Kupanggul Pintamu, Kutuai Pendapatanku

Ketika matahari sedang terik-teriknya menampakkan diri, jam di telepon genggam menunjukkan angka 11.00. Saya mencoba menelusuri lorong-lorong besar sampai kecil, mulai dari belakang sampai depan. Lorong sebuah bangunan, tempat penjual dan pembeli bernegosiasi hingga harga pas ditemukan. Menelusuri jalan dengan pemandangan mulai dari yang bisa dimakan, hingga yang bisa dikenakan. Di bagian belakang terdapat daging segar dan sayuran hijau nan menggemaskan.

Advertisement

Terus kutelusuri hingga tak lagi sayur hijau yang menjadi pesona mata, namun telah berganti menjadi pakaian khas Jawa yang ada. Tampak beragam jenis batik yang dijajakan dengan beragam harga dan beragam bentukan, mulai dari celana, daster, kemeja, rok, celana pendek, kaos, topi, tas, dan lain sebagainya. Penelusuran seraya menahan ego untuk membagikan badan jalan dengan penelusur lainnya. Telinga disibukkan dengan suara tawaran dari para pelaku ekonomi yang berusaha menafkahi diri

"Mau cari apa, mba," begitulah inti tawaran yang sebagian besar hanya saya balas dengan senyuman. Ya, saya tengah berada di sebuah pasar penjual batik terbesar di kota pelajar. Beringharjo namanya. Pasar dengan berjuta cerita di dalamnya.

Tiap langkah dan pandangan mata punya cerita di sini. Semua panca indera sangat berfungsi di sini. Melihat barang-barang yang dijajakan, mendengar beragam teriakan tawaran, mencium aroma sandang dan pangan, sampai pada kulit yang merasakan beragam sentuhan dari penulusur lainnya.

Advertisement

Terdapat sebuah pemandangan tak berbau sandang maupun pangan yang tak bisa lepas dari indera penglihatan. Dia hadir dan berlalu lalang di hadapan. Kakinya yang tak kalah sayu dari matanya, berusaha melangkah sejauh mana yang dia bisa. Berkalungkan selendang, ia mencoba menawarkan jasanya kepada orang yang terlihat keberatan dan kerepotan dengan barang bawaannya. Usut punya usut, mereka adalah kuli panggul, penjelajah setia pasar penjual batik terbesar di kota pelajar.

Ditemui di sebuah tapakkan bertingkat penyambung bagian atas dan bawah pasar, wanita berusia 55 tahun ini tengah melepaskan lelahnya. Mbah Prengil namanya. Usianya memang belum terlalu tua, namun juga tak muda lagi. Kualitas tulang dan badannya telah terhitung rigkih untuk menopang beban berat. 30 tahun sudah ia mencoba menggantungkan hidupnya pada para pengguna jasa pannggulannya. Ibu 1 anak dan nenek 1 cucu ini berhilir mudik menjajakkan jasa mulai dari matahari belum terbit, hingga akan terbenam lagi, dari pukul 4 pagi sampai 3 sore.

Advertisement

Mbah yang mengaku letih dan pegal ketika tubuhnya harus ditumpuk dengan sayur ataupun pakaian, serta harus menaik-turuni tangga, hanya menerima imbalan yang tak tentu jumlahnya, seikhlasnya, katanya. Ketika heran dan ditanya di mana keberadaan suami hingga ia harus memanggul beban seperi ini dari pagi hingga petang, ia menjawab "Suami saya bekerja ngarit kambing."

Jadi, ia tak bisa hanya mengandalkan penghasilan suami untuk memenuhi nafkah diri. Ditanya perihal anak, ia menjelakan bahwa sang anak merupakan juru tutuk emping.. Bukannnya durhaka, namun memang sang anak belum bisa menanggung dan menyejahterakan sang orangtua.

"Buat keluarganya saja, dia pas-pas an," ujar mbah Prengil.

Tak hanya mbah Prengil yang tampak mengagumkan dengan kegigihannya. Banyak wanita-wanita tua pencari nafkah lainnya yang melangkah dengan kecepatan maksimal kaki untuk mendapatkan orang-orang yang letih membawa barang beliannya sendiri. Melelahkan melihatnya, belum lagi ketika memandang mereka dengan bongkahan-bongkahan besar di punggungnya. Belum lagi hasil jerih payah mereka hanya dibayar seikhlasnya.

Banyak fakta dan realita yang ditemui dan tak kelewatan mengudang empati dan simpati. Ketika meraka tak sanggup lagi menopang, hingga akhirnya barang bawaan pun jatuh tak beraturan sebelum sampai pada tempat tujuannya. Ketika mereka lapar dan hanya remahan kerupuk yang mereka punya, lalu menikmatinya. Ketika mereka duduk bersama sambil bercengkrama, serta berbagi cerita tentang hari ini sambil melepaskan lelahnya dengan pasangan-pasangan mata yang seolah berlomba "mana yang paling lelah" dan tangan tak henti-hentinya mengurut-urut kaki yang sudah mulai mengeluh kepadanya. Hati mana yang tak terenyuh melihatnya.

Satu fakta yang tak kalah mengundang pilu adalah ketika melihatnya memulung sampah. Beberapa di antara mereka memilih untuk memulung sampah ketika tidak ada pelanggan yang menggunakan jasanya. Mereka mengumpulkan sampah dari beberapa tempat sampah di sana, lalu menyetorkannya kepada bak mobil sampah milik Dinas Kebersihan. Hal ini mereka perbuat agar uang untuk memenuhi kebutuhan tak berkekurangan.

Lusuh dan letih adalah dua hal yang tak secara sengaja ditunjukkan, tapi kentara jelas di dirinya. Seringkali pula tawaran jasa mereka hanya dibalas senyuman, bahkan pengabaian.

Banyak hal yang dapat dipelajari dari mereka. Bersyukur dan tetap terseyum adalah dua di antaranya. Kegigihan mereka bukan hanya pada fisik, tapi juga perihal batin dalam menjalani jalan kehidupannya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2015 Konsentrasi Studi: Media Massa dan Digital

CLOSE