Kisahku Tentang Kenangan Bersama Buku yang Tidak Bisa Terlupakan Hingga Sekarang

Perhatian mengenai pemahaman literasi sejak dini

Menurut saya, sebagai anak pertama ada beberapa keistimewaan yang mungkin saja anak kedua atau ketiga tidak dapatkan. Dalam kasus saya ini, keistimewaan yang adik-adik saya tidak dapatkan adalah perhatian mengenai pemahaman literasi sejak dini. Jika saya ingat-ingat, sejak kecil saya sudah dibuat akrab dan “dijejali” dengan buku bacaan oleh orang tua saya.

Advertisement

Bahkan sebelum menginjak SD, saya sering sekali dibelikan buku-buku cerita seperti kisah sahabat yang sampai sekarang saya masih ingat betul bagaimana rupa sampul buku itu, majalah anak dan masih banyak lagi. Selain diakrabkan dengan membaca, ibu saya juga sering mendongeng sebelum tidur. Fragmen ini tidak terlupakan karena sangat berkesan dalam episode kehidupan saya. Namun sayang saya sudah lupa dongeng apa yang beliau ceritakan. Yang pasti bukan dongeng mainstream dan saya menduga itu dikarang sendiri oleh beliau.


Bukan hanya sekedar mendidik anaknya untuk mencintai dunia membaca, orang tua saya pun mencoba mendidik dirinya untuk membaca.


Itu terlihat dari ayah saya yang cukup suka membaca dan dibuktikan dengan berlangganan dua majalah yang saya rasa saat itu sangat terkenal, yaitu majalah Sabili dan Ghaib. Mungkin teman-teman di sini ada yang kenal atau pernah baca dua majalah itu. Bak ketiban rejeki nomplok, dua majalah itu pun nggak luput dari saya untuk dibaca. Agak aneh sebenarnya saya rasa kalau ingat itu. Anak umuran 6-7 tahun udah baca majalah yang pembahasannya mengenai tema-tema islam yang nggak cocok dengan anak umur segitu.

Advertisement

Sekitar tahun 2007, saya kembali ke kampung halaman di Lombok, NTB. Saat itu saya kelas dua. Di masa-masa SD ini saya mulai tertarik sama buku-buku yang membahas masalah sosial atau untuk sekelas SD, buku pelajaran IPS yang saya suka baca. Di buku IPS itu saya paling suka baca tentang geografi, lebih spesifiknya mengenai nama-nama Negara dan Ibukotanya. Kalau boleh membanggakan diri wkwkwkwk, saya orang yang paling hafal dan jago kalau ditanya guru tentang nama-nama Negara dan ibukotanya. Juga pas main ABCD tentang nama-nama Negara dan ibukotanya, saya hampir selalu jawabannya yang paling banyak. Sampai-sampai, saking “gilanya”, pas ada bazaar buku di sekolahan, saya beli buku ensiklopedia dan hafal nama-nama Negara dan ibukota yang ada di buku itu.

Di masa SD ini juga saya mulai memantapkan hati untuk suka buku bertema sejarah , tepatnya di penghujung masa SD. Bermula dari keisengan asal beli buku di Gramedia, yang mana waktu itu dalam memutuskan beli buku masih berdasarkan menarik tidaknya cover buku itu. Akhirnya pilihan jatuh ke buku yang berjudul “1453: Detik-Detik Jatuhnya Konstatinopel ke Tangan Muslim” karya Roger Crowley.

Advertisement

Saya rasa itu buku tertebal yang saya baca dari masa baru lahir sampe masa kelas 6. Di buku inilah saya mulai mengenal Al Fatih (walaupun ada beberapa penggambaran Al Fatih yang saya rasa keliru karena penulisnya adalah orang Barat), Konstatinopel, Hagia Sophia, jauh sebelum kisah Al Fatih mulai viral di sekitaran tahun 2013 ke atas kalau saya tidak salah. Dan lagi-lagi, kalau saya ingat rasanya aneh, anak kelas 6 SD baca buku tebal dan pembahasan yang nggk bisa dikatakan ringan untuk anak sekelas 6 SD.

Memasuki SMA, intensitas dan ketertarikan saya untuk membaca meningkat. Saya mulai kenal novelis dalam negeri kayak Tere Liye, Asma Nadia, Zaynur Ridwan sama Kang Abik. Untuk novelis luar negeri saya mulai kenal Dan Brown. Untuk Kang Abik sendiri sebenernya saya udah kenal lama. Seingat saya, mulai kenal Kang Abik dari SD lewat film Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Tapi untuk novelnya sendiri, pertama kali baca pas SMP yang judulnya “Dalam Mihrab Cinta.”


Kenangan bersama buku yang sampai sekarang nggak bisa saya lupain dan sangat berkesan di masa SMA adalah ketika saya menyatakan perasaan kepada adek kelas lewat sebuah buku.


Begini ceritanya. Kalau orang lain PDKT atau modusin cewek pake cara minta no HP, saya beda. Cara modus PDKT yang saya pake adalah minjem buku adek kelas itu. Saya sengaja minjem buku ke dia biar bisa ketemu dan ngobrol-ngobrol, walaupun obrolannya singkat dan hanya bahas buku yang saya pinjem. Lama kelamaan perasaan itu tumbuh mekar *ehem. Akhirnya saya memutuskan buat menyatakan perasaan ke adek kelas itu.

Berhubung saya itu orangnya pemalu, saya nggak mungkin bisa menyatakan perasaan itu secara langsung ke dia. Jadinya waktu itu saya memutuskan untuk menyampaikan perasaan lewar secarik surat. Iya surat. Kalian tidak salah baca. Di saat orang menyatakan perasaan secara langsung atau lewat chat, saya pake cara gold but old, yaitu surat.

Surat itu saya tulis dengan penuh penghayatan meskipun tulisan saya kayak ceker ayam. Bodo amat lah yang penting masih bisa dibaca sama dia. Selain itu juga, di surat itu sedikit saya tambahkan hiasan pinggir di ujung atas dan bawah surat. Cakep pokok suratnya. Cuma sayang tulisan ceker ayam itu yang ngerusak pemandangan. Soal kalimat-kalimat dalam surat itu? saya lupa. Kayaknya sih rada-rada alay dan gombal wkwkwk.

Ternyata masalah lain timbul. Gimana cara saya kasih dia surat ini? Kan nggak mungkin saya kasih surat ini langsung, “F*tiiit ini surat buat kamu”. Itu sama aja kayak saya ngungkapin secara langsung ke dia, buat apa pake surat kalau gitu. Lama saya mutar otak, akhirnya ketemu ide. Ternyata ada bukunya yang belum saya kembalikan. Jadi lewat buku itulah saya selipkan “surat cinta” itu. Entah ini berita buruk atau apa, sampai detik ini, sampai saya buat tulisan ini, surat balasan dari dia nggak pernah datang. *sadboy

Berlanjut ke masa kuliah dan sekarang, saya ngerasa hubungan saya sama buku bisa dikatakan renggang. Bahkan saya ngerasa hubungan saya lebih harmonis sama buku pas masa SMP-SMA dibanding sekarang kalo diliat dari segi banyak buku yang dibaca. Saya juga bingung apa sebabnya. Sekarang itu agak susah untuk bisa baca buku lama-lama. Mungkin salah satu sebabnya itu karena adanya HP.

Baru baca buku 5 menit, lirik HP ada WA masuk, main hp nya bisa sampe 5 jam. Kalo buku bisa ngomong, dia bakal protes atas ketidakadilan yang dia terima. Ini juga mungkin ditambah sama fitur dari HP yang makin canggih. Dulu pas HP saya masih jelek, nggk begitu amat tertarik pegang HP. Pas sekarang HP udah bagus, niatnya habis buka WA lanjut baca lagi, eh yang ada malah buka yutub, IG, Fb. Baca bukunya nggak jadi.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Biasa dipanggil Dhafin. Seorang mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Mataram. Mencintai dunia kepenulisan sejak SMA dan menulis berbagai macam tulisan bertema islam, sejarah dan isu terkini.

CLOSE