Ketika Kepercayaan Mulai Hilang Dalam Sebuah Hubungan, Baiknya Segera Ikhlaskan!

Memaafkan memang tidak mudah, namun dengan memaafkan akan memberi kelegaan

Aku memandangi sebaris lengkung simetris dari wajah manisnya, dia bahagia. Dia kembali melanjutkan kisahnya tentang setahun masa jabatannya yang telah lalu. Dalam hati aku merutuk, aku jengkel. Mengapa hanya aku yang tersakiti di sini? Semua wajah yang hadir mengelilingi meja persegi panjang penuh makanan ini nampak berseri.


“Kris, kamu harus semangat, ya!”


Aku mencoba tersenyum, mengiyakan pesan seorang rekan di sampingku. Ku pandangi wajah partner kerjaku setahun ke depan, dia memandang kosong ke arah makanannya. Kami tidak sebahagia mereka. Aku tidak bisa merasakan kebahagiaan bahkan setelah mereka memilihku jadi seorang wakil pemimpin di kelompok ini.


“Tenang aja, kami bakal membantumu.”


Ingin rasanya aku bungkam mulut lancang itu dengan sepotong besar kue bolu di depanku. Omong kosong! Tahun lalu, pada saat aku diangkat menjadi kepala divisi mereka juga bilang akan membantuku. Bukan hanya itu, mereka menjanjikan dukungan penuh dan siap berdiri di sampingku kapanpun. Ah… itu hanya omong kosong. Aku bahkan tidak menemukan batang hidung mereka saat aku jatuh bangun mengurus kegiatan divisiku. Aku harus berjuang sendiri saat tubuhku ringkih merintih. Aku terjatuh dan mereka acuh. Ah! Ingin rasanya aku berontak, mendorong mereka hingga tersungkur di bawah kakiku, berteriak dan memaki hingga hatiku tak sesak lagi. Kepalaku hanya penuh dengan kekesalan, kejengkelan dan rasa muak yang tak kunjung sirna. Aku bahkan enggan mendengar celoteh mereka lagi. Aku tak suka.

Saat obrolan memuakan itu selesai, aku mendesah lega. Aku teguk secangkir coklat hangat di depanku dengan cepat. Aku ingin pergi secepat yang kubisa.


“Aku pamit.”


Aku mencoba tersenyum dan segera meninggalkan mereka. Aku hanya ingin tidur di kamar kost sederhanaku, membenamkan diri di atas kasur empukku sembari memeluk boneka hijauku. Manusia memang egois. Dan mereka adalah model manusia egois paling sempurna yang pernah kutemui.

Aku memandang langit-langit kamarku yang mulai berubah kekuningan. Aku buka ponselku, kudapati sebuah pesan dari seorang senior. Semalam aku berkisah tentang rasa kecewaku padanya, aku berkisah tentang betapa berat menghadapi manusia. Aku mencoba meresapi pesan singkatnya. Dia berkata, bahwa saat aku terus memikirkan kekecewaanku pada manusia pada dasarnya aku sedang menggerogoti jiwaku sendiri. Aku sedang menyiksa diriku sendiri. Kekecewaan, rasa benci dan rasa mendendamku hanya akan membebani jiwa dan akhirnya akan membuatku kelelahan sendiri. Hidup itu tentang bersabar pada orang lain. Kita tak bisa memaksanakan orang lain paham akan kondisi diri kita, tapi kita bisa berusaha memahami orang lain.

Mereka tidak salah, hanya saja mereka tidak bisa menjadi sosok manusia ideal seperti yang kuharapkan. Meruntukki masa lalu hanya akan membuatku berhenti di titik tertentu dan gagal maju. Aku terkesima. Benar juga, aku hanya akan terus memikirkan cara membuat mereka merasakan rasa kecewa yang aku rasakan. Aku selama ini berusaha membuat mereka sadar akan kekecewaan yang mereka hadirkan di hidupku. Aku bahkan tidak bisa menjamin mereka akan paham rasa kecewaku ini. Lalu apa yang aku harapkan? Kata maaf kah? Pun ketika meminta maaf aku hanya akan mendengarnya dalam seper sekian menit, kemudian aku yang akan merasa bersalah. Aku memang seperti itu dan selalu seperti itu. Aku selalu merasa bersalah saat seseorang datang dengan rasa penuh penyesalan.

‘Lalu aku harus apa, kak?’ aku menuliskan beberapa deret kalimat padanya. Dia membalasku dengan singkat, maafkan mereka. Ikhlaskan masa lalumu itu. Dan jangan buat orang lain merasakan apa yang kamu rasakan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta Kucing, Pemakan Mie

Editor

Not that millennial in digital era.