#RemajaBicaraKespro-Maskulinitas Rapuh, Salah Satu Penyebab Toxic Relationship

Toxic relationship dalam pacaran

Pacaran, terdengar menyenangkan. Memiliki pasangan memang sebuah hal yang indah, kamu dapat berbagi cerita, pergi ke tempat yang anda sukai, senang sedih ada yang menemani. Terdengar seru, namun tidak menutup kemungkinan, pacaran menjadi pintu utama terjadinya suntikan 'toxic' pada hubungan.

Advertisement

Dapat kita jumpai banyak kasus kekerasan dalam pacaran, khususnya di Indonesia. Baik itu kekerasan secara verbal maupun kekerasan secara fisik. Hubungan yang tidak sehat atau akrab disebut dengan toxic relationship ini pun didasari oleh beberapa faktor, salah satunya yakni toxic masculinity.

Sebelum jauh membahas dua hal ini, ada baiknya kita mengenal, apa sih yang dimaksud dengan toxic masculinity dan toxic relationship?

Dilansir dari satupersen.net, kata toxic memiliki arti “mengandung atau menjadi bahan beracun”. Dalam konteks ini, kita dapat mengartikan bahwa toxic ini merupakan suatu perilaku atau tindakan yang bersifat destruktif. Selanjutnya, toxic relationship merupakan suatu hubungan yang mengakibatkan seseorang merasa tidak didukung, direndahkan, bahkan serasa dicemari. Toxic relationship akrab dikaitkan dengan hubungan pacaran, salah satu bentuknya yakni kekerasan dalam pacaran.

Advertisement

Selanjutnya, kekerasan dalam pacaran pastinya disebabkan oleh beberapa faktor seperti tindakan manipulatif dari suatu pihak, adanya tindakan merendahkan, dan adanya toxic masculinity serta faktor lainnya. Dilansir dari hipwee.com, toxic masculinity merupakan suatu sikap pendefinisian laki-laki dalam arti sempit, dimana sikap laki-laki dinilai dari seberapa maskulinnya dia. Pemikiran sempit seperti ini juga didasari oleh pemikiran patriarki yang terbentuk dari konstruksi sosial.

Menilik lebih jauh mengenai hubungan antara dua hal tersebut, tadi disebutkan patriarki yang sudah lama berada di tengah masyarakat. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan yang kuat, berwatak keras dan memposisikan laki-laki sebagai pemegang kontrol utama yang mendominasi perempuan. Maka dari itu, dari pemikiran tersebut laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dan lebih berkuasa daripada perempuan.

Advertisement

Hal ini menimbulkan konstruksi bahwa laki-laki tidak dapat mengekspresikan emosinya dengan menangis sehingga laki-laki memiliki wadah yang sempit untuk menyalurkan emosinya. Ketidakmampuan mereka dalam menyalurkan emosi ini membawa mereka kepada konsep maskulinitas beracun ini. Kerap kali hal ini menimbulkan pemikiran bahwa satu-satunya jalan untuk meluapkan emosi bagi laki-laki yakni melalui tindakan destruktif seperti kekerasan.

Salah satu bentuk representasi mengenai hal ini terdapat pada film Indonesia “Posesif” (2017). Film ini menjelaskan bahwa Yudhis (pemeran pria) melakukan tindakan kekerasan terhadap pasangannya Lala (pemeran wanita) sebagai pelampiasannya dalam nilai negatif, seperti mencaci, memukul, dan kekerasan lainnya.

Film ini menjadi cermin kasus kekerasan dalam pacaran di Indonesia, dimana kebanyakan laki-laki melakukan tindakan manipulatif berkedok “sayang” bahkan sampai menyakiti pasangannya sendiri. Film ini pun hadir sebagai bentuk kesadaran kepada masyarakat akan tindakan tersebut.

Berkaca dari budaya patriarki yang mengakar di negara kita, toxic masculinity diukur pada kekuatan fisik sementara emosi seperti mengalah, menangis, kesedihan merupakan kelemahan laki-laki. Maka dari itu, kekerasan mengakar dari sini yang berimbas pada segala aspek, salah satunya kekerasan dalam pacaran.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE