peradaban membentuk pandangan dunia orang-orang yang ada di dalamnya sehingga pemahaman keIslaman mereka adalah cermin dari identitas peradaban yang membentuknya. Pemahaman keIslaman para pemikir muslim Indonesia bisa dibagi menjadi empat kelompok utama.

Pertama, sebagian pemikir muslim Indonesia merasa paling berhak atas Islam, paling menguasai Islam dan menjadi pembela Islam. Kedua, sebagian pemikir muslim Indonesia yang merasa paling rasional, objektif dan ilmiah dalam memahami Islam. Mereka bercita-cita untuk mengeluarkan umat Islam Indonesia dari kemunduran.

Ketiga, sebagian pemikir muslim Indonesia yang hanya bertaklid kepada madzhab tertentu dalam memahami Islam. Keempat, sebagian pemikir muslim Indonesia yang berpikir moderat dalam memahami Islam. Diantara mereka, ada orang Indonesia yang keturunan Arab dan Barat dan ada yang keturunan Indonesia asli.

Kriis identitas dan epistemologi para pemikir muslim Indonesia merupakan pengaruh dari dominasi pandangan dua peradaban besar. Di dunia Arab pra-Islam, masyarakat Arab biasa membagi dunia atau peradaban menjadi dua kategori, yakni Arab dan non-Arab dan mereka biasanya mengunggulkan peradaban Arab daripada non-Arab. Dua peradaban besar yang sama-sama berpandangan dikotomis-dominatif itu pasti melahirkan konflik peradaban, baik di masa lalu maupun di masa depan.

Negara-negara bagian Timur, termasuk Indonesia menjadi wilayah jajahan kedua peradaban besar itu, tidak hanya mengalami krisis identitas di hadapan keduanya, tetapi juga mendapat imbasnya dari konflik keduanya. Dengan pandangan dunia yang tidak lagi bersifat dikotomis-dominatif itu (Barat dan Timur), kita menjadikan peradaban Nusantara yang merupakan bagian dari Negara Timur sebagai identitas kehadiran kita yang setara dengan peradaban-peradaban lain.

Metode berpikir sejatinya digunakan dalam menghadapi serbuan berbagai pemikiran keIslaman yang mencerminkan identitas peradaban-peradaban. Metode berpikir dimaksudkan agar kita sebagai pemikir muslim Indonesia tidak tergerus pada fanatisme buta, sembari dapat meningkatkan kesadaran kita sebagai pemikir muslim Indonesia. Ada dua gagasan yang tercermin pada metode berpikir kritis-apresiatif. Dengan kedua berpikir itu, sejatinya bersikap kritis dan apresiatif terhadap berbagai pandangan dunia barat.

Kritik dari dalam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Tradisi kritik dalam dunia Islam tumbuh subur pada era klasik. Kritik yang lahir dari peradaban yang sama melibatkan para pemikir yang mempunyai keahlian yang sama. Selain saling kritik yang melibatkan para pemikir muslim itu sendiri (kritik dari dalam), kritik terhadap pemikiran Islam juga berasal dari luar yang selama ini disebut orientalis dengan beragam tujuan. Beberapa orientali mengkaji Islam karena untuk membela keyakinannya yang banyak dikritik oleh Al-Qur’an, misalnya kritik Al-Qur’an terhadap konsep ketuhanan Isa al-Masih yang dikenal dengan istilah trinitas.

Ada pemikir orientalis yang mengkaji Islam dalam payung imperialisme. Mereka mengkaji Islam bukan untuk mengetahui hakikat ajaran Islam, atau untuk memahami Islam secara akademik murni, melainkan untuk memudahkan mereka menjajah umat Islam. Kajian orientalis tentang Islam tidak hanya mempunyai tujuan yang berbeda, tetapi juga adanya saling kritik diantara mereka sendiri. Dikalangan muslim Indonesia juga muncul saling kritik yang melibatkan para pemikir yang berafiliasi dengan peradaban yang berbeda. Ada pemikir muslim Indonesia yang memahami Islam dengan menggunakan identitas Barat.

Pemikir muslim Indonesia yang berafiliasi dengan peradaban Arab biasanya menggunakan asumsi keyakinan dalam mengkaji Al-Qur’an. Mereka meyakini Al-Qur’an adalah murni wahyu Tuhan tidak ada campur tangan manusia termasuk Nabi Muhammad saw. Mereka beramsumsi bahwa pesan Tuhan sudah ada di dalam Al-Qur’an dan tugas mufassir hanya mencari dan menggalinya melalui penafsiran.

Para pemikir muslim Indonesia yang berafiliasi dengan identitas Barat biasanya menggunakan asumsi keraguan dalam memahami Islam, sesuai dengan pemikir induknya. Mereka biasanya memahami Islam secara rasional, kritis dan kontekstual. Sedangkan para pemikir muslim yang berafiliasi dengan identitas peradaban Nusantara sejatinya memadukan ketiga metode tafsir, sehingga Al-Qur’an bsa diapahami secara objektif dan subjektif, atau tekstual dan kontekstual. Baik kontekstual dengan masa kelahirannya maupun kontekstual dengan masa kekinian di Indonesia. Bersikap kritis-apresiatif terhadap tafsir kontekstual yang biasa digunakan oleh para pemikir muslim yang berafiliasi dengan peradaban Barat.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini