[CERPEN] Kuyakin Ini Cinta, Tapi Ternyata Hanyalah Luka

Cinta tidak pernah salah, dan kita tidak pernah bisa mengatur kepada siapa hati kita akan jatuh

Aku pernah membaca sebuah kalimat dengan isi “jatuh cinta itu seperti kanker, sering terdeteksi lambat. Terus susah untuk survive dan waras di saat yang bersamaan”.

Advertisement

Aku sudah lupa kapan terakhir kali jatuh cinta, karena sebuah kekecewaan yang hebat di masa lampau aku memutuskan untuk memasang tembok yang tinggi untuk sebuah perasaan yang sering disebut cinta.

Tapi aku lupa, kalau ini perasaan bukan besi yang tidak bisa diterobos. Perasaan bisa saja berubah dengan cepat sama halnya dengan batu karang yang setiap hari terhempas air laut pada akhirnya akan kalah juga kan.

Pertama kali aku bertemu dengannya di sebuah acara gathering pasar saham, di mana dia bekerja di salah satu sekuritas dan aku pun juga bekerja di salah satu sekuritas yang lain. Di sepanjang acara aku memandangnya tanpa berkedip,dan tanpa sadar otakku mulai membanding-bandingkan dia dengan mantanku terdahulu. Ah apakah semua orang akan seperti ini membandingkan yang lama dengan orang yang baru ditemui.

Advertisement

Dari cara dia tertawa, gesturnya saat duduk, cara dia menjelaskan dengan nasabahnya tidak lepas dari indra penglihatanku.

Apakah sekarang aku sedang mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama?

Advertisement

***

“Hai aku Wisnu. Laras kan?”

Mulutku kelu, tubuhku kaku entahlah mendadak tidak ada satu kata pun yang bisa aku ucapkan ketika Wisnu, Laki-laki yang diam-diam selalu aku perhatikan di setiap pertemuan, mendadak bergabung duduk disampingku. Di mana perginya orang-orang yang tadinya mengisi kursi-kursi yang lain? Seolah semesta sedang bekerjasama untuk memberi  waktu agar aku bisa berkenalan dengan Wisnu.

“Iya, aku Laras." Setelah selang beberapa menit akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulutku, aku menundukkan kepala memperhatikan kedua sepatu, kerja degup jantungku 2x lebih extra dari biasanya.

“Boleh ngobrol-ngobrol, bosan sama acaranya.”

Aku hanya menganggukan kepala tanda setuju untuk Wisnu tetap berada di jarak yang sangat dekat denganku, walaupun aku tahu ini artinya tidak bagus untuk kesehatan jantungku.

***

Bermula dari sebuah acara yang sama, dengan bidang pekerjaan yang sama . Aku tahu reputasi Wisnu nyaris sempurna tanpa cela. Wisnu sudah pasti jadi rebutan semua ibu-ibu komplek yang ingin mencari menantu untuk putri mereka.

Kemudian berkembang ke acara ngopi sore setiap selesai acara sekuritas, makan siang bersama ketika pekerjaan kita tidak terlalu banyak. Sesekali saling bertukar kabar di chat, dan terkadang Wisnu menyempatkan untuk sekedar video call di malam hari walaupun yang kami lakukan hanya menggosipkan nasabah masing-masing. Bahkan sering kita berdua mendebatkan pekerjaan.

Tanpa sadar kami tampak seperti remaja yang sedang dimabuk cinta, aku juga tidak tahu kapan ada ungkapan istilahnya “nembak” dari Wisnu. Toh kita berdua juga bukan lagi anak remaja yang harus dengan kata-kata kan. Kalau dirasa sama-sama nyaman ya sudah jalanin saja terus, kita juga bukan lagi berada diusia yang mau pacaran lama-lama, aku hanya ingin apa yang aku jalani dengan Wisnu sekarang bisa dibawa ke jenjang yang lebih serius.

Sampai suatu hari, Wisnu izin buat pergi katanya ada salah satu keluarganya yang sakit. Wisnu di sini memang anak rantau yang sedang mengemban tugas dari kantornya untuk cabang di kotaku.

Mulanya aku nampak tidak rela membiarkan Wisnu pergi, tapi Wisnu mencoba meyakinkan kalau setelah dia pulang dari rumahnya di sana dia akan mengenalkanku dengan orangtuanya. Jelas aku semringah mendengarnya, itu berarti hubunganku dengan Wisnu selangkah lebih maju lagi kalau nanti Wisnu akan mengenalkan dengan orangtuanya.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya setelah tiga bulan berlalu, Wisnu tidak ada kabar sama sekali. Telepon, chat, bahkan emailku semuanya diabaikan. Wisnu seperti hilang ditelan bumi tanpa ada satu kabarpun yang kudengar.

Aku seperti kehilangan arah, yang tadinya sudah terbiasa dengan keberadaan Wisnu. Sekarang rasanya hampa, tanpa ada lagi pesan singkat yang biasanya Wisnu kirimkan ketika sedang banyak-banyaknya kegiatan.

Aku tidak mungkin datang ke alamat kantor sekuritasnya untuk menanyakan tentang Wisnu, bisa-bisa nantinya akan mendatangkan masalah. Karena ini masalah pribadi tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan.

Aku mencoba untuk tetap berpikir positif, mungkin Wisnu sedang sibuk di sana mengurus keluarganya yang sakit. Yang dengan bodohnya aku lupa menanyakan ke Wisnu siapa sebenarnya yang sakit, sampai-sampai Wisnu harus pulang selama ini tanpa ada kabar sedikit pun.

Apa Wisnu dengan mudahnya sudah melupakan keberadaan ku disini?

***

“Ras, kamu enggak mau nyamperin Wisnu aja?”

Aku menoleh. Di sebelahku, Mas Deva bertanya.

“Aku enggak tahu alamat Wisnu di mana, Mas.” Mas Deva abang sepupuku hanya menghela napas panjang.

“Coba mas tanya ke temen mas, kalau enggak salah dia kenal sama Wisnu.”

“Hmmm…” aku hanya berdeham pelan, rasanya kepalaku mau pecah memikirkan tentang Wisnu, sampai tadi malam aku bermimpi tentang Wisnu yang tersenyum sambil memelukku.

“Ini Ras, mas dapat alamat Wisnu di kota dia. Kamu mau nyamperin dia ke sana.” Mas Deva mengirimkan alamatnya ke personal chatku.

Aku enggak menjawab, hanya memikirkan kata-kata mas Deva ada benarnya juga. Buat apa aku hanya bengong sendirian di sini sambil menerka-nerka apa yang sedang terjadi dengan Wisnu di sana. Aku harus pergi ke sana dan berbicara secara langsung dengan Wisnu, ya aku harus pergi ke sana.

***

Dengan menempuh waktu 1 jam 45 menit, pesawat yang aku tumpangi mendarat dengan mulus di kota tempat tinggal Wisnu. Sambil menunggu taksi jemputan aku menscroll media sosial yang aku miliki demi membunuh rasa sepi dan mengusir tanda tanya di kepalaku tentang Wisnu.

Sampai aku memperhatikan satu foto di halaman media sosialku, aku memperhatikannya lama hanya sebuah foto sudut kedai kopi. Bukan fotonya yang aku perhatikan tapi akun sosial media yang membagikan foto itu yang kuperhatikan, ya Wisnu Pratama. Sosok yang selama 3 bulan ini aku cari-cari, aktif di sosial media tapi dia lupa untuk membalas dari sekian banyak chat dan email yang aku kirimkan. Rasanya ada bagian hatiku yang teriris.

Aku melihat ada tag lokasi di atas foto yang Wisnu bagikan, kebetulan supir jemputan ku sudah datang. Tanpa pikir panjang alih-alih untuk istirahat sebentar di hotel aku mengganti tujuan ku untuk langsung menuju lokasi tersebut.

Kalau aku beruntung aku akan menemukanmu Wisnu.

Ketika sampai di tujuan, aku bergegas memasuki kedai yang didominasi dengan warna peach dan white dengan konsep anak muda. Dan enggak sulit menemukan sudut yang dibagikan oleh Wisnu tapi mendadak kakiku sulit untuk digerakkan, di depan sana aku melihat potret keluarga bahagia. Dengan posisi Wisnu sedang memangku seorang anak kecil yang kutaksir usianya masih 3 tahun, cantik, lucu dan sekilas seperti Wisnu dalam bentuk perempuan.

Tanganku bergetar hebat, aku menahan genangan air mata agar tidak pecah disini. Aku menyapa Wisnu, dan Wisnu kaget melihatku berada di depannya. Wisnu menyerahkan anak kecil yang dipangkunya tadi ke perempuan yang ada di samping Wisnu. Perempuan itu cantik, keibuan serta mempunyai senyum yang hangat.

“Laras, kok bisa ke sini?”

Wisnu mengisyaratkan untuk aku mengikutinya berjalan ke sudut meja yang lainnya, agar nantinya percakapanku dan Wisnu enggak didengar orang lain.

“Itu siapa, Wisnu?” tanyaku tanpa perlu basa basi, aku sudah muak dengan semua ini 3 bulan hilang, dan ini yang aku dapat. Sesekali aku menyeka air mataku yang mulai gugur dengan seenaknya

“Maaf Ras, itu tadi anak dan istriku,” jawab Wisnu sambil menunduk

Dadaku sesak, mulutku langsung kututup. Jutaan sumpah serapah penuh emosi yang sudah siap aku lontarkan terpaksa kupendam lagi, aku tidak mau membuat diriku malu disini. Aku memalingkan muka, indra penglihatanku memperhatikan anak kecil tadi sedang bermain dengan ibunya. Apa yang sedang aku lakukan, aku tidak mungkin tega menghacurkan kebahagian keluarga kecil mereka.

“Jadi siapa yang sakit? Sampai kamu harus pergi dan membiarkanku lama nunggu Wisnu?” cecar ku dingin, aku ingin menyelesaikan semuanya sekarang, sampai tidak ada lagi tanda tanya besar di kepalaku

“Anakku yang sakit, lalu istriku enggak mau lagi menjalani hubungan jarak jauh. Aku tahu aku salah Ras, maaf…”

“Ya aku maafkan, tapi aku perlu waktu untuk kembali berteman baik denganmu, Wisnu. Sampaikan salamku sama istri dan anakmu, aku pamit.”

Sekilas aku melambai ke arah istri Wisnu, mengisyaratkan kalau aku berpamitan. Untung saja taksi yang aku tumpangi masih menunggu di depan. Setelah masuk dan menyebutkan nama hotel tujuanku, tangisanku pecah dikursi penumpang.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Enjoy the Process.

CLOSE