Ketika Dokter PTT Menggila

Saya menjadi dokter PTT di Teluk Bintuni, Papua Barat sejak Juni 2012 sampai Oktober 2013. Banyak sekali suka duka yang saya alami selama saya mengabdi di sana. Di antaranya adalah keseruan saat berkumpul dengan sejawat lainnya di mess dokter.

Kabupaten Teluk Bintuni memiliki 2 mess yang disediakan untuk dokter PTT: 1 mess ada di tengah kota, tepat di sebelah puskesmas kota, sementara mess yang 1 lagi berada agak jauh di KM 5 agak naik gunung, di belakang kantor Dinas Kesehatan setempat. Karena mess yang 1 lokasinya kurang strategis, sebagian besar dokter PTT lebih suka berkumpul di mess yang berada dekat puskesmas. Mess ini sebenarnya adalah rumah dinas bagi Bang Vebri, dokter puskesmas Bintuni, tetapi karena cukup luas maka bisa diisi oleh dokter-dokter lainnya.

Suasana mess biasanya fluktuatif. Terkadang sepi bila sebagian besar dokter sedang berada di pedalaman, terkadang ramai bila banyak yang sedang turun ke kota. Saat ramai, mess bisa diisi 8-12 orang dokter, dengan pemetaan posisi tidur terserah di mana saja asal bisa tidur. Yang perempuan biasanya mendapat priviledge untuk tidur di dalam kamar, yang laki-laki ada yang tidur di sofa, di kasur di ruang tengah atau di kasur tiup atau sleeping bag milik sendiri.

Saat ramai berkumpul seperti inilah yang sering kami tunggu-tunggu. Daerah pedalaman biasanya tidak ada sinyal. Jadi, dokter yang akan kembali ke kota tidak bisa memberi kabar kapan mereka akan datang. Tiba-tiba mereka muncul di depan pintu mess biasanya dengan kondisi kucel, wajah hitam terbakar, celana kotor terkena lumpur. Syukur-syukur terkadang mereka datang membawa hasil-hasil kebun pemberian warga. Tapi bila pun tidak, tidak masalah karena kami lebih menanti-nantikan cerita mereka tentang kondisi di pedalaman.

Cerita-cerita ini sangat menghibur bagi kami dan merupakan salah satu cara melewati waktu yang paling menyenangkan. Di Bintuni, listrik PLN hanya menyala 12 jam sehari (bila menyala), mulai dari sore sampai subuh. Sisanya mengandalkan genset masing-masing. Karena mess letaknya bersebelahan dengan puskesmas, maka di pagi hari kami masih mendapatkan listrik dari genset puskesmas. Tetapi setelah jam operasional puskesmas selesai, genset di matikan (biasanya setelah jam 2 siang). Maka antara jam tersebut sampai nanti listrik PLN menyala, kami berusaha mencari kegiatan agar tidak bosan. Jarang bisa tidur siang karena panas. Makanya kami senang sekali bila ada sejawat yang kembali dari pedalaman karena cerita mereka cukup untuk mengisi waktu sampai listrik PLN menyala.

Salah satu momen harian yang paling ditunggu-tunggu oleh kami semua adalah saat listrik PLN menyala. Kira-kira saat langit mulai gelap, biasanya kami semua sudah mulai gelisah "Kok belum nyala, ya? Hari ini bakal nyala nggak sih?". Lalu saat listrik menyala, secara otomatis kami semua akan langsung berteriak "Ye! Menyala!". Tetapi 2 detik kemudian kami akan langsung saling mengingatkan, "Eh, tenang dulu. Jangan keburu senang dulu. Bisa jadi ini hanya kamuflase." Karena bukan sekali dua kali saja, listrik menyala selama 1 menit untuk kemudian mati sepanjang malam.

Di masa-masa kritis seperti ini, kami harus menahan diri untuk tidak men-charge handphone atau laptop terlebih dahulu karena bisa jadi voltage belum cukup memadai. Memaksakan diri untuk men-charge alat elektronik di masa kritis ini bisa membuat barang-barang tersebut cepat rusak. Maka biasanya kami menunggu selama kurang lebih 10-15 menit dulu. Bila listrik tetap nyala stabil, barulah kami bergegas melakukan hal-hal yang harus kami lakukan: men-charge handphone, menyalakan tivi, memasak nasi, dll.

Lain lagi ceritanya bila ternyata listrik tidak menyala sepanjang malam. Kami harus melewati malam hanya dengan senter atau lilin. Beruntung salah satu dari kami memiliki gitar. Kami sering menyanyi-nyanyi menghibur diri sepanjang malam sambil makan cemilan dalam gelap.

Kegiatan bersih-bersih mess juga adalah salah satu kegiatan yang seru dan menyenangkan. Dengan banyaknya orang yang tinggal di mess secara insidentil tentunya kebersihan mess harus jadi prioritas. Apalagi biasanya dokter-dokter PTT yang sudah selesai kontrak meninggalkan barang-barang yang tidak mau mereka bawa pulang kampung. Alhasil, semakin lama semakin banyak barang "kenang-kenangan" yang menumpuk. Maka akan ada suatu momen di mana kami semua bergotong royong membersihkan mess. Ada yang membongkar barang-barang, ada yang membakar sampah, ada yang mengecat dinding, dokter yang perempuan biasanya masak menyiapkan camilan, ada yang menyapu dan mengepel, dsb.

Gotong royong dan kebersamaan seperti ini menjadikan hal-hal yang bagi orang lain sepele menjadi menyenangkan bagi kami. Pernah suatu kali, mess kami kemasukan tikus, jam setengah 10 malam. Ada 6 dokter di mess saat itu, 2 laki-laki dan 4 perempuan. Nyatanya tidak ada satupun yang berani menghadapi tikus itu. Bagi saya pribadi, tikus adalah ketakutan saya nomer 1. Alhasil, semua hanya melindungi diri dengan mengambil sapu atau kemoceng atau naik ke atas kursi. Tidak ada satu pun yang berani mendekati tikus yang sudah menelusup masuk ke antara tumpukan barang dan koper-koper kami. Akhirnya Bang Vebrilah yang pertama kali mengambil inisiatif. Ia pelan-pelan menggeser koper-koper dan memancing agar tikus itu keluar.

Pintu belakang sudah siap dibuka, semua dalam posisi kuda-kuda siap menghajar tikus itu. Setelah menggeser salah satu kardus, tiba-tiba seekor tikus kecil keluar. Tikus itu melompat-lompat di atas koper dan kami langsung mengeluarkan seluruh kemampuan kami memukul-mukulkan sapu dan kemoceng tanpa arah sambil berteriak-teriak kesetanan. Saya sendiri hanya loncat-loncat di atas bangku sambil berteriak-teriak. Situasi sangat kacau dan saya yakin sangat traumatis bagi si tikus yang akhirnya keluar lewat jendela dapur yang terbuka. Setelahnya kami berenam hanya tertawa sejadi-jadinya. Jam 11 malam, kami masih tertawa gembira gara-gara seekor tikus kecil dalam mess.

Kejadian-kejadian kecil seperti inilah yang membuat bahagia kami sederhana di tempat pengabdian. Membuatnya menjadi kenangan-kenangan yang sulit dilupakan bersama teman-teman seperjuangan. Kami sudah seperti keluarga, saling membantu, saling berbagi suka duka. Hampir 5 tahun berlalu, kami semua sudah melanjutkan hidup kami di tempat yang berbeda-beda. Tetapi rasa ini akan selalu sama, bertahan dalam hati untuk selamanya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Dokter. Perantau. Peduli Perempuan.